11
"Kak Sean! Bangun! Kita mau pergi sekarang nih. Nanti ke gerejanya telat."
Sudah 5 menit Marsha mencoba untuk membangunkan kakaknya yang satu ini. Inilah yang paling mengesalkan untuk Marsha selama hidupnya. Yaitu membangunkan si raja babi. Ya, karena Sean lebih dari babi. Ia bisa tidur ranpa bangun seharian penuh. Pernah waktu itu ia tidur seharian tanpa bangun, untuk mandi atau sekedar buang air saja tidak. Hebat? Kalau untuk Marsha bukan hebat, tapi itu kelainan aneh pada kakaknya. Dan kelainan ini membuatnya jengah.
Marsha kembali menggoyangkan tubuh Sean, memukul-mukul tubuhnya, menggigit tangannya, tapi Sean tak kunjung bangun. "KAKAK! GAK BANGUN JUGA, MARSHA BILANGIN KE KAK HEDYA NIH SEKARANG. KAK HEDYA TUNGGUIN DI BAWAH." Lihat? Bahkan sudah diteriaki pun ia tidak kunjung bangun.
Kalau begini, cuma ada satu cara untuk membangunkannya. Marsha mengambil satu gayung air dingin dan menyiram Sean di kasurnya. Sebenarnya, Marsha ataupun Sean dilarang untuk melakukan ini, karena bikin kamarnya jadi basah dan kasihan sama bibi yang beresinnya nanti. Selvia sudah melarang mereka. Tapi ini sudah mau telat ke gereja, dan kalau Sean tidak bangun juga, bukan salah Marsha kan kalau ia pakai cara ini.
"Cha! Apaan sih. Basah tau semuanya. Ah ribet nih."
Marsha mendengus sambil tangannya bersidekap di dada. "Makanya kalu dibangun tuh bangun. Buruan, kita udah mau telat ke gereja nih. Nanti diomelin Mama sama Papa." Marsha mengambil handuk dan melemparnya ke Sean.
Sambil memberengut kesal, Sean masuk ke dalam kamar mandi setelah mengusir adiknya itu dari kamarnya.
##
Acara natal sudah dilewati. Sekarang waktunya pulang. Sean, Marsha, Selvia dan Troy berjalan menuju mobilnya dan Troy menjalankan mobilnya.
"Pa."
"Napa, Cha?"
Kepala Marsha langsung melongo ke depan di tengah-tengah kursi orangtuanya. "Acha laper. Makan dulu ya?"
Pletak
Marsha meringis dan melotot kearah kakaknya itu. "Apaan sih, Kak?"
"Duduk yang bener." Marsha menurut dan duduk dengan benar. "Makan mulu kerjaan lu, Cha. Perasaan tadi lu udah makan 2 roti deh dari sovenir natal. Gila aja kali belum kenyang juga. Itu perut atau apaan."
Marsha mendengus. "Kan Acha kemaren terakhir makan siang, Kak."
"Astaga. Nih anak bener-bener dah luh."
Dddrrrrttttttt drrrttttt
"Hm?"
"Buset dah, Yan. Jawabnya ketus amat. Coba Hedya yang telepon. Pasti jawabnya baik-baik."
"Yon. Cepet. Gue cape."
"Galak amat sih, Yan."
"Yon."
"Iya-iya. Gue cuma mau kasih tau. Tadi di mall XYN, gue liat Hedya sama si anak baru itu. Siapa tuh namanya? Cingcongpan? Coypan?"
Anak baru? Sean menautkan alisnya bingung. Ahh, pasti dia.
"Yovan."
"Nah iya itu. Si cingcongpan coypan itu."
"Ketauan Hedya diomelin luh kalo ganti namanya si Yopan."
"Ngaca. Lu juga ganti namanya, kunyuk."
Sean terkekeh. "Iye iye. Serah. Udah dulu."
"Woi. Woi. Bukannya bil--"
Tanpa aba-aba ataupun persetujuan, Sean memutuskan panggilan sepihak.
Jadi si coypan lagi jalan sama Hedya? Bisa gawat kalo gini mah. Bisa kalah taruhan gue.
Sean menggelengkan kepalanya dan langsung mengetik sesuatu di hapenya. "Pa, Ma. Kita langsung pulang aja ya. Sean cape. Si Acha kalo mau makan nanti delivery aja. Ya ya ya?"
Mendengar itu, Marsha langsung menatap kakaknya lamat-lamat. "Mau mati, Kak? Acha beneran laper ini."
"Bodo ah. Lu kan tadi udah makan. Lagian lu sekolah akting, mau jadi artis, jaga badan ama makan aja gak bisa. Mau jadi gendut lu?" Matanya langsung membulat sempurna dan bahu Sean langsung menjadi sasaran empuk setelah mendengar penuturan Sean. "Cha. Apaan sih. Sakit ah. Gila ya?"
"Cha. Udah. Nanti kita makan diluarnya besok-besok aja ya? Kasian Sean capek," ujar Selvia lembut.
Marsha langsung memberenggut kesal dan mengerucutkan bibirnya. "Terserah." Melihat hal itu, Sean langsung menepuk-nepuk puncak kepala adik tersayangnya ini.
"Jangan ngambek, ah. Nanti Kakak kasih kotak make-up yang waktu itu Acha mau. Kakak udah beli. Ada di rumah. Kalo ngambek, yauda, Kakak kasih ke Jasmine aja."
Mendengar kotak make-up, Marsha langsung menatap Sean dengan mata berbinar-binar. "Jangan dikasih ke Jasmine, Kak. Acha aja. Ya ya ya? Oke. Kita makan lain kali aja. Ayo pulang," ujarnya girang seperti anak kecil.
Sean, Selvia dan Troy hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat tingkah kekanakan Marsha.
Sekarang, yang harus Sean lakukan setelah ia sampai di rumah adalah meminta bantuan pada Brian dan Ion, mengepak barangnya, dan menguhubungi Hedya, kalau perlu, ia datangi rumah Hedya.
##
Sean: woi.
Ion(isasi): nape?
Brian pea: nape?(2)
Sean: bantuin gue.
Sean: Bri, lu kmrn itu ke panti kan?
Brian pea: panti mnr?
Brian pea: *mne
Brian pea: oanyi jompo?
Brian pea: *panti jompo?
Brian pea: tae lah. Typo mulu.
Ion(isasi): mkanya klo sklh tuh yg bnr bang sekolahnya jgn bolos mlu.
Brian pea: cot yon
Sean: cot lu dua
Ion(isasi): ga gue bntuin lu Yan.
Brian pea: ga gue bntuin lu Yan.(3)
Ion(isasi): 2 odong. Vkn 3.
Brian pea: ngatain gue sndirinya juga typo mas.
Ion(isasi): yaud sih maap.
Sean: baperan lu ah bedua.
Sean: pnti asuhan lah, Bri. Masa panti jompo oncom.
Ion(isasi): tau bri govlog.
Brian pea: gye gaad vlog Yon.
Ion(isasi): itu goblog bloon. Goblog. Bukan vlog. Tae.
Sean: malu Bri pnya tmn cem lu.
Brian pea: cot. Buruan yan ngomongnya.
Setelah meminta bantuan dari kedua temannya itu yang tentu saja ada kata-kataan satu sama lain, sekarang ia harus mengepak barangnya dan menguhubungi Hedya. Izin orangtua? Itu urusan lain. Itu urusan gampang. Bisa langsung izin.
"Halo?"
" ... "
"Halo? Woi? Hed? Jir. Gak dijawab gue. Jawab kek, Hed."
"Apaan sih? Berisik aje. Gue lagi mau tidur nih. Cape abis dari gereja. Kenape?"
"Siapin barang-barang lu buat 2 hari 2 malem ya. Malem ini gue jemput. Siap-siap. Jangan pake baju kurang bahan ye."
"Apa? Gil--"
Tuttt tuttt tuttt
Daripada mendengar penolakan Hedya, lebih baik dia langsung menutup teleponnya dan meminta bantuan Nevan untuk mengepak pakaian Hedya dan perlengkapannya untuk 2 hari 2 malem, secara diam-diam. Karena dia tau, Hedya pasti tidak akan mengepaknya.
"Semua udah beres. Nah, kemane lagi tuh kotak?" Sean mencari-cari kotak rias yang ia janjikan pada Marsha di lemarinya. "Nah. Nih dia."
"Cha. Cha," panggil Sean begitu sampai di depan kamar Marsha. Marsha keluar dengan mata ngantuknya dan dengan baju tidur doraemon kesayangannya.
"Napa, Kak?"
Sean memberikan kotak itu sembari berkata. "Selamat natal, Cha. Ini kado awalnya. Soalnya gue mau pergi. Jadi gue gak ada disini pas natal."
Marsha tentu saja menerimanya dengan wajah sumringahnya. "Mau kemane emang lu, Kak? Betewe, makasih kotaknya. Emang kakak paling da best."
"Iya-iya. Mau pergi gue. Udah dulu ya. Mau ijin dulu gue ke bokap nyokap. Jangan bikin marah bokap nyokap lu ya. Gue pites lu pas gue pulang entar. Dah," kata Sean sambil mengacak rambut adik semata wayangnya itu lalu ia pergi ke kamar orangtuanya.
Deg.
Jantung Marsha serasa ingin berhenti. Marsha merasa ada yang tidak beres akan terjadi saat Sean memperlakukannya seperti tadi. Tidak mungkin kan? Rasanya ia ingin meneriaki kakaknya untuk jangan pergi. Jangan kemana-mana, tapi suaranya seakan hilang. Akhirnya, Marsha hanya bisa mendoakan kakaknya dan masuk ke kamarnya lagi.
##
Mobil yang dibawa Sean berhenti di depan pagar rumah Hedya. "Malem, Pak Satpam. Hehe. Boleh bukain pagernya gak? Saya mau masuk."
"Eh, Den Sen. Boleh boleh. Silahkan," kata Pak Satpam sambil membukakan pintu pagarnya.
Sean tersenyum. "Makasih, Pak."
Setelah memarkirkan, ia mengetuk pintu dan menunggu di depan pintu sampai pintu itu terbuka. "Hal-- Loh? Hed? Kenapa malah ditutup lagi?" Begitu pintu dibuka, langsung ditutup lagi oleh Hedya begitu tau siapa yang datang.
Tok tok tok
"Hed. Woi, Hed. Buka woi." Akhirnya setelah beberapa kali ia mengetuk pintu, pintu itupun terbuka juga. Menampilkan wajah masam Hedya yang cukup membuatnya gemas.
Sean terkekeh. "Buset dah tuh muka. Jangan ditekuk napa dah. Senyum dong," ujarnya, tangannya menarik kedua ujung bibir Hedya keatas. Membentuk sebuah senyum paksa, yang langsung saja tangannya ditepak oleh Hedya.
Sean terkekeh lagi. "Gue gak diajak masuk nih?"
"Ngapain masuk?"
"Serius, Hed? Ini dingin."
"Sebodo amat. Udah gue ngantuk. Pulang sono lu."
"Eh, kita kan mau pergi. Ayo cepet. Tapi gue mau pamit dulu sama Oma." Tanpa diberi ijin apapun, Sean langsung masuk dan bertemu Nevan di ruang keluarga yang tengah bermain PlayStation. "Woi, nyet. Barang-barang ade lu mane?"
"Oh iye. Lu langsung aja ijin ke Oma, nanti barangnya langsung gue masukin ke bagasi. Lu tinggal langsung jalan." Hedya yang sedsri tadi mengejar langkah Sean langsung melotot begitu mendengar kata-kata kakaknya itu.
"Kak? Gila kali. Gak. Gue gak mau pergi."
"Hed. Ayolah. Kan liburan nih. Iya gak, Nev?"
"Iya, Hed." Nevan mem-pause game nya dan segera mengambil barang-barang Hedya yang sudah ia siapkan tadi, meninggalkan Sean dan Hedya berdua saja di ruang keluarga.
"Daripada lu ngocehin gue, mendingan gue ijin ke Oma lu dulu. Baru deh di jalan lu ngoceh. Oke?"
"Terserah. Lu mau diapain juga gak bakal nurut."
Sean tersenyum dan langsung ijin ke Livia. Setelah itu, menarik tangan Hedya untuk masuk mobil.
"Nev. Jalan dulu." Nevan mengangguk dan melambaikan tangannya.
"Hati-hati dijalan ye. Jagain ade gue."
"Sip, Bos. Jalan dulu ye."
"Iye."
Mobilpun beradu di jalan raya.
Tidak ada satupun suara selain suara deru mobil. Tak ada yang memulai percakapan. Akhirnya Sean yang membuka percakapan.
"Hed."
Hedya menoleh, alis matanya naik satu.
"Tidur aje kalo ngantuk. Masih lumayan ini," kata Sean tanpa menoleh sedikitpun. Dia kan nyetir, yakali dia nengok ke Hedya. Entar malah tabrakan.
Hedya mengangguk. "Lu jangan ngantuk ye. Gue masih sayang nyawa."
Sean menanggapinya dengan terkekeh. Tak butuh waktu lama bagi Hedya untuk larut dalam dunia mimpi. Melihat wajah tenang Hedya, tanpa permisi atau aba-aba, tangan Sean mengelus puncak kepala Hedya.
##
"Woi, Hed! Anjir gak bangun-bangun. Hed, elah, bangun weh. Udah nyampe nih."
Sudah 5 menit Sean mencoba untuk membangunkan Hedya, tapi tidak bangun-bangun juga. Mau tak mau, pakai cara dia biasa kalo dibangunkan Marsha. Cipratan air.
Sean mengambil botol airnya, menuangkan sedikit air di tangannya dan mencipratkannya pada wajah Hedya. Yang tentu saja langsung mebuat Hedya bangun. "Yan. Gila kali. Basah nih elah."
"Lagian susah banget dibanguninnya. Ayo cepet turun," ajak Sean sambil mengeluarkan koper mereka. Hedya menggerutu dan betjalan meninggalkan Sean dengan kopernya dibelakang.
PANTI ASUHAN GRIYA MARIA
Hedya melongo dan mengedarkan pandangannya. Benar saja. Banyak anak kecil mulai dari batita, balita bahkan yang sudah seumuran anak SMP berlarian, bermain bersama. "Hed. Bantuin kek elah. Sompret lu ah."
Hedya menoleh dan menatap Sean penuh arti lalu menunjuk papan nama yang tergantung diatas pintu masuk. "Apa? Emang kenapa?" Sungguh, rasanya Hedya ingin menjambak Sean dan memasukkan kedalam kolam renang anak-anak. Kesal sekali melihat tingkah Sean yang seperti itu.
"Udah ah, masuk aja. Tapi ini bantuin." Hedya tersenyum dan membantunya dengan mengambil tas ransel miliknya sendiri. Kopernya? Dibawa Sean tentu saja. "Woi woi. Gila kali. Ini barang lu banyak amat sih lagian elah."
"Bawel amat sih, Yan. Bantuin napa. Gue kan cewe."
"Kalo bukan sayang, lu udah gue tinggal kali tadi di tengah jalan," geramnya tanpa berpikir dahulu.
Mendengar Sean berkata seperti itu, jantung Hedya seperti lari maraton. Entah kenapa, tapi hatinya berdesir, sejuk, tenang. "Woi. Napa lagi sih, say, pake bengong segala. Ayo cepetan ah kita masuk."
"Iya-iya."
##
"Nah, nak Sean, nak Hedya, ini kamarnya kalian berdua. Maaf disini sudah tidak ada kamar lagi, jadi kalian harus satu kamar. Tapi kasurnya pisah kok," ujar Bu Tina, selaku pengurus panti.
"Oh, gak apa-apa kok, Bu. Malah kalo bisa kasurnya dijadiin satu aja. Lrbih seneng saya. Kan jadinya bisa deket-deketan sama my bebeb Hedya. Iya gak?" Goda Sean yang langsung dibalas tatapan maut oleh Hedya.
Sean terkekeh dan masuk ke dalam kamarnya. "Kalo gitu, saya permisi dulu ya. Silahkan beristirahat terlebih dahulu. Nanti jam 7 malam ada makan malam dibawah."
"Makasih, Bu, atas bantuannya. Maaf kalo udah ngerepotin."
"Tidak ngerepotin sama sekali kok, nak Hedya. Yauda, saya permisi dulu."
"Baik, Bu."
Setelah menutup pintu, Hedya langsung berbalik dan mendapati Sean yang sudah pulas tidur. Hedya hanya menghela nafasnya dan mulai membereskan barangnya. Setelah selesai berberes, ia istirahat sebentar sambil main hape.
"Yan." Tidak ada sahutan.
"Yan!" Tidak ada sahutan juga.
Akhirnya ia beranjak dari kasur dan menggoyangkan tubuh Sean agar Sean bangun. Tapi tidak bangun juga. Emang dasarnya mereka berdua itu susah untuk dibangunkan. "Yannn. Bangun ego. Mau makan malem. Lu gak mau makan emang?"
"Enggg. Iya-iya. Gue bangun. Tapi mandi dulu ya baru makan."
"Yauda sono. Gue sih udah mandi tadi."
"Galak baget sih, Hed. Astaga. Calon pacar loh ini."
Langsung saja Hedya melempar bantalnya pada Sean, membuatnya terkekeh dan mengacak rambut Hedya sebelum masuk ke kamar mandi.
13 February 2017
Selamat tahun baruuuuuuu. Telat banget ya? Iya nih. Ini aja aku sempetin untuk lanjut karena lagi sibuk sama ujian-ujian huhu .-.
Betewe, jangan lupa klik bintang dan juga terus pantengin cerita ini ya. Sampai jumpa semuanyaaa. Muah muah..
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro