Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

12

"Hai. Kamu gak ikut main?" Hedya mengelus rambut anak perempuan yang tidak ikut bermain. Dan anak perempuan itu menggeleng.

Ia senang sekali akhirnya bisa ke panti asuhan. Karena dia tidak boleh berpergian sendiri, dan Nevan tidak mau menemaninya ke panti asuhan. Omanya? Tidak mungkin. Karena Omanya sudah tua. Dan sekarang keinginannya terkabul berkat Sean.

Ngomong-ngomong Sean, ia sedang bermain sepak bola dengan anak-anak panti. Hedya tersenyum melihatnya. Tidak pernah Hedya lihat senyum seperti itu dari Sean.

Masih melihati Sean, Sean melambaikan tangannya pada Hedya yang dibalas lambaian tangannya dan senyuman tulus. "Hed. Mau main gak?" teriaknya dari tengah lapangan.

Hedya menggeleng. "Gak usah. Gak mau. Main aja sana."

"Oke." Dan ia kembali bermain lagi.

Anak perempuan yang tadi ia elus kepalanya memanggilnya. "Kenapa, sayang?"

"Kakak itu pacarnya kakak yang lagi main itu ya?"

Seketika Hedya terdiam. Bingung mau jawab apa. "Eng-engga kok. Kita cuma temenan doang. Eh, musuh deh."

"Ih, Kakak. Gak baik loh musuhan. Kata Bunda gak boleh musuh-musuhan. Gak baik. Nanti masuk neraka loh." Astaga. Rasanya Hedya ingin mencubit pipinya karena terlalu gemas.

Hedya tersenyum tulus dan mensejajarkan wajahnya denfan anak kecil itu. "Adik. Adik namanya siapa?"

"Maura, Kak."

Tidak tahan karena gemas, Hedya mencubit kedua pipinya. "Maura. Kakak gak beneran musuhan kok sama dia. Kakak cuma bercanda aja."

"Oh, bercanda doang ya, Kak?"

Hedya mengangguk. "Iya. Cuma bercanda."

"Maura! Kak Sean mau ajak main kincir angin. Ayo, mau ikut gak?" tanya anak laki-laki yang tiba-tiba berlari mendatangi tempat Hedya dan Maura.

Maura mengangguk mantap. "Ayo." Ia berlari sambil berpegangan tangan dengan anak laki-laki itu.

"Eh ilah, Mikael. Jangan lari-lari. Entar lu jato. Kesian tuh cewrk cakep digandengan lu," teriak Sean.

Hedya menahan tawanya dan ikut ketempat mereka bermain.

"Nah. Ini buat lu nih, Nyong." Sean memberikan kincir angin berwarna biru pada Mikael dan ia mengambil yang warna merah muda dan memberikannya pada Maura. "Nah. Ini untuk yang cantik. Namanya siapa?"

"Maura."

Hedya tak pernah melihat Sean yang seperti ini di sekolah. Sean terlihat seperti orang lain. Dan ia lebih memilih melihat Sean yang saat ini sedang bermain dengan anak-anak dibanding Sean yang begajulan di sekolah.

"Kak Hedya. Ayo ikut main." Maura datang dan menarik tangan Hedya. Sean tersenyum tulus padanya dan memberikan satu kincir angin padanya.

Mereka berlari-lari bersama agar kincir anginnya bisa berputar.

Lelah setelah bermain, mereka memilih untuk masuk kembali kedalam rumah panti. "Maura, Mikael. Mandi sama makan lagi gih. Keringetan kalian," ujar Hedya lembut.

"Oke, Kak." 

Setelah mereka berdua pergi, Sean menarik tangan Hedya ke parkiran mobil. "Mau ngapain dah kita kesini?"

"Diem aje. Nih bantuin bawa." Sean memberikan sebuah kotal berukuran besar kepada Hedya.

Membuatnya mengernyitkan dahinya. "Itu kado natal buat mereka. Hari ini kan natal. Lu lupa?"

"Oh iya. Natal. Lupa gue haha. Lu siapin ini semua sebelum kita kesini?" Sean mengangguk dan mengeluarkan sebuah gitar.

Setelah menutup pintu mobilnya, mereka masuk lagi ke dalam rumah. "Ibu. Ini ada beberapa kado buat anak-anak disini. Mohon diterima ya, Bu."

"Baik sekali, Den Sean dan Nona Hedya. Makasih banyak atas kado-kadonya. Anak-anak pasti suka."

Sean dan Hedya tersenyum. "Sama-sama, Bu," jawab Hedya.

"Anak-anak udah siap semua, Bu? Jadi kita bisa mulai acaranya sekarang," kata Sean. Ya, dia juga membuat acara kecil untuk merayakan natal bersama anak-anak panti ini. Bu Tina mengangguk dan mengumpulkan anak-anak di aula untuk memulai acaranya.

Hedya tersenyum melihat mereka semua. Sepanjang acara, semuanya berjalan dengan lancar. Semuanya riang. Dan sekarang, waktunya mereka berdua untuk pulang.

"Kakak pulang dulu ya, anak-anak. Jadi anak-anak yang baik dan bisa ngebanggain orangtua kalian walaupun kalian belum pernah melihatnya," ujar Sean.

Hedya mulai terisak. Ia tidak tahu bagaimana lagi ia berkata.

Rasanya sedih sekali meninggalkan mereka. Mereka terlihat senang sekali saat dikunjungi. Mereka hanya anak kecil yang tak pernah melihat kedua orangtua mereka. Bahkan ada yang baru lahir sudah ada disini. Saat ditanya, apakah mereka kangen dengan kedua orangtua mereka, mereka hanha tersenyum dan mengangguk. "Kita tiap hari berdoa kok, Kak. Biar Papa sama Mama bisa sukses terus ketemu sama kita disini. Pasti mereka lagi kerja keras deh sekarang. Biar nanti pas ketemu kita, kita dikasih hadiah yang banyaaakkkk banget." Itulah yang mereka katakan.

Hedya tak sanggup melihat ini lagi, jadi lebih baik ia duluan ke mobil. Sean menyusul di belakang.

Lalu ujung baju Hedya serasa ditarik. "Eh? Maura. Kok kamu diluar, sayang?" Hedya mensejajarkan wajahnya dengan wajah Maura dan mengelus rambut Maura.

Maura mengeluarkan sesuatu dari kantung celananya. "Ini, Kak. Ini gelang kesayangan, Maura. Cantik, kan?" Hedya mengangguk. Gelang dengan tali warna hitam dengan gantungan bintang-bintang kecil disekelilingnya.

"Cantik, kok."

Tanpa aba-aba, Maura langsung memakaikannya ditangan Hedya. "Ini buat Kak Hedya. Nanti kalo Maura udah gede, terus ketemu Kak Hedya, jadi Maura bisa kenalin. Karena Maura gak mau ditinggal sama temen Maura lagi. Cukup Papa dan Mama aja." Maura mulai terisak.
Mata Hedya berkaca-kaca dan langsung memeluk Maura, menenangkannya. "Udah ya, Maura. Iya, Kak Hedya pasti ngenalin Maura kok kalo Maura udah gede nanti. Maura jadi anak yang rajin, yang pinter ya. Biar bisa ngebanggain orangtua Maura. Oke?" Maura mengangguk didalam pelukan Hedya.

Hedya melepas pelukannya dan menghapus jejak air matanya serta Maura. "Sekarang Maura masuk dan main sama temen-temen ya. Makasih gelangnya, sayang."

Maura tersenyum dan mengangguk. "Sampai jumpa lagi, Kak Hedya." Lalu Maura masuk ke dalam rumah lagi. Barulah Sean keluar dari tempat persembunyiannya.

Sedari tadi Sean melihat dari balik pilar. Ia juga terbawa suasana. Bahkan Mikael, si anak bandel itu juga memberikan mobil mainannya kepada Sean.

"Hed." Hedya menoleh. "Yuk jalan."

Hedya mengangguk dengan kradaan masih terisak.

Di mobil Sean mencoba untuk menenangkan Hedya. Tangisannya mulai reda. Tiba-tiba hapemya berbunyi. Melihat siapa yang meneleponnya, Hedya langsung menolak panggilannya.

Sampai beberapa kali bunyi, tapi tetap ditolak. "Siapa sih, Hed?"

"Bukan siapa-siapa."

"Angkat dulu lah."

"Gak usah."

Lalu hapenya Sean bunyi disakunya. Sean berusaha untuk menggapainya, tapi malah hapenya jatuh. Ia berusaha untuk menggapainya.

"Hed. Oma lu nih. Kayaknya penting. Coba lu ang--"

Telolet telolet

"SEAN AWAS!"

Terlambat.

Boom

Tabrakan tak dapat dihindarkan.

##

"Halo."

" ... "

"Iya. Ini keluarganya Sean Derellio."

" ... "

Pegangan telepon terlepas dari genggaman Marsha. Selvia dan Troy yang tengah duduk di ruang keluarga langsung mendekati Marsha yang jatuh terduduk. Troy mengambil alih teleponnya, sedangkan Selvia mencoba menenangkan Marsha.

"Sel. Sean kecelakaan." Jantung Selvia seketika seperti jatuh.

"Ayo kita ke rumah sakit sekarang."

Setelah berganti pakaian, mereka bertiga langsung masuk kedalam mobil dan melaju ke rumah sakit.

Marsha masih terisak. Selvia lebih memilih untuk duduk disamping Marsha, menenangkannya. "Aku udah berasa gak enak pas Kak Sean bilang mau pergi. Tapi aku gak bisa ngomongnya. Aku takut Kak Sean kenapa-kenapa, Ma."

"Sssttttt. Engga. Pasti gak akan apa-apa, Dek. Tenang aja."

"Papa kita kapan sampe?"

"Bentar lagi, Cha."

Begitu mobil berhenti dan terparkir, Marsha berlari mencari Sean. "Sus. Korban kecelakaan hari ini atas nama Sean dimana ya?"

"Oh, lagi dioperasi. Disebelah sana, Mba."

Tanpa kata-kata, Marsha langsung berlari kedepan ruang operasi.

Walaupun Kakaknya ini sering usil, berandalan, sok jaim, malu-maluin, tapi Sean adalah kakak yang baik. Kakak satu-satunya. Kakak yang selalu ada pas Marsha butuh. Teringat saat Marsha waktu itu saat putus cinta, Sean hampir menonjok mantannya. Saat Marsha nangis dan meneleponnya di sekolah, Sean langsung datang tanpa menggunakan motornya, Sean naik ojek. Padahal Sean sedang kencan dengan gebetannya, dan dia bawa motor. Tapi karena khawatir, Sean langsung naik ojek dan meninggalkan gebetannya.

Dokter keluar dari ruang operasi. "Dok. Gimana keadaan kakak saya?"

"Iya, gimana keadaan anak saya, Dok?"

"Operasinya berjalan lancar. Sekarang ia sedang tidur. Ia akan dipindahkan ke ruang perawatan. Saya permisi dulu."

Marsha akhirnya bisa tenang karena kakaknya selamat. Entah bagaimana jadinya ia kalau Sean tidak dapat diselamatkan. Setelah dipindahkan, Marsha langsung duduk disamping Sean.

"Cha. Papa sama Mama urus administrasi dulu ya. Kamu temenin kakak dulu."

Marsha mengangguk.

Tangan Sean bergerak, matanya perlahan terbuka. "Gue ada dimana?" tanyanya lebih ke dirinya sendirk dengan suara serak.

"KAK SEAN. LU UDAH BANGUN?!" Suaranya menggema dikamar tersebut.

Marsha langsung memberikannya segelas air. "Minum dulu, Kak."

"Kok gue bisa ada di rumah sakit, Dek? Kayaknya tadi gue-- Astaga! Dek. Gue mau ketemu Hedya. Hedya dimana?" Sean langsung duduk dan menurunkan kakinya ke lantai, hendak pergi mencari Hedya.

"Kak. Istirahat dulu kenapa sih. Tadi Marsha udah kasih tau ke Kak Nevan kalo Kak Hedya kecelakaan. Lu tenang aja. Kak Hedya udah ada yang jaga. Tapi dia masih koma." Sean memilih untuk menuruti Marsha, karena jujur kepalanya masih pusing sekali.

Ia yakin dan percaya (apa banget dah, thor) kalau tabrakan tadi cukup kencang. "Kak. Kak!"

"Apa?"

"Lu gak apa-apa, kan?"

Sean menggeleng. "Cuma pusing banget kepala gue."

Tiba-tiba Marsha mencubit tangan Sean karena gemas dan kesal. "Itu namanya kenapa-kenapa, Kak. Kok punya kakak govlog ya."

"Ngomong ape lu?"

Marsha nyengir dan mengacungkan kedua jarinya yang membentuk v. "Damai. Damai. Orang sakit gak boleh marah-marah, Kak."

"Sabar, Yan. Sabar," ujarnya sambil mengelus dadanya sendiri. "Papa sama Mama mana? Gak mungkin kan lu kesini sendiri?"

"Lagi urus administrasi. Lagian elu sih nyusahin."

"Yeh kurang ajar lu ya."

"Damai ilah. Baperan amat dah. Bilangin Kak Hedya nih."

"Gue piters lu ampe ngadu ke Hedya."

"Sean? Kamu udah bangun, Nak?" Selvia dan Troy baru saja kembali dari mengurus administrasi.

Sean tersenyum. "Udah lah."

"Kamu gak apa-apa kan, Nak? Soalnya biaya rumah sakit mahal. Sayang duitnya," ledek Selvia. Padahal kalo soal uang, mereka berlimpah. Ia hanya ingin mengusili anaknya ini.

Marsha terkekeh. "Udah sembuh, Ma. Tadi Kakak justru mau ngajak Marsha ribut."

"Heh. Gak kebalik, bocah? Ada juga elu yang ngajak gue ribut. Lagian Mama sama Papa pelit amat dah. Duit banyak juga."

"Kamu kira cari uang itu gampang kali," kata Troy sambil menjitak pelan Sean.

Selvia, Troy, dan Marsha terkekeh melihat Sean yang meringis. "Ma. Kayaknya Kak Sean cuma sakit boongan dah. Masa abis kecelakaan bisa kayak gini. Ini mah boongan nih," ledek Marsha sambil memegang kaki kanan Sean yang diperban, hingga Sean meringis.

"DEK. GUE PITES LU YA KALO GUE UDAH SEMBUH."

Semuanya tertawa. Hanya Sean yang masih meringis dan tidak tertawa.

"Tapi, tau gak kamu, Yan? Marsha tuh tadi sampe nangis kejer loh. Khawatir sama kamu. Iya gak, Pa?"

"Iya. Bahkan begitu mobil udah diparkir nih, dia langsung lari kalang kabut cariin kamu." Tawa Marsha terhenti begitu kedua orangtuanya membongkar yang menurutnya aib.

Marsha mencibir. "Gak usah dikasih tau juga kali. Entar Marsha diledekin Kak Sean."

"Iya? AH CIE ACHA SAYANG SAMA KAKAK YA?! Cieeeeeee. Uhhhh co cwitttt adikku ini." Sekarang gantian Sean yang meledeki Marsha sambil mencubit kedua pipinya.

"Kaahhkkkk sahhkkkitttthhh pipi gueehhh." Sean melepaskan pipinya dan semuanya tertawa.

Tiba-tiba Sean terdiam. "Kenapa, Kak?"

"Itu, Hedya dikamar apa ya?"

"102. Dilantai atas."

"Temenin keatas yuk, Dek."

"Males. Besok aja ah."

"Dih songong."

"Istirahat dulu yang bener, Kak. Besok baru jenguk Kak Hedya."

"Maunya sekarang." Sean merengek bagaikan anak kecil. Kadang kalo Sean sudah benar-benar ingin sesuatu, dia bisa seperti bayi. Bayi besar maksudnya.

"Sean. Istirahat dulu." Oke, kalo Troy sudah katakan sesuatu, tidak mungkin Sean berani membantahnya. Jadi Sean diam.

Ah, dia ingin cepat-cepat berganti hari. Ingin bertemu pujaan hatinya. Eh, targetnya maksudnya.

3 Maret 2017

Update yeyyyy. Sempet"in update sebelum ujian hiks hiks

Keep reading and don't forget to vote haha

See ya next time

Author muah muah

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro