Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

30.2

2 hari yang lalu.

"Halo, Hed. Kita ketemu finally."

Oh, Hedya ingat.

Gadis bejat.

"Kenapa? Kaget ketemu gue lagi?"

Hedye manatap bengis orang yang ada di hadapannya ini. "Kaget. Saking kagetnya gue hampir muntah pas ngeliat elu."

Orang itu menampilkan senyum miringnya. "Dan gue berani bilang kalo gue bakal suruh lu bersihin langsung muntahan lu."

"Make it simple. What do you want from me?" tanya Hedya to the point.

Bukannya menjawab, orang itu malah menampilkan senyum liciknya.

"KALIA!" bentaknya.

Wendy, alias Kalia, menampilkan kembali senyum miringnya. "Take it slow, Hed. Gue cuma mau lu pergi jauh-jauh dari Sean."

"Kalo gue gak mau? Lagian Sean itu pacar gue. Gue sayang dia, dia sayang gue."

Hati Wendy memanas mendengar penuturan Hedya. Seharusnya Sean itu miliknya. "Gue udah tunangan sama Sean."

Hanya satu kalimat pendek. Tapi mampu membuat Hedya kicep sebentar. "Terus?" tanya Hedya dengan senyuman. "Apa masalahnya buat gue?"

"Lu gak tau kan gue tunangan sama dia?"

Hedya menggeleng. "Engga. Tapi gue yakin Sean juga gak mau tunangan sama lu. Karena dia sayangnya sama gue."

"Serius? Yaampun. Lu kayaknya belum tau satu hal."

Hedya menaikkan alisnya tak mengerti. "Apa?"

"Gue itu Wendy."

Apa?

"Gue, Wendy."

Wendy? Wendy. Wendy. Wendy.

ASTAGA. WENDY.

Cinta pertama Sean.

Kedua matanya langsung membulat dan melotot pada Wendy. "Ya. Gue Wendy. Cinta pertama Sean."

Hedya mengeluarkan smirk-nya. "Lalu? Kenapa?" tanyanya. Dalam hati, ia sudah kesal. Kenapa cinta pertama Sean harus muncul lagi padahal sudah meninggal.

Meninggal? Ah iya! Waktu itu dia bahkan mengikuti Noel dan Sean mengunjungi makam Wendy. Tapi kenapa Wendy bisa ada disini sekarang?

"Lu bukannya udah mati?" tanyanya langsung.

Wendy dengan tenang mendekati Hedya dengan satu tangan dimasukkan kedalam saku celananya. Anna dan Manda hanya memperhatikan anak dari bos papanya itu. Ada rasa untuk berhenti. Tapi mereka juga tidak bisa menghentikan Wendy. Karena pada dasarnya, mereka tidak bisa berkutik dihadapan Wendy.

"Jadi lu udah diceritain? Baguslah. Jadi gue gak usah cerita lagi." Wendy menarik bangku dan duduk di hadapan Hedya. "Karena lu udah tau, jadi gue harap lu bisa pergi dari sisi Sean tanpa gue harus bersikap kasar."

"Kalo gue gak mau?"

"Apa?"

Hedya menarik nafas dan menghembuskannya. "Iya. Kalo gue gak mau? Yang penting itu adalah sekarang. Bukan masa lalu. Dan gue adalah orang yang dia sayang sekarang. Dan elu adalah masa lalu dia."

Cukup sudah. Hedya tidak bisa diajak baik-baik. Wendy mengeluarkan cutter dari dalam saku jaketnya. "Lu mau tangan lu lepas dari iketan kan? Boleh. Nih. Silahkan lepas sendiri. Tapi begitu lu lepas, gue berani jamin elu gak bakal bisa balik kayak biasa. Gue bakal terus ngeganggu elu. Termasuk oma lu, kakak lu, Nevan, dan pacarnya, Yuri."

Mendengar nama ketiga orang itu disebut, Hedya langsung menatap Wendy. "Jangan ganggu mereka."

"Oh. Lu gak bisa ngatur gue. Ah, gue lupa dua orang lagi." Jangan. Jangan mereka. "Kedua orangtua lu. Linda dan Johan. Dan perlu lu tau gue gak pernah main-main sama kata-kata gue. Bahkan gue bisa malsuin kematian gue. Gue ini bisa bertindak gila lalo lu mau tau."

Hedya menengguk salivanya susah payah.

"Jadi? Lu masih mau melepas ikatan tali lu tanpa pergi dari sisi Sean? Atau lu lepas tali ikatan tangan lu terus pergi dari sisi Sean? It's your choices. Silahkan pilih," kata Wendy. "Gue bakal kasih waktu sampe besok. Jadi pikirin baik-baik. Jangan bertindak ceroboh."

"Brengsek," umapt Hedya saat Wendy, Anna dan Manda melangkah pergi, keluar dari ruangan tersebut.

##

"Terus? Gimana? Apa pilihan lu?" tanya Aurel tak sabar.

"Sabar anjir, Rel. Kasih Hedya nafas dulu," kata Melina.

Hedya dan Cherry mengangguk mengiyakan.

"Terus.."

##

"Jadi? Gimana? Apa pilihan lu?" tanya Wendy.

Hedya menatap sengit gadis sebayanya yang kini berdiri di depannya.

"Gue gak akan memilih apa-apa."

"Woah. Seriously? Lu gak akan nyesel, kan?"

"Engga sama sekali," jawab Hedya menatap Wendy, menantang.

"Anjing. Anna! Manda! Ambilin cutter sama gunting. Sekarang!"

Kembaran tersebut sudah saling tatap. Seakan bertelepati, saling bertanya apa yang akan Wendy lakukan sekarang. Tapi mereka hanya menurut saja.

Manda sempat menahan tangan Anna dan menggelengkan kepala untuk memberikan kedua barang tersebut pada Wendy. Tapi Anna menatap Manda dengan pandangan -lu-mau-mati?- padanya.

Akhirnya Anna memberikannya pada Wendy. "Jangan berbuat bodoh, Wen," peringatnya.

Wendy mendengus dan mengusir kedua orang suruhannya itu. "Jangan masuk kalo gue gak suruh kalian buat masuk."

Sekarang tinggal mereka berdua. Hedya dan Wendy. Dua perempuan yang pernah ada dan yang sekarang ada di hidup Sean.

"Lu ngomong apa?" tanyanya seringai. Wendy memutar-mutar gunting itu dengan santai dan senyuman miring di wajahnya. Jujur, Hedya takut. Ia meringis kecil melihat Wendy yang seperti psikopat bertemu mangsa. "Apa yang lu ngomong tadi? Lu gak mau pilih apa-apa?"

Dengan berani, Hedya menatap wajah Wendy, menantang. "Iya. Gue gak akan pilih apa-apa. Lebih baik gue disekep disini sampe ada yang temuin gue daripada gue harus ngelepas Sean atau orang terdekat gue yang kena imbasnya. Gue gak akan biarin orang psikopat kayak lu, nyentuh Sean, Oma, Nevan, dan yang lainnya. Gak usah nyentuh, lu lihat dari jauh aja gak akan gue biarin."

"Oh ya? Tapi gimana caranya? Kan lu lagi gue culik disini. Dan perlu lu tau, disini itu susah dicari tempatnya," kata Wendy yang semakin mendekat.

Hedya semakin meringis dengan mendekatnya Wendy. Terlebih lagi dengan seringaian yang muncul di wajahnya. Wendy cantik. Ia akui itu. Tapi dengan seringaiannya itu, membuatnya terlihat menakutkan.

"Gue yakin bakalan ada yang nemuin gue disini," jawab Hedya mantap. Sebenarnya, ia juga takut. Takut tidak ada yang menyadari bahwa dirinya diculik, walaupun ia tahu, semua orang yang mengenalnya tidak sampai sebodoh itu. Tapi tetap saja. Bagaimana jika mereka tidak bisa menemukan Hedya? Bagaimana jika ia harus disekap disini seumur hidup? Oke. Mungkin itu terdengar lebay. Tapi itu juga patut dikhawatirkan, bukan?

Mata hitam legamnya Wendy menatap Hedya lekat dan sejurus kemudian rasa perih terasa dari kepala Hedya.

Rambutnya serasa ditarik hingga lepas dari kepala sampai ke akarnya. "Argh!" ringisnya.

Gunting yang sedari tadi dimainkan olehnya, kini sudah memotong sekitar 8cm rambut Hedya yang tadinya sepunggung. Hedya kembali meringis saat rambutnya dipotong hanya sebelah. dan itupun berantakan. Mau nangis rasanya melihat rambut yang ia urus baik-baik, malah digunting asal oleh psikopat.

Matanya menatap marah Wendy. "Ini rambut mahal, astaga! Main lu gunting asal aja."

Wendy mendecih. Tangannya beralih memegang cutter dan mendekat ke arah tangan Hedya yang terikat. Hedya sudah bergidik ngeri melihatnya. "Ma--mau ngapain lu?"

Ssstttt

Dalam sekejap, darah mulai menetes dari lengan kiri Hedya yang bagian depan. Ia cukup bersyukur Wendy tidak menggoresnya dibagian dalam, bagian nadi. Mungkin ia tidak akan lama lagi membuka matanya kalau sampai digores di bagian dalam.

"Maaih mau macam-macam?"

Hedya meringis menahan perih yang menjalar di lengannya. "Sakit, brengsek!" umpatnya. Matanya menatap nyalang Wendy.

Bugh!

Satu kepalan mendarat dengan kencang dan mulus di wajah Hedya. Kepalanya mulai kunang-kunang dan telinganya berdengung. Darahnya mulai terkuras banyak.

"Berani lu ya ngebentak gue! Gue bilangin ya ke elu. Gak ada yang boleh ngerebut Sean dari gue! Sean itu cuma punya gue seorang!"

"In your dream!"

"BAJINGAN!"

Satu tamparan kini mendarat lagi dengan kencang di wajah Hedya, cukup kencang hingga membuat Hedya muntah darah.

Wendy terkekeh melihatnya. "Sakit? Iya? Mungkin lu bakal lebih sakit melihat ini." Wendy mengambil hape disakunya dan memperlihatkan sebuah rekaman pada Hedya.

Hedya menontonnya dengan seksama. Dari awal sampai akhir. Dirinya merinding, tak bisa berkata apa-apa, hatinya sakit. Disana. Didalam video itu. Kedua orangtuanya, mulai dari masuk mobil, melaju di jalan raya, sampai akhirnya tertabrak karena ingin menghindar dari mobil di depannya. Ingin mengerem, tapi sepertinya rem mereka blong.

"Lu beruntung karena mereka hanya berbaring koma sekarang. Rem mobil mereka sudah blong, itulah kenapa mereka tidak bisa ngerem saat ingin menghindar. Jadi? Masih gak mau milih?"

Berbagai pertimbangan mulai bergumul di kepalanya. Itu hanya dibuat blong rem nya oleh Wendy. Bagaimana jika hal yang lebih buruk terjadi?

Dengan lemah Hedya menatap Wendy. "Lepasin gue dan orang-orang di sekitar gue. Gue bakal lepasin Sean." Dan Wendy tersenyum mendengarnya.

##

"Abis itu, gue dilepasin sama Wendy. Gue disuruh pulang sendiri dengan tangan yang masih berdarah. Akhirnya gue pingsan. Tapi gue gak tau gimana caranya gue bisa balik ke rumah dengan selamat," jelas Hedya panjang lebar.

Aurel, Melina dan Cherry menatap Hedya dengan seksama. Mereka menatap Hedya dengan tatapan iba.

"Jadi?" tanya Melina.

"Jadi apa?"

"Lu yakin lu bisa lepasin Sean?" Giliran Aurel yang bertanya.

Cherry mengangguk, "Hedya kelihatan sayang banget sama Sean."

Hedya menarik nafasnya dalam dan membuangnya perlahan. Kedua bahunya terangkay, tak tahu. "Harus bisa. Buat melindungi orang-orang di sekitar gue," jelasnya.

Ketiga temannya itu seketika menatap Hedya dengan tatapan yang boleh dibilang menjijikan sekaligus mencurigakan. "Jangan! Jangan!" Hedya sudah bergidik ngeri. "ARGH! KALIAN MENJIJIKAN!"

Mereka bertiga seketika memeluk Hedya bersamaan. "HEDYA COCWIT!"

"MANIS BANGET SIH KAMU!"

"IYA! KAYAK GULA DEH!"

"Kalian menjijikan, astaga!"

Setidaknya, hanya itu yang bisa dilakukan Hedya sekarang.

##

Sudah dua minggu sejak Sean dan Hedya putus. Selama itu juga Sean tidak keluar dari kamarnya. Apalagi setelah Brian dan Ion menceritakan alasan Hedya memutuskannya. Dan itu semua karena Wendy. Sempat ia ingin mendatangi rumah Wendy, membuat perhitungan. Tapi niatnya ditahan oleh Noel, Brian dan Ion. Ion dan Brian juga memberi tahu Sean untuk tidak mendatangi Hedya sementara waktu, apalagi memberi tahu Hedya kalau ia sudah tahu alasannya memutuskan Sean. Sebenarnya, Brian dan Ion sudah diberi tahu oleh Aurel, Melina dan Cherry untuk tidak memberi tahu Sean alasan Hedya itu. Tapi mereka berdua kasihan melihat temannya terpuruk. Jadilah mereka memberi tahu Sean.

Sejak saat itu, Sean mengunci dirinya di kamar. Tidak mau makan, hanya minum.

Selvia, Troy dan Marsha sampai kehilangan akal untuk membujuk Sean keluar dari kamar.

"Kak! Serius deh! Lusa tuh Kak Hedya ultah. Lu gak mau kasih kado apa?!"

Tidak. Sean tidak melupakan hal itu. Dia masih ingat. Bahkan ia masih ada hutang wish yang belum dilakukan. Sean ingat itu semua.

"KAK! ASTAGA!" pekik Marsha.

Seakan pekikan Marsha tadi tidak berefek pada Sean. Ia memilih memejamkan matanya.

Tak lama terdengar langkah kaki yang masuk dan keluar dari kamarnya.

"Sean."

Kedua matanya terbuka. Ia menatap orang yang berdiri disana. Disamping tempat tidurnya.

Bukan. Bukan Hedya. Tapi neneknya.

"Kedua orangtua Hedya sudah meninggal. Minggu lalu. Dua sampai tiga hari yang lalu sejak Hedya kembali ke rumahnya. Mereka tidak bisa bertahan dalam koma," jelas Omanya.

Sean bingung sendiri bagaimana omanya bisa tahu.

"Nevan memberi tahu kelima teman mu itu. Brian, Ion, Aurel, Melina, Cherry dan Noel. Dan mereka memberi tahu Oma, Mamamu, Papamu dan Marsha."

Astaga. Gadisnya pasti sekarang sedang membutuhkan sandaran.

"Wendy. Masalah Wendy." Sean kembali menatap neneknya. "Oma punya bukti untuk menjebloskan Wendy ke penjara."

Matanya kini membulat sempurna mendengar perkataan omanya. "Kaki tangan Wendy, Anna dan Manda, sudah bersedia untuk memberikan diri pada polisi dan memberikan kesaksian. Kebetulan mereka merekam segalanya, dan isi pesan mereka pun masih ada. Setelah Wendy masuk penjara, Oma yakin kamu dan Hedya bisa baikan. Karena Oma juga sudah tau alasan Hedya memutuskanmu. Oma pun tau betapa kalian saling menyayangi satu sama lain."

"Mana buktinya? Aku akan memberikannya pada polisi. Tidak peduli dia itu teman lama ku atau bukan."

"Ada syaratnya."

"Apa?"

"Kamu harus belajar di luar negeri. Belajar disana sesuai pilihan mu."

"Apa?! Oma bercanda? Kalau gitu apa gunanya aku memasukkan Wendy ke penjara?"

Omanya menggeleng. "Jangan egois. Kamu mau Hedya hidup di dalam bayang-bayang ketakutan akan Wendy? Mau?" Sean menggeleng. "Cinta tidak harus memiliki. Saling menjaga itu yang penting."

"Tapi--"

"Cinta tahu kemana ia harus pulang. Sejauh apapun kalian berpisah, jika memang takdir, cinta akan pulang ke rumahnya."

Dan Sean tahu keputusannya sekarang.

4 April 2018

aku kembali!! sebentar lagi Seventeen akan selesai. akhirnya selama dua tahun cerita ini aku tulis. dari waktu aku masih kelas 11, sampai akhirnya aku lulus. Wah!!

siapa yang nunggu endingnya? coba bilang.......

bisa kalian tebak akan seperti apa endingnya? bisa dong pasti. kalian kan pintar wkwkwkwk

oke. jangan lupa vote dan komen ya!!!

aku pergi duluuuu. sampai jumpa nanti!!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro