21
Sean mundar-mandir di tempatnya. Khawatir akan Hedya. Mungkin kalian akan mengatakan kalau ia terlalu lebay. Tapi ia hanya takut Hedya kenapa-napa. Ia tahu Hedya tak bisa ditempat gelap dan sempit. Dan gudang sekolah seperti itu.
Dokter keluar dari kamar tidur Hedya. Sean langsung mendatangi Dokter itu dengan tatapan khawatir. "Gimana, Dok? Hedya gapapa, kan?"
Dokter Ian mengangguk. "Ia tak apa-apa. Ia hanya kaget saja karena phobianya. Sekarang dia lagi istirahat. Jangan ganggu dulu sebisa mungkin. Biarkan dia tidur, sehingga ia bisa tenang kembali."
Sean mengangguk patuh dan mengucapkan kata terimakasih berkali-kali. Sepeninggalan Dokter, Sean masuk ke dalam kamar Hedya hati-hati supaya Hedya tidak bangun.
Ia duduk disamping Hedya. Menggenggam tangan mungilnya, dan mengelusnya dengan sayang. Sesekali mengecupnya. "Kamu kenapa sih, Hed. Demen banget liat Dokter. Kayak Mama aku aja pas masih muda." Mengingat kisah yang Papa dan Mama nya dulu yang mereka ceritakan hampir setiap mereka bertemu.
Mamanya hampir mirip dengan Hedya. Sering sekali melihat Dokter. Bedanya, Mamanya tidak sepintar Hedya. Dan juga, Hedya tidak suka tawuran seperti Mamanya.
Astaga, ia jadi mengatakan yang buruk mengenai Mamanya. Jangan kasih tau Mamanya ya kalau Sean membicarakan Mamanya di belakangnya.
"Hed. Maaf ya. Karena aku gak anter kamu pulang, kamu jadi kayak gini. Kalo aja aku bisa anter kamu pulang dulu baru ikut pertemuan keluarga, pasti gak akan jadi begini. Maafin aku," lirihnya. Mau jujur? Sean rasanya sakit sekali melihat orang yang ia sayang terbaring karenanya. Katakan ia lebay, alay atau apapun itu. Tapi Sean ingin menangis rasanya.
Rasa sayang dia sudah melebihi batas sewajarnya. Kalau ia bisa mengantongi Hedya di sakunya, maka ia sudah melakukannya. Sayangnya tidak bisa.
Sean menarik nafas dan membuangnya sudah payah. Ia mengambil hapenya disaku celana. Membuka grup chat.
The Captain
Sean: woi
Read by 2
Sean: si kampret. Dibaca doang. Cpt bales.
Brian: knp?
Ion: knp?(2)
Sean: gue mau minta bntuan klian.
Ion: bntuan apa?
Brian: gra" tdi siang? Si Hedya udh bgn blm?
Ion: tdi siang? Nyonya bos knp? Kok ga bgn?
Sean: @Ion goblog. Blm bgn bkn ga bgn.
Sean: iya. Blm. Dia lgi tdr.
Brian: ok. Mau dibntuin ap?
Ion: ksh tau gue astaga. Anybody.
Brian: tar gue critain astaga.
Sean: cri siapa yg nglakuin itu ke Hedya. Cri gmnapun cranya. Liat cctv jg.
Brian: ok. Gue akn bntu.
Sean: mkasih
Ion: ksh tau gue yowoh. Akyu tak tau apa"
Read by 2
Ion: woi ini gue dikcgin?
Read by 2
Ion: sungguh teganya teganya teganya.
Brian: lu diem ga, Yon. Gue kick ye.
Ion: okk
Sean memasukkan kembali hapenya ke saku. Ia melihat wajah tenang Hedya yang sedang tidur. Sangat tenang. Seperti tidak ada beban.
"Just wait and see. Aku akan tangkep siapa yang ngelakuin itu ke kamu. Gak akan aku tinggal diam," ujar Sean tegas. Ia mengecup kening Hedya, "Cepet bangun, Hed. Sean kangen." Dan menidurkan kepalanya di ujung ranjang dengan tangan yang masih tetap menggenggam tangan Hedya.
##
Semalam Hedya bangun, langsung memaksa Sean untuk pulang. Walaupun awalnya Sean menolak untuk pulang, akhirnya ia menurut juga. Dengan syarat, besok Hedya tidak boleh masuk dulu ke sekolah.
Dan disinilah ia sekarang. Di kamarnya tercinta. Sedari tadi kerjaannya hanya menggulingkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri. Bosan. Apa yang harus ia lakukan aekarang, ia tak tau.
"Wahhhh!!!! Bosen!!!!!" teriaknya sambil menendang-nendang ke segala arah.
Ini semua karena Sean. Kalau saja Sean tidak memintanya untuk istirahat di rumah, ia pasti ada di sekolah bareng dengan Melina dan Aurel.
Ting!
Dengan secepat kilat Hedya menganbil hapenya yang ada di atas meja belajarnya dan mengecek pesan dari siapa.
From: Unknown Number
Hedya Noretta. Gue udah kasih tau lu sebelumnya, jauhin Sean. Tapi lu tetep deket-deket sama dia.
Sekarang, gue akan peringati lagi. Kalo lu masih deket-deket Sean, siap-siap untuk menerima yang lainnya. Anggap saja kejadian di gudang itu hanya pemanasan.
I'll see you, Hedya.
Hedya bergidik ngeri membacanya. Ia diteror. Belum pernah ia diteror seperti ini. Tapi ia tak mau ambil pusing. Ia mengendikkan kedua bahunya dan kembali berbaring di kasur tercinta.
Cape rasanya. Padahal dia sedari tadi hanya guling kiri, guling kanan saja di kasur. Tapi kenapa rasanya cape banget ya?
Tok tok tok
"Non, ada temennya itu di bawah."
Hedya mengernyit, siapa? Kan semuanya lagi pada sekolah. Masa iya bolos? Itu mah kerjaan Sean bolos. Sean? Oh iya, Sean! Bukan hal yang mustahil kalau Sean bolos. Setelah berganti pakaian, Hedya turun ke bawah, menemui siapa tamunya.
Tuh kan, bener.
Hedya menepuk bahu orang tersebut, lebih tepatnya menabok bahu. Karena orang itu meringis sehabis di tepuk Hedya. "Hed. skait tahu. Sama cowok sendiri gak berperikemanusiaan ya."
"Sok PKn lu. PKn saja remed. Kenapa gak sekolah? Apa bolos? Hm?" omelnya sambil berkacak pinggang.
Bukannya takut, Sean malah terkekeh. Ia mengaca rambut Hedya dna menggendongnya ala bridal style dan membaringkannya di sofa. Hedya dibuat terbengong-bengong (bener kan ya ngomongnya? wkwk) oleh kelakuan Sean. "Siapa yang suruh ngoceh-ngoceh, hm? Lagi sakit bukannya istirahat, malah ngoceh. Pacarnya dateng bukannya dibaikin malah dimarahin. Ayo istirahat."
Hedya memberenggut kesal. Seharian ini dia sudah istirahat, bahkan ia sampai bosan istirahat. "Tapi kan aku udah istirahat seharian ini, Yan. Bosen kali."
"Istirahat. Cepet. Aku temenin. Tidur sana."
"Gak mau."
"Hed. Tidur."
Hedya menggeleng keukeuh. "Gak mau."
"Tidur. Apa aku cium?"
"Cium aja kalo berani," tantangnya dengan tangan yang bersidekap di depan dada.
Cup!
Mata Hedya langsung terbelalak dan melotot pada Sean yang wajahnya bahkan tidak menunjukkan kalau ia takut akan kemarahan Hedya. "Berani ya."
"Kalo demi kebaikan kamu, aku berani. Sekarang tidur, atau aku cium lagi?"
Hedya mendengus kesal dan berbaring di sofa dengan jaket Sean yang menjadi selimut untuk Hedya. Tak lama, ia menutup matanya dan mencoba untuk tidur.
Ternyata kalau ditemani orang yang disayang, cepet ya tidurnya. Buktinya sekarang Hedya sudah terlelap pulas dalam tidurnya.
Sean tersenyum sendiri melihat wajah tenang Hedya. Ia tidak bosan melihat wajah Hedya. Mau wajahnya saat marah, galak, senyum, tertawa, malu, atau tidur sekalipun.
Kalau itu Hedya, ia tidak akan bosan.
Kalau itu demi kebaikan Hedya, Sean berani mengambil resiko untuk apapun. Jadi untuk si peneror yang telah mengunci Hedya di gudang, siap-siap. Sean tidak pernah bermain-main dengan orang yang mengusik orang yang ia sayang.
###
"Halo?"
"Yan. Gue ke rumah lu sekarang. Bareng cecunguk satu."
"Oke."
Tak butuh waktu lama, dua manusia jelmaan binatang itu sudah nongol di kamar Sean. Dalam sekejap, kamar Sean yang tadinya rapi, jadi berantakan. Bantal yang tadinya ada diatas kasur, sekarang dikarpet depan televisi kamar Sean, akibat dari Ion yang mengambilnya saat main PS. Bahkan rempahan snack berserakan di karpet dan lantai.
Hah, habis ini Mamanya pasti akan mengomelinya lagi. "Heh! Jelmaan hewan. Lu pada ngapain sih ke sini?"
"Biasa. Numpang wf (baca: we-ef). Biasa, di rumah gue lagi diomelin. Jadi kabur kesini," sahut Brian asal.
"Gue juga. Lagi males di apete."
"Apartment, bodoh. Bukan apete," kata Brian.
Ion mengendikkan bahunya tak acuh dan memilih tetap fokus bermain. Lalu, Brian menyenggol lengannya, hendak mengingatkan sesuatu. Karena memang Ion lupa.
"Oh iya," ia mempause terlebih dahulu game Tekken-nya dan berbalik menghadap Sean. "Gue udah dapet info siapa yang waktu itu ngunciin Hedya."
Seketika Sean yang tadinya bermain hape, langsung menatap Ion. "Siapa?"
"Manda dari kelas 11 IPS 2. Anak baru dia di sekolah."
Sean mendecih tak suka. "Anak baru aja udah berani ngusik. Liatin aja besok."
Brian dan Ion bergidik ngeri melihat temannya itu dan memilih untuk kembali bermain.
Besok, Manda akan mendapatkan peringatan dari Sean. Ya, hanya peringatan. Karena tadi Sean sudah dikasih tau Hedya untuk tidak berbuat macam-macam, apalagi kalau itu cewek. Daripada dapat serangan singa, lebih baik ia menuruti maunya Hedya.
###
Brak!
Pintu kelas 11 IPS 2 dibuka secara kasar. Oleh siapa lagi kalau bukan Sean dengan Brian dan Ion yang mengikutinya masuk ke dalam kelas.
"Yang namanya Manda, silahkan berdiri dan maju ke depan sini. Gue masih bersikap baik," titahnya.
Seketika suhu ruangan tersebut seperti merendah, dibawah 16 derajat celsius sepertinya. Suasana mencekam, membuat siapapun tak berani berkutik.
"Gue itung sampe 3. Kalo gak ada yang bangun juga, jangan salahin gue kalo gue langsung tarik anaknya dan gue bawa ke lapangan," ancam Sean. "1... 2.."
"Gue, Manda." Seorang gadis berdiri di tengah-tengah keheningan tersebut dengan memandang Sean angkuh.
Sean mendecih tak suka. "Sini lu. Ikut gue."
Dengan ragu-ragu Manda mengikuti dari belakang, menuju entah kemana.
Sean membawanya ke gudang yang waktu itu Hedya dikunciin. Tidak masuk kedalam. Hanya di depannya saja.
Tatapan Sean mulai tajam memandang Manda. Seakan tatapannya bisa membuat Manda tidak berkutik. "Lu!" Sean menarik nafasnya, menetralkan emosinya. Brian dan Ion sudah bersiap, berjaga-jaga jika Sean kelewatan atau, Manda yang kabur. "Kenapa waktu itu lu sekap Hedya di gudang ini?"
Manda tersenyum miring, menatap Sean angkuh. "Kenapa? Toh dia gak kenapa-napa, kan?"
Sabar, Yan, sabar. Dia cewek. Inget kata Hedya. "Gue tanya baik-baik ya. Kenapa. Lu. Nyekap. Hedya. Disini?!" geramnya.
Tetap pada pendirian, Manda menatap Sean angkuh. "Gapapa. Suka-suka gue dong?"
Air muka Sean sudah mulai berubah. Emosinya semakin naik. Manda sudah membangunkan macan tidur.
Sean mendecih dan mendorong tubuh Manda ke dinding dan mengunci dengan kedua tangannya. "Gue tanya baik-baik ya. Tapi lu malah jawab kayak gitu. Terserah lu mau jawab apa engga. Tapi yang pasti, jangan pernah ganggu Hedya dan orang di sekitar gue, atau elu, gak akan tenang hidupnya selama masih ada di sekitar gue. Inget itu!"
Daripada emosinya meledak, lebih baik Sean pergi. Ia berbalik diikuti oleh Brian dan Ion, hendak berjalan kembali ke kelas mereka, saat Manda berkoar kembali. "Jangan harap gue akan nurutin apa mau lu. Kalau lu gak jauh-jauh dari Hedya, gue gak tau apa lagi yang bakalan terjadi sama dia. Jadi, mendingan lu jauhin Hedya!" teriaknya.
Sean mengepalkan tangannya geram. Kalau saja dia bukan perempuan, Sean mungkin sudah meninjunya sedari tadi. "Lebih baik lu tutup mulut lu sekarang, sebelum Sean meledak," usul Brian. Ion mengangguk setuju dan langsung mendorong Sean pergi.
Manda terkekeh dan tersenyum miring. "Lu kata, gue takut sama lu? Engga sama sekali. Kalo ini buat dia seneng, akan gue lakuin sebisa gue."
15 Oktober 2017
Oh yeahhhh!!!
Akhirnya gue bisa update guys wkwkwkwk setelah sekian lamaa wkwkwkwk
Masih ada yang nunggu cerita ini kah? Kalo iya, silahkan comment yakkk wkwkwk
Jangan lupa kasih bintang dan komen guysss wkwkwk
Terima kasihhh
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro