
01
Brrrmmm brrmmm
3 motor baru saja terparkir di tempatnya. Membuat siswi-siswi berteriak histeris. Apalagi, saat ketiga orang itu membuka helmnya, para siswi semakin histeris.
Iyalah, tiga orang tersebut itu kan yang masuk jajaran most wanted di sekolah. The Captain. Kenapa captain? Karena mereka bertiga adalah ketua dari 2 ekstrakulikuler di sekolah. Sean dan Brian basket, Terrion, volly.
"Ah gila. Brian gans bet dah."
"Apaan sih. Gans juga si Ion."
"Hush hush. Ada juga tuh ya, gans si Sean lah. Gans bet buset dah. Apaan tuh si Ion mah kalah, menang nongol di pelajaran kimia doang."
"Yaampun. Mereka bertiga tuh ganteng banget ya."
"Iya iya."
Sean, Brian dan Terrion a.k.a Ion, hanya menanggapinya dengan senyuman. Lalu mereka berjalan memasuki kelas. Seperti biasa, Sean akan meminjam peer pada Ion. Karena dari mereka bertiga, yang paling pintar itu Ion.
"Gak gak. Minjem mulu lu. Kerjain sendiri napa, sih? Astogeh," omel Ion.
"Yaelah. Pelit amat dah lu ama temen sendiri juga. Udah sini." Sean mengambil paksa buku tugas Ion dari tasnya.
Ion dan Brian hanya menggelengkan kepalanya, kapan temannya ini bisa berubah.
"Hedya! Gue mau curhat lagi yaampun."
Mendengar nama Hedya, Sean otomatis berhenti dari acara menyonteknya dan menoleh ke arah Brian dan Ion yang duduk dibelakangnya.
"Hedya juga sekelas sama kita?" Sontak kedua temannya itu menepuk jidat.
"Pea. Lu tuh makanya jagan kebanyakan tidur. Dari kelas 10 juga dia sekelas sama kita. Duh elah. Kok gue bisa ya punya temen pea kayak lu," cerocos Brian.
Sean hanya ngangguk-ngangguk gak jelas dan kembali menyalin. Urusan Hedya, entar dulu lah ya.
Kringgg kringgg kringgg
"Sob. Sob. Siniin buku gue. Entar Bu Rina dateng, mampus gue kasih nyontek ke elu. Kan gak boleh." Ion mengambil paksa buku tugasnya dari meja Sean dan menaruhnya kembali di dalam tasnya.
"Iye iye. Pelit amat dah lu."
"Selamat pagi, anak-anak."
"Pagi, Bu."
Bu Rina meletakkan bukunya diatas meja dan mengambil tongkat yang sekalu dibawa-bawa guru-guru di sekolah. "Sekarang, kumpulkan buku tugas kalian. Yang gak bawa, silahkan keluar."
Sean sudah tersenyum lega. Untung dia sudah nyontek tadi. Anak-anak mulai mengumpulkan tugasnya, tapi, mata Sean terpaku pada sosok Hedya yang tengah mencari-cari bukunya didalam tas hingga akhirnya Hedya memilih keluar dari kelas.
Sean sudah diambang kebimbangan. Mau ikut Hedya atau mengumpulkan peer yang sudah diconteknya. Kalo ikut Hedya, Sean bisa melancarkan aksinya untuk mendekati Hedya.
Akhirnya, Sean mengikuti Hedya keluar kelas. Ia tak jadi mengumpulkan buku tugasnya. "Hedya!" panggil Sean. Ia duduk disamping Hedya. "Hai."
Hedya hanya menatap Sean datar dan membuang mukanya. "Hedya. Kok lu jutek banget sih?" Kadang Sean memang tidak disaring kalo bicara. Terlalu frontal.
Hedya kembali menatap Sean dengan wajah yang sama, datar. "Suka-suka gue." Ucett, nih cewek jutek anet dah. Eh elah, napa jadi alay gini gue ngomongnya ya.
Sean hanya bisa mengamati Hedya dalam diam. Takut Hedya jutekin dia lagi.
Tapi, namanya juga Sean. Petakilan, mana mungkin cuma diem doang. "Hed. Kok gak bawa buku tugas? Kenapa? Ketinggalan? Lu-"
"Bawel banget sih lu jadi orang, Sean." Hedya pergi dan duduk di kursi yang lain, yang tak jauh dari sana.
Buset dah. Jutek abis nih cewek.
Keheningan melanda mereka, dan Sean tak suka suasana diam ini. Ia memilih untuk membuka suaranya untuk kesekian kalinya.
"Ehem." Sean mulai dengan berdeham. Berharap Hedya menoleh kearahnya, tapi, itu hanya angan belaka. Karena nyatanya, Hedya tidak menoleh kearahnya sama sekali. "Ehem!" Sean kembali berdeham, tapi kali ini agak kencang.
Tapi, lagi-lagi, Hedya tidak menggubrisnya. "Hedya. Hed. Hedya Noretta. Hed."
Jengah karena dipanggil terus, akhirnya Hedya menatap Sean sinis. "Apaan sih? Berisik banget dah lu," sinis Hedya.
Sean hanya bisa nyengir. "Gak boleh galak-galak dong lu sama gue. Kan gue ketua tim basket di sekolah. Mau lu jabatan manajer lu gue cabut?" Oh. Pilihan yang salah Sean, untuk kau mengatakan hal itu pada Hedya.
Hedya menaikkan satu alisnya. "Jabatan manajer? Cabut aja. Biar gue bisa bebas." Tuh kan, Sean. Hedya itu beda orangnya.
Sean menggaruk kepalanya gatal. "Eh engga. Gue tadi cuma bercanda." Aduh, kenapa jadi ribet gini coba dah urusannya. Sean, Sean. Kebiasaan banget dah lu kalo ngomong gak dijaga. Kalo gini kan lu jadi susah deketin dia.
Akhirnya, keheningan kembali melanda mereka.
"Ehem!" Hening.
"Ehem!"
Hening lagi.
"Ehem!"
Hedya akhirnya membentak dengan suara yang cukup kencang, "Apaan lagi sih?! Berisik banget!" tanpa melihat siapa yang berdeham.
Sean akhirnya menoleh kebelakang dan begitupun Hedya. Didapati Bu Rina sedang berdiri di depan kelasnya memandang mereka berdua. "Hedya. Sean. Kenapa kalian diluar?"
"Lah kan tadi Ibu bilang yang gak bawa buku tugas atau gak kerjain tugas disuruh diluar. Tauda saya sama Hedya keluar," jelas Sean tanpa merasa bersalah sedikitpun.
"Tapi kalian harusnya lapor dulu ke saya. Sudah. Hukuman kalian, bereskan perpustakaan sepulang sekolah hari Sabtu nanti dengan para murid yang menjadi pengurus perpustakaan. Ingat, jangan kabur. Apalagi kamu, Sean. Kalau kalian ada yang kabur, kalian bisa saya tambahkan lagi hukumannya. Mengerti?"
Sean melotot. "Hah?! Ibu yang bener aja, Bu. Masa disuruh beresin perpustakaan. Berkutat sama buku lagi dong. Aduh elah."
"Jangan banyak ngomong. Sudah, kalian boleh masuk sekarang." Hedya yang pertama kali mengangguk dan masuk ke kelasnya, baru diikuti oleh Sean.
##
Sean POV.
Gila. Si Hedya cakep bet dah. Tapi jutek mampus. Sayang sih ya jadiin dia bahan taruhan.
Sekarang, gue lagi ada di kantin bersama kedua congor sableng a.k.a sobat gue, lagi nunggu Thio, si pembokat gue dan temen-temen gue anterin bakso pesenan kita kesini.
Nah itu dia, makanannya udah dateng. "Makasih, Yo," ujar gue.
Brian melirik Thio dengan lirikan sinisnya. "Ngapain masih disini? Pergi sana." Weits, Brian galak coy.
"Wes. Mau kemane lu? Sini. Duduk aje disini, temenin kita makan." Jadi kalo mau pesen apa-apa lagi kan gak usah cape-cape nyari dia.
Gue udah selesai doa makan dan bersiap untuk melahap bakso yang gue pesen ke dia.
Kunyahan pertama, kunyahan kedua, ketiga, akhirnya gue muntahin. Pedes banget. Pedes? Anjir pedes.
Gue langsung narik kerah baju Thio hingga dia berdiri. "Lu gila hah?! Kasih gue makan cabe?! Lu gila?!"
Terlihat dari ekor mata gue, Brian dan Ion mulai berdiri. "Cabe? Yon, cobain coba, Yon." Ion mencoba bakso gue, sementara gue meringis akibat sakit yang gue rasain.
"Pedes, Bri." Brian langsung memutari meja dan mengambil alih Thio. Ion memberikan gue obat buat pereda rasa sakit di perut gue. Engga, gue gak bakal muntah atau BAB terus-menerus. Hanya aja, perut gue bakal berasa kayak ditusuk-tusuk.
"Lu gila ya?! Lu tau kan Sean gak bisa makan cabe?!" geram Brian. Thio sudah terasa ketakutan. Setelah merasa mendingan, gue berjalan lagi mendekati Thio.
"Sekarang, lu makan nih bakso dalam waktu 1 menit. Kalo gak bisa, gue bakal pesenin 10 mangkok dan lu harus bisa abisin itu dalam waktu 2 menit. Buruan," kata gue denfan nada mengancam dicampur meringis.
Thio dengan takut-takut mengambil mangkok bakso itu dan memakannya. Tapi seseorang menginterupsi kegiatan Thio dengan cara mengambim mangkuk bakso itu dan memakannya.
Gue cuma bisa melongo melihat siapa itu. Hedya, Hedya Noretta. Gila, disaat biasanya cewek-cewek jaga makannya, ini cewek dengan gampangnya habisin bakso hukuman Thio dalam waktu singkat.
"Hedya? Lu ngapain makan itu bakso? Gue kan suruhnya Thio, bukan elu." Ngapain coba dah si Hedya bantuin si Thio.
Hedya berjalan mendekati gue dan menunjuk gue. "Lu gila ya? Ngapain sok jagoan gitu? Sok jadi penguasa, seenaknya aja nyuruh-nyuruh orang, pake hukum-hukuman segala lagi."
Gue .. bengong. Tercengang. Hedya bisa ngomong panjang lebar kayak gini.
"Akhirnya Hedya ngomong panjang lebar sama gue." Apa?
Hedya melotot ke gue dan berlalu begitu saja. Gue? Gue juga berlalu ke kelas lagi, tentunya dengan Brian dan Ion.
"Eh, Bri, Yon. Gue cabut deh. Bilang aja gue ijin ke uks. Oke? Males gue pelajarannya Pak Jono," kata gue. Tanpa jawaban mereka, gue langsung pergi ke uks.
Tok tok tok
"Ibu. Saya ijin istirahat disini ya, Bu. Gak enak badan." Bu Anya hanya menghela nafasnya, mungkin dia capek ngadepin gue, hahaha
Gue tidur di salah satu bangkar. Ah, enaknya, bisa tidur.
"Ah. Sakit."
Nah luh. Ada apaan tuh? Gue menyibak tirai di samping bangkar gue dan tada.
Ada cewek yang tidur memunggungi sedang meringis kesakitan sambil memegang perutnya. Gue berjalan mendekat dan menepuk pundaknya.
"Oi. Lu napa? Sakit perut? Minta obat lah ke Bu Anya." Hening.
"Heh. Gue mintain ya." Gue berbalik dan berjalan ke meja Bu Anya saat tuh cewek menahan tangan gue buat pergi. Gue otomatis langsung berbalik dan melihat tangannya, lalu wajahnya.
"Hedya? Lu yang sakit? Kok lu bisa sakit perut? Aduh, perasaan tadi lu gak kenapa-kenapa dah. Kok bisa sakit sih? Gue mintain obat ya? Bentar." Gue berbalik lagi, berniat ke meja Bu Anya.
Tapi lagi-lagi, Hedya menahan tangan gue. Gue menatapnya heran. "Apa sih? Gue mau minta obat ke Bu Anya. Lu lagi kesakitan begitu."
Hedya menggeleng. "Gak u-sah. Gu-e cuma sakit ben-ta-ran," jawabnya terbata-bata.
Gue mengalah dan duduk disampingnya. Masih tetap memegangi tangannya. "Yaudah, lu tidur aja, ya? Gue tungguin disini." Hedya mengangguk lemah. Ya Tuhan, gue gak tega liat Hedya sakit gini. Kenapa jadi khawatir gini sih. Kan dia cuma bahan taruhan.
Gue mengelus tangannya dengan lembut, membuat mata Hedya mulai menutup dan tidur. Baguslah dia udah tidur.
Hoamm, jadi ngantuk juga gue. Gue menaruh kepala gue disamping tangannya dan kegelapan mulai menghampiri gue.
##
Author POV.
Hedya menggeliat di dalam tidurnya dan tak lama ia bangun. Tapi tangannya terasa berat. Ia melihat sepasang tangan memegangi tangannya. "Buset dah. Dia ampe tidur disini." Hedya mengacak rambut Sean gemas. Lalu menatap jam yang tergantung di dinding. Sudah jam 1 siang. Sakit perutnya sudah menghilang dan dia tidur selama 2 jam. Sebentar lagi pulang sekolah.
"Sean. Sean. Bangun. Lu gak mau pulang?" Hedya menepuk-nepuk pelan pipi Sean.
Alih-alih bangun, Sean hanya menggeliat dan tidur lagi. "Sean. Bangun." Hedya menepuk pipi Sean lagi. Tapi, Sean tak bangun juga. Gemas dan kes karena Sean tak bangun, Hedya menggunakan cara terakhir.
"Maaf ya kalo sakit." Hedya menampar tangan Sean, hingga Sean bangun dan mengucek matanya.
"Oh? Udah jam 1. Lu udah mendingan, Hed?" Hedya mengangguk.
"Udah mau pulang. Lu gue anterin pulang ya?" Hedya menggeleng.
"Lah kenapa?" Hedya menggeleng lagi.
Ini anak jadi bisu ya gara-gara sakit perut tadi?
"Ngomong kek. Bisu lu ya?"
Pletak!
"Aduh." Sean memegangi kepalanya yang menjadi sasaran jitakannya Hedya.
"Napa sih lu? Sensi amat ama gue. Sakit tau." Sean memberenggut kesal.
"Lagian ngatain gue bisu. Lu lupa hari ini ada latihan basket? Mau bolos lagi lu?" cecar Hedya. Sean menepuk kepalanya dan menyengir pada Hedya.
"Hehe. Lupa. Males ah. Gue mending cabut, tidur di rumah."
Pletak!
"Hed. Apaan sih. Jitak pala gue mulu, sakit tau." Sean meringis lagi.
"Lagian elu, kapten, tapi bolos mulu maunya."
"Orang gue udah jago. Selaw aja," jawab Sean asal. Hedya sudah mengambil ancang-ancang untuk menjitak kepalanya lagi. Tapi, tangannya ditahan oleh Sean.
Sean menyengir kepada Hedya. "Gak bisa jitak gue lagi. Sakit nih pala gue. Kalo gue sampe amnesia gimana?"
Hedya mengerjapkan matanya dan menarik tangannya kembali. "Alay lu. Lebay. Udah gue mau balik." Hedya turun dari bangkar dan berjalan keluar uks. Sean tidak berusaha untuk menahan Hedya, karena dia tau Hedya tidak suka ditahan.
Sean mengendikkan kedua bahunya dan berjalan ke tempat kedua temannya berada.
"Woi. Bolos kaga? Cuma eskul," kata Sean.
"Anjir. Bolos mulu lu. Yang bener aja," cecar Brian. Sean hanya nyengir.
"Jadi gak bolosnya?"
"Engga"
"Yon? Ikut bolos kaga?"
Ion menggeleng. "Gila lu. Gue udah diomelin sama pelatih. Udah gak latihan volly. Bisa dicabut jabatan gue jadi kapten."
Ya, memang, ketiga sahabat ini merupakan anggota olahraga. Sean kapten basket, Brian tim inti basket sekaligus ketua klub renang. Sedangkan Terrion, kapten volly.
"Yaudah. Gue cabut duluan ya. Ijinin gue ya, Bri." Sean menyengir pada kedua sahabatnya itu dan kabur, pulang ke rumahnya.
Sean sedang menstarter motornya saat seseorang mengambil paksa kunci motornya, hingga motornya mati. Sean mengerjap dan melihat siapa yang berani mengambilnya. "Hed. Balikin sini." Sean berusaha untuk mengambilnya, tapi Hedya sudah memasukkan kunci motornya kedalam saku jas sekolahnya.
"Coba ambil kalo berani." Sean mendengus. Mana mungkin dia berani mengambilnya dari saku jasnya Hedya. Bisa digorok mamanya nanti kalo sampe ketauan.
"Terserah."
"Mau bolos kan? Gak ada. Lu kapten, ayo latihan. Minggu depan ada turnamen lawan anak Angkasa Taruna. Mereka itu jago-jago."
"Yaelah. Selow aja lah. Gue mah jago. Gak usah latihan juga udah menang," kata Sean ngegampangin, membuat Hedya berdecih.
"Jangan pernah ngegampangin sesuatu, Sean." Hedya menarik kerah seragam Sean untuk mengikutinya ke lapangan.
Begitu anak-anak melihat Hedya menarik Sean, sontak semuanya tertawa, terlebih Brian. "Woi, kayak anak anjing aja ditarik-tarik. Sukurin lu," ledek Brian yang mendapat tatapan tajam dari Sean. Tapi bukan Brian namanya kalo takut dengan tatapan tajamnya Sean.
"Hed. Hed. Udah dong, masa lu mau narik gue mulu. Malu nih gue. Elah," kata Sean memohon. Akhirnya Hedya berhenti dan melepaskan kerahnya.
"Ganti baju sana. Abis ini latihan." Sean mendengus dan berjalan ke ruang ganti.
Baru kali ini, Sean kalah sama cewek.
19 Juni 2016
Yeyeye. Cihuyyy, sudah ada sequel dari Cause of you, My Boy.
Mohon bantuannya dengan cara vomment yaa.
Gomawo
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro