27
Pagi ini, di aula utama, jauh lebih ramai dari biasanya. Kalau biasanya hanya ada anak-anak jurnalis yang menggunakan aula utama untuk kegiatan ekskul, pagi ini berbeda.
Seluruh murid kelas sepuluh dan sebelas sudah duduk di kursi aula utama. Tentu saja tidak diam dan tenang. Kalian tahu sendiri apa yang akan terjadi kalau semua murid berkumpul di satu tempat, bukan? Tidak mungkin kalian akan berdiam diri. Pasti akan ribut.
Itulah yang dilakukan mereka sekarang.
Mengobrol satu sama lain. Membuat riuh di aula yang besar itu.
"Tes. Tes. Mic check."
Mendengar suara mic yang berbunyi, seluruh murid seketika hening. Setidaknya mereka masih bisa berdiam diri walaupun tidak semua, saat melihat kepala sekolah mereka naik ke atas mimbar.
"Baik. Selamat pagi, anak-anakku yang terkasih."
"SELAMAT PAGI, PAK."
"Sebelumnya, saya ingin memberi himbauan untuk kalian tetap tenang. Terlebih kelas sebelas yang sebagai kakak kelas, wajib memberikan contoh u
kepada kelas sepuluh selaku adik kelas kalian. Selama ada yang bicara di atas mimbar, jangan ada yang menyibukkan diri sendiri. Paham?"
"PAHAM, PAK!"
"Baik. Jadi tujuan saya mengumpulkan kalian disini adalah untuk memberitahu kalian semua, kalau minggu depan kita akan ada jalan-jalan sekolah karena kelas dua belas akan uji coba dari pemerintah."
Sontak, semua murid langsung berteriak heboh karena mendengar ada jalan-jalan sekolah. "Diam."
Hening melanda aula utama.
"Terima kasih," ujar sang kepala sekolah. "Dengan jalan-jalan sekolah ini, murid-murid dihimbau untuk menjalin keakraban satu sama lain selama seminggu. Dan, saya tidak mau mendengar ada kasus seperti murid hilang, murid yang tidak mau mendengar kata guru, atau apapun itu. Jadi saya harap, kalian semua bisa mengikuti aturan secara baik, taat dan disiplin. Mengerti?"
"NGERTI, PAK!"
"Baik. Sekian dari saya. Sekarang, kalian boleh kembali ke dalam kelas."
Dalam hitungan detik, semuanya sudah bubar jalan. Ada yang ke toilet, kantin, kelas, dan kemanapun itu. Biasalah.
"Wanjer. Akhirnya ada yang gue suka juga dari ini sekolah. Selama dua tahun gue sekolah disini, baru kali ini gue suka ama ini sekolah," kata Brian sembari merentangkan kedua tangannya dan menatap langit-langit kelas.
Ion mengangguk antusias, "iye bener. Anjir. Kita ada hasilnya juga menangin banyak lomba. Kadamg gue bingung, duit hasil lomba kita kemana ya?"
"Ya dipake buat sekolah lah. Lu kata ini sekolah gak ada biaya? Uang sekolah kita cukup buat bayar biaya sekolah semua?"
Hedya terkekeh, mengcak rambut Sean. "Tumber pinter, Yan."
Sean berdecak kesal, "untung Hedya pacar Sean."
"Emang kalo bukan pacar kenapa?"
"Ya Sean jadiin pacar lah. Kan Sean sayang Hedya," gombalnya dengan mata yang mengerling menggoda Hedya.
Hedya hanya membuang wajahnya muak. Begitu juga dengan Brian, Ion, Melina dan Aurel yang bergidik ngeri dan jengah dengan recehnya Sean.
"Ape lu? Gak ada yang gombalin ampe kayak gitu?" tanyanya pada mereka berempat.
Semua mendecih dan menoyor kepala Sean.
"Sakit, nyet."
##
Kalau ada hal yang membuat Hedya sebal, sudah pasti Sean yang bisa membuatnya sebal.
Sudah berjanji untuk pulang bareng, tapi nyatanya Sean malah mengikarinya. Entah karena apa.
Alhasil, Hedya malah menunggu abang ojek datang. Mau bagaimana lagi? Kakaknya sedang ada kelas sekarang. Kecuali ada teman yang ia kenal untuk ditebeng pulang, tidak mungkin ia akan berjalan kaki.
tin tin
Hedya yang memang sedang melamun duduk, tersentak mendengar klakson motor yang berhenti di depannya. "Naik."
Keningnya berkerut dalam. Bingung dengan apa yang diucapkan orang itu.
"Naik, Hed."
Lelaki berseragam sekolah yang sama dengannya mengulurkan helmet padanya. "Kasih alasan kenapa gue harus pulang sama elu."
"Naik apa engga? Terserah elu sih. Gue cuma menjalani mandat dari Sean."
"Iye, El, iye."
Noel. Dia yang mengantar Hedya pulang. Mandat dari Sean. Sebenarnya bukan pulang sih, tapi mengantarkan Hedya ke suatu tempat.
"Turun."
Hedya berdecak dan memberi helmet yang ia pakai kembali. "Galak amat dah, El. Pantesan gak ada yang mau. Lu lagi dapet kali ya? Kemarin gak kayak gitu dah."
"Salahin noh cowok lu. Gue sampe dipaksa buat anter lu kesini padahal gue ada janji main mobile legend sama temen gue." Noel memutar bola matanya kesal. "Noh, cowok lu noh."
Dari sini, Hedya bisa melihat Sean yang melambaikan tangannya dari kejauhan, pintu masuk sana. Tak bisa diungkiri, Hedya tersenyum karenanya.
Noel tentu saja tidak mau jadi kambing conge. Ia memilih menyalakan mesin motornya dan pergi dari sana. Bisa-bisa ia telat untuk main nanti.
"Hai," sapa Sean dengan senyum di wajahnya.
Hedya tersenyum. "Jadi lu gak anter gue pulang karena mau ajak gue kesini? Amusement park? Seriously? Gue bukan anak kecil lagi."
Lelaki itu mengendikkan kedua bahunya dan merangkul Hedya. "Dapet tiket disini susah. Rame. Aku sampe bolos pelajaran Bu Lusi cuma buat beli tiket disini. Gila, kan?"
"Ada-ada aja kelakuan."
"Ayo masuk!!!"
Awalnya bukan orang yang saling kenal, tapi karena suatu kesalahan, membuat Sean harus mengenal Hedya. Bermula dari taruhan, hingga akhirnya perasaan itu tumbuh sendiri.
Melihat Hedya marah, membuatnya ingin memukul orang yang membuat kekasihnya marah. Melihat Hedya kesal, rasanya ia ingin menoyor orang itu. Melihat Hedya terluka, jangan harap Sean akan membiarkan orang yang melukai Hedya lolos. Melihat Hedya sedih, ia ingin meninju orang itu.
Dan kalau Hedya sampai marah, kesal, sedih dan terluka, Sean akan mencoba semaksimal mungkin untuk mengembalikkan senyuman Hedya.
Seperti saat ini. Perempuan yang kini duduk di sampingnya, Hedya Noretta. Hedya yang sedang tersenyum. Cantik. Senyumnya manis. Sean akan melakukan apapun untuk mempertahankan senyum itu. Jadi jangan salahkan Sean jika ia akan melakukan hal yang buruk untuk orang yang menghilangkan senyum itu.
Tapi, namanya manusia. Kita tidak tau apakah orang lain saja yang bisa membuatnya sedih, marah, dan terluka? Apakah Sean bisa melakukannya?
Dan satu hal yang Sean sadari. Ia akan sangat-sangat menyesal dan terpukul saat Hedya sedih, marah dan terluka karenanya.
##
"Hed. Istirahat dulu, yuk. Kamu udah naik halilintar dua kali, arum jeram sekali, rumah hantu udah berkali-kali sampe aku bosen ketemu hantunya. Aku beliin minum dulu ya."
Hedya mengangguk patuh dan duduk di dekat counter minum, menunggu Sean datang dengan minuman.
"Kok cuma satu? Sean gak minum?"
Sean mengangguk, "minum."
"Tapi ini cuma satu."
"Kan sedotannya dua. Biar romatis gitu," ujarnya dengan cengiran.
"Cih. Bilang aja duitnya gak cukup."
"Dih. Enak aja. Cukup tau. Tapi kan mau romantis sama kamu."
"Tai."
Sean mendecih dan menoyor kepala Hedya pelan saking gemasnya. "Galak banget deh, Hed."
"Udah. Ayo main lagi. Main apa ya?"
"Bianglala."
Mengetahui maksud Sean, Hedya tersenyum. "Dua wish terpenuhi hari ini. Makasih."
Sean tersenyum, mengacak rambut Hedya, membawa tangan Hedya kedalam genggamannya.
Hari ini, biarkan dia dengan Hedya bersenang-senang tanpa gangguan. Apalagi Omanya.
Setelah memberikan tiket pada penjaga bianglala, mereka naik ke salah satu cart nya.
Melihat pemandangan dari atas sini, membuat Hedya tersenyum. Apalagi langit sudah mulai berubah warna, lampu-lampu gedung dan rumah sudah mulai terlihat. Langit yang menampilkan gradasi warna oranye, merah muda, ungu, dan biru gelap itu menyita perhatian Hedya sesaat.
Berbeda dengan Hedya, Sean bukan tersita dengan pemandangan dari atas sini, tetapi dengan wajah yang yang sedang tersenyum menatap pemandangan luar di depannya ini.
"Wah, cantik banget langitnya."
"Secantik-cantiknya langit, dia gak akan ngalahin cewek cantik yang ada di depanku ini."
Hedya mendecih, tapi ia juga tidak bisa menahan senyumnya. "Gombal sekali lagi, awas saja," ancamnya. Ia memilih memandang pemandangan langit yang sekarnag hampir menggelap.
"Hed."
"Hm?"
"Hedya."
"Hm?'
"Hedya Noretta."
Kesal, Hedya menatap Sean. "Apa?"
Sean menatapnya sendu. "Jangan tinggalin aku ya."
Sempat Hedya bingung dengan perkataan Sean. Ada rasa untuk bertanya apa maksudnya, tapi, Hedya memilih mengangguk kaku.
"Aku sayang kamu, Hed."
"Tunjukkin kalo kamu memang sayang sama aku. Jangan ngomong doang."
Lihat? Bagaimana Sean tidak sayang dengan perempuan yang sedang duduk di depannya ini.
Sean mengangguk dan tersenyum.
##
Hari ini hari yang cukup melelahkan untuk Hedya. Pulang dari sekolah, langsung pergi dengan Sean. Saat bermain tadi, tidak terasa rasa lelahnya. Tapi saat ia sudah berada di rumah, barulah berasa lelahnya.
Rasanya ternggorokannya sakit sekarang karena berteriak saat main roaller coaster sama halilintar tadi. Oh, jangan lupakan waktu awal mereka masuk rumah hantu. Hedya berteriak saking takut dan kagetnya. Ia kira ia bisa berlindung dan mengandalkan Sean kalau ia takut. Tapi nyatanya, Sean sendiri juga berteriak ketakutan. Bahkan sampai yang ketiga kalinya pun, Sean masih berteriak. Berbeda dengan Hedya yang bahkan sudah bisa tertawa geli menyadari makeup yang dipakai oleh hantu disana.
"Yaampun, Kak. Ini gak susah bersihinnya? Gak cape berdiri terus ngagetin orang gitu, Kak?"
"Hed. Kamu ngapain sih?" Dibalik tubuh Hedya, Sean tak berani melihat wajah hantu bohongan itu.
"Hush." Hedya merogoh hape di saku roknya. "Selfie dulu dong, Kak. Biae kayak anak zaman now."
"Say cheese!"
"Hedya ayo. Aduh. Takut nih elah."
"Iya-iya. Duluan ya, Kak. Semangat ngagetin orangnya."
Hantu bohongan itu mengangguk dan melambaikan tangannya pada Hedya dan Sean yang sudah berjalan menjauh.
Hedya masih geli sendiri saat mengingat kejadian tadi di rumah hantu. Baru kali ini ia melihat wajah ketakutan Sean. Biasanya kan dia petakilan, gak bisa diem. Dan saat di rumah hantu tadi, Sean benar-benar diam. Hanya berlindung dibalik tubuh Hedya karena takut.
"Heh. Jadi gila lu lama-lama, ketawa sendiri."
"Gak seneng aje. Ngapain kesini?"
"Numpang poop."
"Lah kan lu ada kamar mandi sendiri, Kak. Elah."
"Rusak. Benerin gih."
Tuttttttttt
Seusai kentut, Nevan langsung nyelonong masuk kamar mandi Hedya dan menguncinya dari dalam. Meninggalkan Hedya yang hampir sekarat karena baunya kentut itu.
"KAK NEVAN KAMPRET!"
##
Mobil Lamborghini Aventador milik Sean sudah terparkir di garasi rumahnya. Sudah sekitar sepuluh menit mobilnya terpakir.Tapi rasanya Sean malas masuk ke dalam rumah. Malas sekali.
Drrrtttt drrrtttt
"Siapa lagi."
Sean mengangkatnya tanpa melihat siapa yang meneleponnya.
"Halo."
"Halo, Sean."
Mengetahui siapa yang meneleponnya, Sean langsung memutuskan panggilan.
Mood nya seketika berubah mendengar suara Wendy. Ia seperti melihat pribadi orang lain dalam diri Wendy yang sekaeang. Wendy yang sekarang bukan lagi Wendy yang ia kenal dulu. Kenapa ia berubah?
Itulah yang belakangan ini Sean tanyakan dan pikirkan pada dirinya sendiri.
Tidak mau berlama-lama lagi di mobil, akhirnya Sean memutuskan untuk turun dari mobil dan langsung berlari ke kamarnya.
Tidak ia pedulikan panggilan Oma nya yang memanggil namanya dari ruang keluarga. Pintu kamarnya bukan lagi ia kunci memakai kunci, tetapi memakai password. Untung saja Sean kemarin sudah sempat mengurus pintu kamarnya ini. Pintu kamarnya sekarang sudah memakai dua tipe kunci.
Yang pertama memakai kunci biasa dan yang kedua memakai password. Jadi disaat seperti ini, Sean akan memilih memakai password, supaya Oma nya tidak masuk seenaknya. Hanya ada satu cara kalau Oma nya ingin masuk ke dalam kamarnya. Mendobrak pintu kamar Sean. Tapi ia yakin Oma nya tidak akan segila itu.
Seusai mandi dan memakai baju, Sean membaringkan dirinya sendiri pada kasur. Dan seperti biasanya, memegang hape.
Sebuah ide iseng muncul di kepalanya. "Telpon Hedya lah mending."
Tak lama panggilannya tersambung.
"Halo."
"Ngapain telpon malem-malem."
Buset. Galak amat cewek gue.
"Kangen dong. Makanya Sean telpon."
"Basi banget. Tidur. Besok kan sekolah."
"Males ah. Gak ngantuk. Lagian baru jam tujuh."
"Oh iya ya. Yauda belajar, buat peer."
"Males. Besok minjem punya Ion aje."
"Ck. Nyontek mulu kerjaan kamu tuh. Besok ada ulangan matematika."
"Gampang. Dapet bagus kok pas--"
"LU NYONTEK LAGI, GUE NGAMBEK AMA LU."
Bah. Rasanya seperti ada seseorang yang berbicara melalui toa di deoan telinganya.
"Iya, Hed. Iya."
"Yauda. Aku mau belajar dulu."
"Iya. Jangan sampe bablas belajarnya. Kamu juga perlu tidur, Hed."
"Iya."
"Yauda. Dah, Hed."
"Dah, Sean."
Klik.
Wah. Baru kali ini Hedya memanggil namanya dengan benar. Ada rasa senang tersendiri gitu saat Hedya menyebut namanya dengan benar.
"Semoga hubungan kita langgeng, Hed. Dan semoga gak ada yang misahin kita."
##
"Saya gak mau tau. Pokoknya rencana saya harus dilakukan besok."
"Baik, Bos."
---------------------------------------------------
25 Februari 2018
Waduh. siapa tuh? Dan apa yang akan terjadi besok? Wahhhhh... penasaran..
silahkan kalian berasumsi sendiri apa yang akan terjadi besok wkwkwkwk next chap baru akan ketauan wkwkwk
dan gue kesel. tadinya tuh gue gak ngetik kayak ini. tapi pas di saving, wattpad gue error, mengharuskan gue untuk keluar dari wattpad. dan akhirnya pas masuk lagi, hilang setengahnya. bahhhh..
akhirnya yang sama cuma dibagian awal. di bagian akhirnya berbeda huhuhuhu sedih aku tuh.
tapi gapapa. karena hari ini, gue cuma mau bilang aja nih, gue seneng banget update cerita ini hari ini. karna apa??? karena hari ini bertepatan dengan ultah gue dan ultah Rocky astro, salah satu bias gue!!! wew!!! gak ada yang mau ngucapin nih? wkwkwkwk
engga kok. gue gak butuh ucapan. cukup baca, kasih bintang dan komen aja gue udah seneng kok.
so, sampe disini aja wkwkwk
have a nice day guys!
jangan lupa tuh vomment nya! wkwkwk
see ya next chap!!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro