Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

09

Ting! Line!

Sean: Hed.
Sean: Hed
Sean: Hed.

Tak ada balasan.

Hedya sedang lelah uhtuk meladeni Sean. Dirinya sedang lelah. Lelah sekali. Apalagi setelah tadi kejadian di sekolah tadi pagi. Rasanya Hedya ingin mencabik-cabik wajah Pretta.

Kenapa sih hidupnya tak pernah tenang kalau menyangkut soal Sean? Sean memang pembawa masalah sekali dalam hidupnya.

Cause i know i can treat you better
Than he can

Suara Shawn Mendes terdengar di telinga Hedya. Dan begitu Hedya melihat siapa yang meneleponnya, Hedya langsung meng-non-atifkan hapenya. Sekarang ia ingin tidur. Ia sudah cukup pusing dengan semuanya. Apalagi dengan perasaannya yang tadi tiba-tiba ia rasakan bersama Sean yang biasanya ia rasakan saat bersama dengan Yovan dulu. Bahkan sampai sekarang(?)

##

Pagi ini Hedya rasanya cape banget. Entah kenapa. Tapi tubuhnya seperti enggan untuk lepas dari kasur. Hingga beginilah ia sekarang. Kepalanya ia tempelkan di atas meja dengan mata tertutup.

Enggan untuk mendengar hal-hal lain di sekitarnya apalagi melihat. Dia memilih untuk tidur.

"Hed."

Hedya tidak menyahut.

"Hed."

Tak menyahug lagi.

"Hedya Noretta." Mendengar ketiga kalinya namanya dipanggil, Hedya langsung bangun.

"Apaan sih?! Orang lagi tidur juga!" omelnya tanpa melihat siapa yang memanggilnya.

Dan begitu ia sadar kalau Yovan yang memanggilnya, Hedya langsung mendengus. "Maaf. Aku lagi capek. Pengen tidur. Kenapa ke kelas aku?"

"Gapapa. Aku kangen aja. Nanti pulang bareng sama aku ya? Aku anterin," ujar Yovan sambil menyelipkan anak rambut ke belakang telinga Hedya yang menjadi tontonan gratis bagi para siswa-siswi tercinta.

Sean yang baru saja datang ke kelas dengan Ion dan Brian langsung berdeham. "Ehem! Ada yang lagi pacaran tuh," sindirnya sambil berjalan duduk ke tempat duduknya.

Tentu saja Yovan tidak menanggapinya. Hanya Hedya yang mendengus kesal karena Sean. "Sewot aje, mas. Jomblo sih susah," ledek Hedya sambil memeletkan lidahnya.

Wah Hedya udah berani sekarang ngelawa gue. Biasa aja diem mulu dia.

"Enak aje jomblo. Gue kalo mau punya pacar juga gampang kali. Tinggal tunjuk doang. Stok banyak. Emang lu noh? Nyadar kali kalo sendirinya juga jomblo." Sean tertawa kecil melihat Hedya yang langsung kicep.

Yovan tersenyum manis pada Hedya dan menepuk puncak kepala Hedya. "Yauda nanti pulang bareng aku ajalah. Aku juga mau kasih kamu sesuatu. Aku ke kelas dulu ya." Ia mengacak rambut Hedya sebentar lalu pergi.

Hedya tersenyum. Ia membalikkam tubuhnya dan terkejut dengan wajah Sean yang sudah sangat dekat di depan wajahnya. "Mundur," ujarnya singkat sambil mendorong dahi Sean mundur. Tapi tidak bergerak sama sekali. "Yan. Mau mundur atau gu--"

"Apa, hah? Gue apaan? Kok muka lu merah sih? Segitu sukanya ya lu sama si cicongpan cicongpan itu?" tanya Sean tanpa memudurkan wajahnya barang semikrosentipun.

Hedya mendengus. Ia memilih untuk memundurkan wajahnya. "Namanya itu Yovan. Bukan cicongpan. Seenaknya aja ganti nama orang. Lagian gue gak suka sama dia."

"Terserah lu dah." Sean mendengus. "Berarti gue masih ada kesempatan buat deketin lu dong?" tanyanya. Otomatis Hedya mengernyitkan dahinya.

Lalu ia menaruh telapak tangannya didahi Sean. "Lu gak panas kok. Lu lagi kurang waras ya? Kenapa ngelantur begitu dah ngomongnya?"

Wow. Sosok Hedya sekarang sudah berubah sejak kembalinya Yovan. Ia sudah tidak irit bicara lagi.

"Gak. Gapapa. Lupakan. Nanti pulang lu sama gue. Kita harus belajar lagi."

"Tap--"

"Gak terima penolakan. Atau mau lu gue culik aja dari istirahat? Gue kurung di gudang, hm?"

Hedya kicep, lagi. Sudahlah. Tak ada artinya juga ia melawan Sean. Sean selalu mendapatkan apa yang ia mau dengan cara apapun.

"Terserah," kata Hedya mengalah.

##

Kantin yang sudah penuh membuat Hedya, Melina dan Aurel memilih untuk tidak makan di kantin. Toh hari ini mereka bertiga sudah janjian untuk membawa bekal.

Jadi mereka akan makan di taman belakang sekolah.

"Kak. Kak."

Hedya menoleh.

"Iya? Kenapa ya?"

"Ini. Punyanya Kak Sean. Tadi jato di koridor kelas 10." Adik kelasnya itu memberikan sesuatu pada Hedya.

"Oh iya. Makasih ya, Dek."

"Iya. Sama-sama, Kak." Lalu dia pergi.

Dan Hedya punya ide cemerlang untuk ini begitu melihat Sean yang lagi mencari sesuatu. Dan Hedya yakin ia mencari gelang tali cokelat yang ada nama Sean yang menjadi gantungan pada gelangnya itu.

Ia tersenyum licik. Membuat Aurel dan Melina bertanya-tanya.

"Hed. Napa lu? Gak kesambet kan?" tanya Aurel.

"Ya enggalah, Rel. Gila kali lu ya." Hedya mendengus. "Liat nih. Gue mau bales si Sean. Lagian biar gue gak usah pulang sama Sean." Hedya tersenyum licik lagi.

"Sean!" Sean menoleh sebentar lalu ia mencari itu lagi.

"Sean!" Kali ini Hedya mengacungkan gelangnya keatas, membuat Sean melotot dan langsung berlari menghampiri Hedya.

Sean tersenyum simpul. "Makasih." Baru saja ia ingin mengambil gelang itu, tapi Hedya sudah menaruhnya disaku kemejanya.

"Hed. Gue lagi gak mau bercanda. Balikin gelang itu sekarang," ujar Sean sedatar mungkin.

Hedya menggeleng. "Gak mau."

"Hed. Balikin sebelum gue ilang kesabaran."

"Kalo gue gak mau? Nih ambil aja nih sendiri." Hedya sudah ingin melemparnya saat mendengar bentakan Sean.

"HEDYA NORETTA! GUE YDAH BILANG BALIKIN! JANGAN BIKIN GUE EMOSI!" Tangannya langsung berhenti diatas, membuat Sean dengan cepat mengambilnya dan menghilang dari hadapannya.

Hedya perlahan menurunkan tangannya dan menatap kedua temannya. "Emang gue salah apa?" tanyanya.

"Salah besar, Hed," kata Melina.

"Emang Hedya salah apaan, Mel?" tanya Aurel.

Melina menggeleng. "Biar Sean aja yang cerita kalo masalah itu. Ayo, kita lanjut. Daripada waktu kita habis dan kita gak makan?" Aurel dan Hedya hanya mengangguk.

Ya, dari mereka bertiga, Melina memang yang paling dekat dengan Sean. Karena Melina merupakan teman oroknya Sean. Sama seperti Ion dan Brian. Jadi Melina tau apapun tentang Sean. Termasuk gelang itu.

##

Pulang sekolah Hedya menunggu Sean di parkiran. Ya, dia milih untuk pulang dengan Sean, sekalian untuk minta maaf. Lagipula, ia juga harus mengajari Sean.

"Yan. Akhirnya lu pulang juga. Ayo kita ba--"

Sean melewati Hedya begitu saja. Hedya hanya terdiam. "Sabar, Hed. Dia lagi emosi doang. Entar juga baik lagi," kata Ion menenangkan sambil menepuk pundak Hedya.

Hedya mengangguk pasrah apalagi setelah melihat Sean yang langsung pergi begitu saja. Meninggalkannya.

"Mau bareng? Biar gue anterin."

Hedya menggeleng. "Engga, makasih, Bri."

"Yauda. Hati-hati ya, Hed. Ini udah mau hujan loh." Hedya mengangguk.

Setelah Brian dan Ion pergi, Hedya memilih untuk menunggu Sean lagi. Siapa tau dia lagi berjalan balik untuk menjemputnya.

Sudah lewat 10 menit, tapi Sean belum balik juga. Hedya memilih untum pulang saja sendiri. Jalan kaki. Dan ditemani dengan langit mendung yang sekarang mulai menitikkan air.

"Ujan lagi. Sial amat gue hari ini," gerutunya. Makin lama, hujannya makin deras. Mau tak mau, Hedya meneduh dulu dihalte. "Dingin lagi." Hedya mengusap-ngusapkan tangannya satu sama lain dan meniupnya sesekali.

Tiba-tiba tubuhnya terasa hangat. Hedya melihat kearah pundaknya yang ternyata sudah ditutupi ileh jaket. Segera ia menengadah dan menemukan wajah yang membuatnya hampir menangis tadi. "Sean?"

Sean tersenyum kecil. "Maaf tadi ngebentak lu." Hedya mengangguk.

"Tapi gak usah pake ninggalin gue juga kali. Kan elu yang ngajakin gue pulang bareng." Sean terkekeh san duduk disamping Hedya.

"Kan lu pulang sama si cicongpan. Ya gue tinggal aja sekalian."

"Pale lu."

"Iya iya. Sori. Tadi gue pulang buru-buru soalnya udah liat langit mendung. Jadi mau tuker motornya sama mobil. Gak mungkin kan gue anterin lu pulang pake motor?" Sean tersenyum lagi. Tapi kali ini senyumnya sangat teduh. "Yang ada nanti lu keujanan lagi."

Bang hayati lelah, bang. Ambil Hedya sekarang. Astaga Sean kenapa begini dah.

"Gak usah gombal dah," katanya sedatar mungkin untuk menutupi hatinya yang seperti sedang DWP.

Sean terkekeh. "Gak gombal kali. Gue serius. Entar lu keujanan terys sakit. Gak ada yang bisa gue isengin lagi entar di sekolah."

Baru saja Sean menerbangkannya keatas, sekarang ia menjatuhkannya lagi kebawah. Ternyata hanyakarena tidak ada bahan isengannya lagi.

Sean tertawa kecil dan mengacak rambut Hedya. Hedya mendengus dan menghentakkan tangan Sean dari puncak kepalanya. Seran semakin tertawa. Ia mencubit kedua pipi Hedya, "Jangan ngambek gitu dong. Jadi tambah jelek entar."

"Yanmmhh. Lephhash ghakh?"

"Apa ngomong apa?" ledek Sean semakin mengunyek-unyek pipi Hedya.

"Sakhhhitthh, Yanhh."

Sean tertawa dan melepaskan pipi Hedya lalu mengecup kedua pipi Hedya secepat kilat. Bahkan Hedya saja tak sadar saking cepatnya, makanya sekarang ia terpaku menatap Sean penuh tanda tanya. "Biar gak sakit lagi." Sean berdiri dan mengambil tangan Hedya. "Ayo kita pulang." Hedya tersenyum hangat.

Membuat hati Sean ikut hangat di tengah hujan deras ini.

##

"Hed."

"Hm?"

"Kita hari ini gak usah belajar ya?" Hedya otomatis menoleh pada Sean yang sedang fokus menyetir.

Sean nyengir kuda. "Cape belajar gue."

"Gak. Lu harus belajar. Ulangannya kan minggu depan, Yan."

Sean mengeluarkan wajah memelasnya, puppy face. "Ayolah. Yayaya? Gantinya lu ikut gue deh ke suatu tempat. Oke?"

Hedya terlihat menimang-nimang. "Yauda gak usah belajar. Tapi gue tetep gak mau pergi. Belum ijin juga lagian."

"Tenang aja. Tadi gue udah ijin ke Oma lu kok sebelum jemput lu."

"Tapi kan baju gue basah. Yakali pergi pake baju basah."

"Tentang itu, tenang aja. Gue juga udah bawain lu baju ganti dari rumah lu juga."

Hedya dibuat ternganga karenanya. Sepertinya Sean serius untuk mengajaknya pergi. "Yauda. Emang kita mau kemana sih?"

"Ada deh."

##

"Wow. Pasar malem. Dari dulu gue pengen banget buat pergi kesini. Tapi gak pernah dikasih sama Nevan dan Oma. Soalnya rame terus malem. Takut diapa-apain."

"Lah? Kok gitu? Yauda lah. Sekarang kan lu sama gue. Ayo kita masuk." Sean mengamit tangan Hedya dan menariknya masuk.

Banyak sekali mainan. Bom-bom car, istana dari balon yang buat loncat-loncat, panah-panahan berhadiah, lempar bola berhadiah dan semacamnya. Banyak juga jajanannya. Contohnya gulali, permen gula dan sebagainya.

"Mau main itu!" Hedya langsung menarik tangan Sean kearah permainan bom-bom car. Sebenarnya ia malu sih main ini, tapi karena ini demi Hedya, ralat, tapi demi misinya mendapatkan Hedya, ia rela.

Sean membeli tiketnya dan memberikannya pada petugas. Mereka bermain sambil tertawa. Tertawa lepas, tertawa yang sesungguhnya. Bukan tertawa yang karena terpaksa.

Selesai bermain itu, Hedya menarik tangan Sean lagi ke arena permainan lempar bola dan menunjuk salah satu boneka yang ada disana. Jelas saja Sean menggeleng. Kalo Hedya ingin boneka, Sean kan bisa langsung beliin di mall, bukan disini yang harus main dulu. Bahkan dia bisa membelikkannya yang besar.

"Gak mau ah. Nanti kalo mau boneka gue beliin aja. Ngapain sih pake harus main segala."

"Ih. Kalo beli mah bisa suruh Kak Nevan beliin. Kalo ini kan harus ada usahanya dulu. Romantis dikit kek."

"Lah? Emang gue cowok lu apa?"

"Dih."

"Iya-iya. Gue main nih." Sean mendengus sedangkan Hedya tertawa girang. "Bang. Mau main."

"Ini bolanya. Ada tiga bola ya. Silahkan lempar ke gambar yang ada disana, jika mengenai ikan 2 saja, adik bisa mendapatkan boneka ini."

"Yayaya."

1 kali tidak dapat.

2 kali dapat.

"Ayo, Yan."

Dan yang ketiga pun dapat.

"Yes! Kita dapet. Gue berhasil," pekik Sean girang. Saking senangnya, Sean langsung memeluk Hedya. Hedya yang tadinya lompat-lompat, langsung diam di tempat.

Sadar kalo yang ia lakukan tiba-tiba, Sean melepaskan pelukannya, membuat seperti ada yang hilang dari Hedya begitu pelukannya dilepas. "Maap. Kesenengan."

"Nih, Dek. Boneka nya." Boneka beruang warna hijau diberikan pada Sean.

"Makasih, Bang." Sean tersenyum dan memberikannya pada Hedya. "Nih, boneka lu."

"Makasih."

"Yauda yuk keliling lagi." Mereka berkeliling sambil sesekali mengambil foto bersama.

Lelah setelah berkeliling, Sean menarik Hedya duduk dipinggiran.

"Tunggu sini dulu ya." Hedya mengangguk.

Sambil menunggu Sean, Hedya bermain dengan bonekanya. "Gue bingung sama perasaan gue sendiri. Gue kan sayang sama Yovan. Tapi kenapa sekarang gue jadi dag dig dug ya kalo deket sama Sean?" Hedya melihat-lihat sekeliling, matanya mengederkan kesegala arah. "Sean mana lagi? Gue kan takut sendirian disini." Hedya memalingkan wajahnya pada boneka lagi.

Tiba-tiba ada yang mencoleh tangannya. Otomatis Hedya menoleh dan mendapati ada dua tonkat gulali yang menutupi wajah seseorang. "Hai." Wajah Sean muncul ketika kedua stik gulali itu dijauhkan, membuat Hedya tersenyum.

"Nih. Buat lu satu." Sean memberikan satu tongkat gulali pada Hedya.

Hedya tentu saja menerimanya dengan antusias dan senyuman di wajahnya. "Makasih!" pekiknya girang.

"Gimana? Enak?"

"Biasa aja sih. Cuma kayak manis gitu. Ternyata ini ya yang namanya gulali."

"Lah? Lu belom pernah makan gulali?"

Hedya menggeleng. "Belom."

"Jadi ini pertama kalinya?"

Hedya mengangguk.

"Widih. Pertama kali makan sama gue luh. Terhura gue."

"Terharu, bang."

"Sama aja."

"Serah."

Sean terkekeh dan mengacak rambut Hedya. Entah sudah berapa kali Sean mengacak rambut Hedya hari ini. "Yauda cepetan makannya. Entar kita pulangnya kemaleman. Diomelin Oma lu lagi." Hedya mengangguk dan tersenyum.

5 wish sudah terpenuhi. Tinggal penuhin 6 lagi. Gak butuh waktu lama untuk mendapatkan Hedya. Farel, liat aja, lu bakal kalah taruhan.

14 December 2016

Ya! Gue apdet lagi! Gimana gimana part ini? Suka gak? Gue apdet lebih cepet beberapa jam karena keadaan yang kurang fit. Ini aja tikbut alias ngetik ngebut.

So, kalau kalian suka, vommentnya bisa kali(?)

See ya next week!

Muah muah :*

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro