19
Hedya POV.
Sejak malam itu, aku membisu. Sudah tiga hari sejak kejadian malam itu. Aku jadi berubah. Aku juga bolos sekolah. Jarang bicara dan lebih sering melamun. Bahkan disaat aku lagi nonton kartun kesukaanku saja, kartun itu seperti tidak menarik lagi.
"Dek."
Aku menoleh dan mendapati Kak Nevan sedang menatapku. Dia duduk disampingku dan mengambil alih remote tv, mengganti ke channel sport yang aku tidak suka. Biasanya, aku pasti akan marah. Tapi kali ini, aku tidak marah sama sekali. Aku hanya menatap kakakku itu dengan lamat-lamat.
Kak Nevan yang merasa diliatin, langsung menoleh dengan satu alis yang terangkat. "Eh? Lu ngapain ngeliatin gue? Gue tau kok gue ganteng."
Aku mendecih dan terkekeh. "Pede kali kau, Kak."
"Gaya lu sok pake aksen."
"Aksen apa hayo?"
"Gatau ah. Lupa gue." Melihatnya yang tidak bisa membalasku, cukup menjadi hiburan untukku.
"Kak."
"Hm?"
"Kak."
"Hm?"
"Kak."
"Apa sih?"
Dia mulai kesal kawan-kawan. Lihat, dia membalasnya mulai kesal, tapi tetap pandangannya tidak kearahku. Tetap ke tv. Aku terkekeh dan tetap memanggilnya.
"Kak."
"Manggil sekali lagi, gue gibeng lu ye." Melihat wajah kesalnya membuatku tertawa terbahak-bahak. Bahkan aku sendiri bingung kenapa itu bisa membuatku tertawa. Kak Nevan saja sampai melihatiku dan menyentuh keningku dengan telapak tangannya. "Lu gak panas. Dek, lu kenapa?"
"Hahaha. Gue gapapa kali, Kak. Lebay lu ah. Tapi sumpah, Kak. Muka lu kalo kayak tadi, jelek banget. Ama pantat semut aja bagusan pantat semut."
"Lah emang lu pernah liat pantat semut?"
"Engga."
Lihat-lihat. Dia mulai marah. Tangannya sudah terangkat seperti ingin menjitakku. "Bagus ye lu ade gue. Kalo gak luh, udah gue apain kali."
"Kak. Bosen nih. Jalan nyok."
"Ogah."
"Dih gitu. Kakak macem apa lu."
"Bodo amat. Jalan aja sih ama Sean. Udah punya pacar juga. Suruh dia aja kek ngapain gitu. Ngelawak kek, ngajak jalan kek."
Aku mendecak dan menampar bahunya pelan. "Dia pacar gue, bukan badut atau orang yang bisa dipanggil kalo gue lagi bosen. Dia juga butuh waktu sendiri kali, Kak."
"Idih idih idih. Ugugugugu. Adikku inyi utah becar ya," ledeknya sambil mencubit kedua pipiku.
Ku pukul tangannya berkali-kali supaya ia melepaskan cubitannya, "Lepashh gakkhh luhhh. Guehh bihlangin Omahh nih."
Kak Nevan melepas cubitannya dan terkekeh. "Tapi serius deh, Dek. Cowok itu seneng kalo merasa mereka dibutuhin. Seneng pas ceweknya cerita apapun, berbagi sama dia, terbuka sama dia, bahkan kalo lu minta bantuan aja ke dia, dia bakal berusaha semaksimal mUKngkin buat bantuin lu."
Aku hanya bisa tersenyum miris. Aku sadar, seharusnya aku cerita sama Sean. Semuanya. Aku juga ingin terbuka sama dia. Tapi aku gak bisa. Ini semua gak segampang membalikkan telapak tangan. Bahkan Yovan saja tidak tau masalah keluarganya dulu waktu mereka pacaran.
Ting!
Ada pesan baru di hapeku.
From: Restricted Number
Hai, Hedya Noretta. Lu mungkin gak tau gue siapa. Tapi, gue cuma mau kasih tau ke elu. Jauhin Sean. Atau liat aja nanti apa yang akan terjadi.
Aku mengernyit bingung. Ini orang siapa. Kenapa dia bisa tau namaku? Dan darimana dia tau tentang aku dan Sean?
"Dek."
Langsung aku lock hapeku dan memasang senyuman diwajahku. "Oi?"
"Kenapa lu? Muka lu sebelas dua belas ama panci gosong gitu."
Aku menggeleng dan berdiri. "Gue ke kamar dulu deh, Kak. Ngantuk. Besok kan gue sekolah."
"Yaude. Besok Sean jemput kan?"
"Mungkin."
Karena aku juga tidak tau pasti Sean akan jemput atau tidak. Setelah kejadian tiga hari yang lalu, dia tidak menghubungiku.
Ralat, aku yang tidak menjawab chat nya, tidak juga mengangkat teleponnya atau vidcall nya.
"Sampe kapan kamu gak mau jawan panggilan masuk dari aku?" Aku membatu.
Kok kayaknya aku kenal ya suaranya.
Ahh, ga mungkin. Aku pasti cuma kangen doang sama dia. Cieelah kangen. Baru juga kemaren ketemu. Gaya banget lu ah, Hed.
"Hed."
Nah loh. Ini kok kayak beneran ya.
Aku menoleh dan mendapati Sean yang memang benar-benar ada. Dia sedang berdiri di belakangku sambil tersenyum tipis. Aku tersenyum kikuk dan menggaruk tengkukku yang sudah bisa kalian pastikan, tidak gatal.
"H-hai."
"Ah elah. Jadi nyamuk dah gue. Mending gue pergi sekarang." Ini kadang Kak Nevan memang harus disumpel kaos kaki bau nya Anya kali ya. Betewe tentang Anya. Dia itu anak IPS angkatan aku, cewek sih, tapi joroknya ampun-ampun. Kaos kaki dia itu digantinya 4 bulan sekali. Suka ngupil lagi kata temen sekelasnya.
Aku mendelik kearah Kak Nevan yang sudah nyengir dan ngacir ke kamarnya. "Ehem." Sean berdeham.
Aku bahkan tak berani menatap matanya. "Apa?" Setelah mengumpulkan keberanianku, aku menatap Sean seperti biasanya.
Sean beralih duduk disampingku, dan tiba-tiba dia merentangkan tangannya. Membuatku bingung. Kedua alisku naik, tanda kalau aku sedang bingung.
"Apaan?" tanyaku lagi.
"Peluk."
Hah?
Sean berdecak dan sedetik kemudian dia sudah menarikku kedalam pelukannya. Jangan lupa dengan kecupan dirambutku dan tangannya yang mengelus rambutku.
Wangi ini. Wangi pewangi yang selalu Sean pakai. Tapi aku bingung. Apa Tante Selvia menggunakan pewangi yang dicampur cokelat? Karena wangi Sean seperti cokelat. Harusnya kan cewek yang harumnya manis-manis gitu.
Ah. Aku juga tidak terlalu perduli. Aku kangen Sean. Sungguh. Aku kangen semuanya tentang dia. Wanginya, hangat peluknya, kangen saat dia menyanyikan lagu apapun yang aku minta menggunakan gitar -walaupun dia juga cuma asal ngejreng- yang selalu aku request.
Tak perlu berpikir untuk aku membalas pelukannya juga. Aku, kurasa aku lebay. Bahkan aku tidak bertemu dengannya hanya dalam jangka waktu tiga hari. Sebenarnya, kalau aku mau turun, aku akan ketemu Sean. Karena setiap hari ia ke rumahku. Tapi akunya saja yang mengurung diri di kamar terus. Dan tadi aku bilang aku kangen sama dia. Astaga, Hedya. Sejak kapan lu jadi alay begini.
"Aku kangen kamu. Sean kangen Hedya. I miss you. I really really miss you. Neomu bogoshipda. Kangen banget." Sean semakin mengeratkan pelukannya, seperti aku akan pergi saja(?) Padahal aku akan selalu disini. Tidak akan pergi.
"Aku juga. Maaf karena gak angkat panggilan dari kamu."
Sean menatapku dan tersenyum. "Makanya, jangan menghindar mulu. Emangnya Sean tukang kredit apa."
Aku terkekeh dan mencubit kedua pipinya. "Iya iya. Maafin Hedya ya."
Sean menjauhkan tanganku dari wajahnya dan mengusap pipi kananku dengan ibu jarinya. Ia tersenyum, "Hang on, Hed. I don't know what your problem is. But, i want you to kow, as i said before, i'll always be on your side, and always be ready to hear your problem and story. it doesn't matter if your past is bad or good, i'll always love you," ujarnya. Sirat ketulusan terpancar dari matanya. Kata-ata tersebut diakhiri dengan kecupan di keningku lama.
Aku hanya bisa menatapnya.
Oh my god!
Sejak kapan Sean bisa seserius ini. tak terasa, satu tetes air mata turun ke wajahku. Sean mengusapnya dengan ibu jarinya. "Kenapa nangis?"
Aku menggeleng. "Terharu. Ternyata pacar gue sudah bisa bahasa inggris," ledekku. Tentu saja aku menangis karena terharu dengan ucapannya.
Sean mendengus, "Aku sih udah serius luh ya. Itu kata-kata susah tahu buat aku ucapin, kata-kata dari hati yang paling dalam itu." Dia membalikkan badan dengan tangan yang bersidekap di depan dada.
Aku terkekeh karena tingkahnya. Dia lucu banget sih. Pacar siapa tau.
"Iya. Iya. Aku tau kok. Aku kan cuma bercanda." Kupeluk dia dari samping dan mengecup pipinya sekilas, secepat kilat.
Sean terkekeh lagi dan mengacak rambutku.
Aku, aku sudah nyaman sama Sean. Dan, aku gak mau aku pisah sama dia. Aku tau, aku harus memberitahunya tentang hal itu, tapi, tidak sekarang.
Akan ada waktunya aku akan memberitahunya.
##
Unknown POV.
Peringatan udah dikirim. Tinggal tunggu waktu kapan gue melempar granat, dan meledak.
Boom!
Saat meledak, disaat itulah gue menang.
Gue tertawa kecil di kamar. Tawa gue terhenti saat mendengar ada panggilan masuk dari-nya.
"Halo."
"Gimana perkembangannya?"
"Yaelah. Udah gue bilang. Tenang aja. Gue udah kasih peringatan ke dia. Kalo dia masih gak jauhin juga, ya gue lancarin aksi gue."
"Pokoknya gue gak mau tau. Sean gak boleh jadi milik siapa-siapa."
"Iye. Tenang aje sih. Selo. Udah ye. Gue mau mandi."
Tidak menunggu jawabannya, gue langsung memutuskan panggilan.
"Bagus sayang. Kalo gak udah gue apain kali."
Gue menampilkan smirk diwajah gue. Liat aja, semua akan berjalan seperti apa yang gue mau.
##
Author POV.
Hari ini, Hedya sudah memilih untuk masuk sekolah. Karena, ia khawatir juga dengan poinnya. Kalo gak masuk terus, lama-lama poinnya bisa habis. Bolos dikenakan poin 25. Gampang sih memang untuk Hedya mendapatkan poin, tinggal dapet nilai 100 di ulangan, dia sudah dapat poin.
Yang bikin Hedya males itu adalah mengumpulkannya ke guru. Ia males, paling males ke ruang guru. Entah kenapa. Hedya paling anti ke ruang guru.
Sean? Gak usah diomongin dia mah. Poin dia tinggal 200, sedangkan poin untuk kenaikan kelas itu 500. Setiap ulangan yang mendapat nilai sempurna, mendapatkan poin 50. Kalau dia mempunyai otak seperti Hedya, ah bukan, seperti Ion, tidak, seperti Brian saja, mungkin dia bisa mengejar poinnya yang hilang.
"Yan. Gimana sih. Kerjaannya gak bikin tugas mulu," omel Hedya, menjitak kepala Sean.
Sean meringis. "Yah maaf, Hed. Sean lupa kalo ada tugas. Kan kemaren Sean seharian dirumah Hedya, pulang langsung tidur. Maaf ya. Janji deh gak gitu lagi."
"Janji-janji mulu. Gak bagus tau bikin janji mulu. Kalo gak bisa tepatin nanti dosa."
Ion, Brian, Melina dan Aurel hanya tertawa melihat sepasang kekasih tersebut. Pasalnya, tadi Sean dihukum disuruh keluar dari kelas karena tidak membuat tugas kimia. "Lagian gue jadi bingung dah ya. Lu kok bisa masuk IPA sih. Otak kayak lu bahkan masuk IPS aja gak bisa kali."
Sontak semua yang ada di meja itu tertawa. Bahkan Ion hampir memuntahkan siomaynya karena tertawa. "Hedya. Jahat amat dah ya. Gini-gini tuh aku pinternya terselubung tau."
"Cih. Pinter apaan? Pinter mainin cewek? Pinter boong?"
Sean mengerjapkan matanya. Hedya gak biasanya galak kayak gini, batinnya.
"Hed. Kamu lagi dapet ya?"
Hedya langsung menoleh dan mendapati wajah bodohnya Sean dengan kedua jari Sean membentuk huruf V. "Kalo ngomong gak disensor ya."
"Ya abis. Aku kan bingung. Kamu tiba-tiba jadi galak kayak gini. Lagian aku tuh beneran pinter tau."
"Pinter apaan? Pinter nyontek? Pinter gombal? Pinter taruhan?"
Deg!
Brian, Ion dan Sean langsung membatu. Suasana di meja kantin yang mereka tempati sekarang jadi hening. Merasa ada yang aneh, Hedya kembali berpikir apa yang dia ucapkan tadi, menepuk jidatnya dan menatap Sean yang membatu tanpa melihat Hedya. Ngapain sih gue pake bawa-bawa taruhan segala. Hedya hedya, batin Hedya.
"Udah ah. Hedya kenyang. Mau ke kelas." Hedya berdiri dan meninggalkan kantin, disusul oleh Sean dibelakangnya.
Tak perlu lama-lama untuk Sean bisa menyejajarkan langlahnya dengan Hedya. "Hed. Maaf deh. Beneran deh. Aku lain kali kerjain. Ya ya ya?"
"Hm."
Sean meringis. Rasanya Hedya memang lagi kedatengan tamu. Gemas, Sean berhenti di depan Hedya, mengangkat wajah Hedya dengan kedua tangannya. Mencium bibir Hedya dan melumatnya singkat. Singkat sekali. Mungkin tidak sampai 30 detik. Setelah itu, Sean berlari masuk ke kelas. Meninggalkan Hedya yang masih seperti patung di koridor dengan wajah memerah.
Sadar akan apa yang Sean lakukan, Hedya langsung berlari juga. "Sean! Berani ya lu ama gue!"
Ah anak dua ini. Bagus koridor tidak ada siapa-siapa. Yaiyalah. Kan semua murid sedang istirahat. Otomatis kosong. Dan itu memudahkan Hedya untuk berlari mengejar Sean.
Sean nyengir kuda sambil menunjukkan jari yang membentuk huruf V lagi begitu melihat Hedya sudah ada disampingnya. "Damai, nyonya bos."
Hedya mendengus dan duduk disamping Sean dan menatapnya kesal. "Kalo nanti ketauan guru gimana? Ini kan di sekolah. Tar poin kamu dikurangin lagi."
Sean tersenyum mengejek. "Berarti kalo gak disekolah boleh dong?" tanyanya sambil menaik turunkan kedua alisnya.
Blush
Wajah Hedya memerah lagi. "Nih anak. Gak boleh cium-cium tau. Masih sekolah juga. Gak so--"
Sean membungkam mulut Hedya dengan mengecup bibir Hedya lagi. "Iya iya. Bawel. Aku tau kok. Aku cuma kali ini aja. Kiss selanjutnya yah, tar aja pas diluar sekolah."
"Sean!" Hedya memukul-mukul lengan Sean gemas, sedangkan yang dipukul bukannya kesakitan, malah tertawa dan membawa Hedya kedalam pelukannya tiba-tiba.
"Kayak gini aja ya sampe pulang. Enak meluk kamu. Wangi vanilla lagi kamu."
Hedya tidak bisa berkata apa-apa lagi. Lidahnya kelu. Terlalu malu untuk menjawab Sean. Wajahnya pasti sudah mengalahkan daging buah semangka merahnya.
"Aku sayang kamu."
Sean kampret. Muka gue bisa meledak karena panas ini, saking merahnya. Lu mau bikin hati gue meleleh sampe kayak air kali. Mau bikin jantung gue meledak karena ucapan lu. Untung sayang. Kalo gak udah gue tonjok kali lu, batin Hedya.
Tak bisa dipungkiri, hati Hedya juga meleleh mendengar kata-kata obral Sean. Hedya membalas pelukan Sean juga dengan senyum diwajahnya.
"Sean. Hedya. Masih mau peluk-pelukan? Silahkan keluar dari kelas."
Ah, mereka tidak mendengar bel tadi, saking enaknya berpelukan. Mereka juga lupa kalo abis ini pelajarannya Pak Dito.
Dengan berat hati, Sean dan Hedya saling melepas pelukannya. Hedya kembali ketempatnya. Anak-anak sekelas menertawai mereka karena ulah mereka.
"Aish. Malu gue," bisik Hedya ke diri sendiri.
Yah, namanya juga pasangan baru. Masih anget-anget tai lah.
Liat aja. Kali ini lu gue kasih bebas. Tapi lain kali, gak ada kayak gitu, Hedya Noretta, batin seseorang dengan smirk di wajahnya.
30 July 2017
Yey! Sesuai jadwal, minggu pertama update.
Semoga suka yaa
Happy reading guys. Jangan lupa vomment! Makasehhhh
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro