04
Hedya menarik-narik tangannya agar dilepaskan oleh Sean. Tapi itu semua seperti tidak ada efeknya pada Sean. Maklumlah, namanya juga cewek.
"Sean. Lepas kaga!" Sean melepaskan tangan Hedya didepan motornya. Hedya memberenggut kesal dan mau berjalan lagi menuju halte bus. Tapi, tangannya dicekal oleh Sean.
Hedya memelototi Sean denfan maksud agar ia melepaskan tangannya dari tangan Hedya. Tapi tak kunjung dilepaskan. "Apaan sih?" tanya Hedya akhirnya.
"Lu berangkat sama gue."
"Engga. Gue gak mau berangkat sama lu."
"Yah, terserah sih kalo mau telat datengnya. Ini udah tinggal 15 menit lagi sebelum bel masuk. Mau telat?"
Hedya mendecakkan lidahnya kesal. Kalo dia gak bareng sama Sean, dia bisa telat. Nunggu busnya lama. "Yauda, ayo." Sean tersenyum dan mengambil helm cadangan yang selalu dibawanya dan memakaikannya pada Hedya.
"Gak usah pake helm lah. Panas tau. Gak betah gue pake helm," kata Hedya sambil mencoba buat melepas helmnya.
"Engga. Entar lu kenapa-napa lagi. Itu kan buat ngelindungin pala lu. Pake." Hedya mendecih dan memutar bola matanya malas. Ia memilih buat mengikuti apa kata Sean. "Pegangan."
"Idih ogah." Langsung saja Sean menggas motornya dengan kecepatan yang tidak diragukan lagi. Motor ninja memang gak bisa diragukan kecepatannya.
"Sean! Jangan ngebut-ngebut!" Tapi teriakan Hedya tidak membuat Sean memelankan motornya.
Hedya memilih untuk menutup matanya dan memeluk pinggang Sean erat. "Mau sampe kapan meluk gue, hm?" Hedya mengerjapkan matanya dan langsung melepas pelukannya. Lalu ia turun dari motor sambil memberikan helmnya pada Sean dan berlari masuk ke kelasnya. Meninggalkan Sean yang tersenyum karena tingkahnya yang lucu.
Begitu sampai di kelas, Hedya langsung menelungkupkan kepalanya diatas meja dengan tangannya sebagai penahan. Resha yang sedari tadi main hape, jadi bingung dengan tingkah temannya itu. Tepatnya, teman dari oroknya.
"Hed. Hed." Resha menoel-noel badan Hedya. Hedya menaikkan kepalanya dan menatap Resha dengan tatapan bertanya.
"Apaan?"
"Lu nape?"
"Gapape. Lagi emosi sama Sean tadi. Masa pagi-pagi udah bikin gue emosi. Orang gak mau pergi bareng, malah dipaksa pergi. Kalobukan karena udah mau telat, gue juga gak mau pergi bareng dia. Ogah," curcol Hedya.
Resha mengangguk-anggukan kepalanya paham. "Oh."
Hedya melotot. "Gue cerita panjang lebar dan jawaban lu hanya 'oh'? Sha, lu mah emang minta digibeng lu."
"Abis mau jawab apaan. Lu nya bego. Kenapa dibilang udah mau telat lu percaya aja. Orang masih 30 menit lagi belnya. Masih lama."
Hedya membulatkan matanya dan melihat kearah jam dinding kelas. Baru jam 6.10, dan itu artinya Sean membohonginya. Membuat Hedya menggeram kesal, dan pas itu Sean baru masuk ke kelas dan menatap Hedya yang menatapnya garang.
Alih-alih takut dan membuang muka, Sean malah menatap Hedya terus sambil terkekeh. Hedya dibuat salting olehnya dan memilih untuk membuang mukanya saja.
Sean berjalan ke tempat duduk paling belakang, lebih tepatnya, tempat duduknya. "Yon, tumbenan amat nih anak senyum-senyum pagi gini. Cek gih. Gue rasa nih anak kesambet apa gitu. Lu kan bisa liat noh." Ion menatap Sean dengan alis berkerut.
Dan ia pun menggeleng. "Engga ada apa-apa kok dia. Sean, lu napa?"
Sean duduk dan masih mengeluarkan senyumannya. "Rencana gue baru dimulai, tapi udah hampir setengah jalan. Hebat, kan?"
"Rencana apaan?" tanya Ion yang membuat Brian mendecak.
"Rencana buat dapetin si Hedya. Taruhannya sama Farel." Ion mengangguk ngerti. "Sean. Lu yakin gak mau nolak taruhan itu? Mumpung belum ada yang tersakiti," lanjut Brian.
Lantas saja Sean menaikkan kedua alisnya. "Nyerah gitu maksud lu? Nyerah sama Farel? Lu kenal gue udah berapa tahun sih, Bri? Udah dari orok, kan?" Bria mengangguk. Ya, dia tau, dan dia juga tau kalau temannya ini, Sean, tidak akan menyerah dengan apa yang sudah ia lakukan. Apalagi ini ada kaitannya dengan Farel.
"Dan apa gue pernah nyerah gitu aja? Apalagi ini udah 3 yang goals dari rencana gue. Dan lu suruh gue buat nyerah? Lu bego atau gimana sih?" kata Sean dengan suara sepelan mungkin agar tidak terdengar oleh siapapun kecuali dia, Ion dan Brian. Ia tidak mau ada yang tau mengenai hal ini, terlebih Hedya.
Benar apa kata Sean. Ia sudah melakukan 3 hal yang masuk dalam daftar Hedya. Perhatian, panggilan princess dan diantar serta jemput. Dan hari ini, dia akan melakukan hal ke-4 dalam daftar Hedya. Tak disangka, Sean bisa melakukan 3 hal dalam 1 hari saja.
"Bukan gitu maksud gue. Udahlah, gue gak mau kita berantem cuma karena Farel. Terserah lu. Tapi jangan salahin gue kalo terjadi sesuatu. Gue udah kasih tau lu duluan. Jadi jangan menyesal."
Kringggg krinnggg
Sean mengepalkan tangannya mendengar perkataan Brian. Ia takut perkataan Brian menjadi kenyataan.
"Selamat pagi, anak-anak," sapa Ibu Rina.
"Selamat pagi, Bu." Serentak anak-anak pun menjawab.
Kelaspun dimulai. Bu Rina tengah mengajari bab tentang 'Limit Trigonometri' yang pastinya membuat anak-anak yang tidak menyukai matematika memilih untuk tidur.
Seperti Sean sekarang ini. Dia lebih memilih untuk menaruh kepalanya diatas lipatan tangannya dan pergi menjelajah di alam mimpi.
"Ehem!"
Sean tidak bergeming.
"Ehem!"
Sean tetap tidak bergeming.
"Sean Derellio!"
Sean yang tersentak kaget langsung bangkit berdiri dan bersikap hormat dengan tangannya di pelipis. "Siap."
Brak!
Sean disadarkan dengan pukulan di mejanya. "Aw. Buset dah. Jadi kesian ama tuh meja. Pasti sakit. Sakit ya, Ja? Gue beliin hansaplast sama betadine deh ya, gue obatin." Anak-anak sudah terrawa dengan sikap pura-pura begonya Sean yang disertai jalannya Sean menuju pintu kelas.
Ibu Rina menggeleng-geleng kan kepalanya, tak habis pikir dengan Sean. "Sean! Jika kamu melangkah satu langkah lagi saja, jangan berharap kamu bisa ikut ulangan limit trigonometri," ancam Ibu Rina. Sean otomatis berhenti dan berbalik. Ia menatap wajah Ibu Rina dengan cengiran khasnya yang terpampang di wajahnya.
"Hihi. Maaf deh, Bu. Kan saya tadi masih belum nyatu nyawanya, Bu. Ih, Ibu baik deh. Cantik lagi, terus langsing. Jangan hukum saya ya, Bu." Sean memohon dengan mengeluarkan jurusnya.
"Tidak akan saya hukum, kecuali, kamu bisa mengalahkan nilai Hedya Noretta di ulangan limit trigonometri nanti," kata Ibu Rena yang sukses membuat Sean melongo.
Ion memang pintar, tapi masalah nilai, Hedya lebih tinggi dibanding Ion. Hedya itu sudah seperti Ratu Jenius di kelasnya. Dan Raja Jeniusnya, tentu saja Lukas.
"Hedya, Bu? Ngalahin Ion aja belum tentu bisa. Ini lagi ngalahin Hedya." Sean meringis membayangkan bagaimana nantinya ia harus belajar.
Ibu Rina mendelik dan berjalan ke depan kelas. "Terserah kamu. Hukuaman atau nilai lebih tinggi dari Hedya?" Anak-anak sekelas langsung bersorak.
Rasanya, Sean ingin dirinya ditelan bumi saja hidup-hidup.
Oke. Itu hanya perumpamaan lebay. Tapi serius deh, ini pilihan yang sulit.
"Kalo kamu mau nilai, nanti saya minta tolong Hedya untuk menolongmu dalam mempelajari materinya." Hedya yang sedari tadi anteng mengerjakan tugasnya dari LKS, langsung menoleh ke depan dan menatap Ibu Rina.
"Apa, Bu? Ngajarin Sean? Ogah deh, Bu." Hedya mendengus.
Sean tersenyum penuh arti dan mengangguk cepat. "Mau deh, Bu. Saya milih nilai aja. Biar bisa berduaan sama kekasih, pujaan hati, cintanya saya, Bu."
"Oke. Untuk 2 minggu kedepan, Hedya menjadi tutornya Sean."
Sean tersenyum dan duduk lagi dengan manis di tempatnya.
Tapi beda dengan Hedya. "Bu, pokoknya saya gak mau jadi tutornya dia. Dia tuh bodohnya keterlaluan, Bu. Yang benar saja saya disuruh ngajarin anak macam dia. Bisa sakit jantung entar saya."
"Bebeb. Jangan gitu dong. Atit nih hati aku. Kamu kok tega banget sih, Beb," ujar Sean lebay yang dihadiahi cibiran oleh teman sekelas.
"Hedya. Kamu jangan lebay gitu."
"Eh buset. Si Ibu, gaul amat pake kata lebay," celetuk Ion.
Daripada menanggapi Ion, Ibu Rina kembali melanjutkan kata-katanya yang sempat terhenti. "Memangnya kamu punya penyakit jantung?"
Hedya menggeleng. "Engga sih, Bu. Tapi kan-"
"Tidak ada tapi-tapi. Tutor atau kamu mengerjakan hukuam bareng Sean lagi?"
Tak ada pilihan ini mah. "Oke, Bu. Saya akan ajarin Sean." Sukses membuat Sean kembali tersenyum.
Dengan begini, gue bisa lebih dekat lagi sama Hedya. Lebih gampang dapetin dia.
Sean tersenyum penuh arti.
#SEVENTEEN#
Seharian ini, dari pelajaran Ibu Rina selesai sampai jam istirahat kedua, Hedya diintilin terus sama si kunyuk satu, Sean.
Seperti saat ini, pulang sekolah saja Hedya masih digangguin sama Sean.
"Hed. Hed." Hedya pura-pura tidak mendengarnya. Bisa tidak pulang-pulang dia kalo meladeni Sean.
Sean berlari dan menyamai langkahnya dengan Hedya. "Hedya. Hedya. Hedya." Tak ada tanggapan.
Akhirnya Sean mencekal tangan Hedya supaya berhenti berjalan. Hedya menatap Sean malas. "Apaan sih?"
"Gak lupa kan kalo hari ini ada date sama gue?" Hedya mengernyitkan dahinya bingung. Sejak kapan dia punya kencan sama Sean?
"Date? Lu gila ya?"
"Serius. Kan kemaren gue udah bilang. Pulang sekolah lu ikut gue."
Pandangan Hedya menerawang jauh ke hari kemarin. Mampus gue lupa. Tapi namanya janji tetaplah janji.
"Yaudah. Gue ikut."
Sean tersenyum senang dan menarik Hedya ke parkiran motor. "Kebiasaan banget dah lu narik-narik orang." Hedya mendengus kesal karena hobinya Sean yang suka menarik tangan orang.
"Bebeb!" Teriakan itu membuat Sean dan Hedya berhenti melangkah dan berbalik.
Ada cewek nan cantik tapi centil yang sedang berlari dengan gaya centilnya kearah Sean dan Hedya. Cewek itu langsung aja memeluk lengan Sean. "Bebeb! Kamu ngapain sih sama nih cewek centil?"
Hedya langsung melotot kearah cewek tersebut dan melihst ke arah nametag yang terpasang di blazer sekolah cewek tersebut. "Heh! Mbak Vio! Jangan sembarangan ye kalo ngomong. Gak kebalik tuh? Situ kali yang kecentilan. Dateng-dateng langsung meluk tangannya Sean aja."
Marah karena dibilang 'Mbak', langsung saja Vio balas. "Woi, cewek gatel. Gue bukan mbak-mbak. Sembarangan aje."
Kepala Sean sudah cape mendengarnya. Hedya mendecih. "Liat noh dandanan lu. Sama kayak ondel-ondel. Ondel-ondel aja lebih cakep dah daripada lu. Ngapain kali pake dandan tebel gitu, kayak mbak-mbak yang ada di club aje. Engga deh, mbak-mbak terlalu bagus buat lu. Lu lebih mirip sama cewek malem noh yang biasa keluar tengah malem."
Merasa sudah tidak bisa membalas, Vio menatap Sean dan memeluk lengannya lebih erat. "Bebeb! Dia jahat ngatain aku. Masa kamu diem aja sih."
"Vio! Berisik banget deh lu. Udah sana pergi. Gue sama Hedya mau pergi." Sean langsung menarik tangan Hedya ke parkiran, meninggalkan Vio yang merengek centil karena ditinggal Sean.
Seperti tadi pagi, Hedya dipakaikan helm oleh Sean, tapi kali ini tanpa ada penolakan. "Pegangan."
"Bawel. Tanpa lu suruh juga gue bakal pegangan. Masih sayang nyawa gu- SEAN ANAK KAMPRET! JANGAN NGEBUT!"
Sean terkekeh dan tidak menghiraukan kata-kata Hedya. Hingga mereka sampai di taman kota. "Turun." Hedya menurut dan memberikan helmnya. Lalu Sean pergi meninggalkan Hedya.
"Sean! Woi, kampret, mau kemana lu! Seannnn! Masa gue ditinggal!" Hedya memberengut kesal karena ditinggal. Iyalah, siapa juga yang gak akan kesal. Udah diajak pergi, ralat dipaksa, terus ditinggal gitu aja.
Mulutnya komat-kamit mengatai Sean dengan sumpah serapahnya. Kata-kata makian tengah dikeluarkan oleh Hedya untuk Sean. Hedya berjalan mencari tempat duduk.
"Disini lumayan bagus. Gak kayak dulu. Kotor, bau. Sekarang udah bersih" Hedya menutup matanya menikmati semilir angin yang menerpa wajahnya.
Saat ia membuka matanya, ia dikagetkan oleh 2 kotak popcorn berukuran sedang dengan logo bioskop. Hedya membulatkan matanya dan mengerjap.
Sean tersenyum dan memberikannya satu kotak. "Jadi lu tadi pergi beli ini? Tumbenan amat baik. Tapi biasanya ya, cowo itu beliin nya eskrim kalo gak gulali. Lah ini, berondong jagung." Hedya terkekeh sambil sesekali memakannya.
Sean ikutan duduk di sampingnya. "Kalo eskrim sama gulali mah udah mainstream. Gak seru. Kan itu anti mainstream. Iya, kan?" Hedya mengangguk. Ia setuju.
"Hed. Buka mulutnya," kata Sean sambil mengacungkan beberapa popcorn yang sudah ditaruh di tangannya. Hedya tersenyum dan membuka mulutnya.
"Sekarang giliran gue." Sean membuka mulutnya, tapi Hedya tidak menyuapinya. Malah memasukan popcornnya kedalam mulutnya sendiri. Membuat Sean gemas dan mengacak rambut Hedya.
Setelah popcorn mereka habis, Sean memberikan satu botol air mineral pada Hedya. "Minum nih. Entar sakit tenggorokan."
Hedya melongo. Lagi-lagi perhatian dari Sean ia dapatkan. Membuat Hedya tambah salting. Hei, Hedya itu juga cewek. Perhatian kecil saja juga bisa membuatnya salting. Apalagi, Sean sudah melakukan satu hal lagi yang masuk dalam wishlistnya. Diajak pergi ke taman dan makan snack bersama.
"Hed? Woi. Hedya kembali ke bumi." Hedya mengerjapkan matanya dan tersenyum sembari mengambil botol itu dari tangan Sean.
"Makasih."
"Hiks. Mama, Mama dimana? Mama. Hiks. Hiks." Terdengar suara tangisan anak kecil tak jauh dari sana. Hedya segera mendatangi anak kecil itu dan mengelus kepalanya lembut. Mau tak mau, Sean juga mengikuti Hedya.
"Kamu kenapa, adik kecil? Kamu hilang ya? Kita cari Mama kamu ya. Jangan nangis lagi. Nanti aku beliin eskrim deh. Mau, ya?" Anak perempuan itu mengucek matanya.
"Kakak bukan orang jahat, kan?" Hedya terkekeh dan menggeleng.
"Yauda. Aku mau," girangnya.
Hedya mengangguk dan membimbing anak itu ke abang eskrim terdekat. "Makasih, ya, Bang."
"Nah. Nama kamu siapa?"
"Sabrina, Sabrina Baek. Kakak?"
"Nama Kakak, Hedya, Hedya Noretta. Nah, Sabrina. Ayo kita cari Mama kamu," ajak Hedya. Sedangkan Sean mengikuti dari belakang dengan senyuman. Seakan ia ditinggalkan.
Mereka mencari ibu dari anak ini sampai keliling taman. "Sabrina! Kamu ini, sudah dibilangin jangan kabur-kabur. Mama cape tau gak nyari kamu. Mama kan tadi hanya ngobrol sama teman Mama. Ngapain pake kabur." Mamanya menarik lengan Sabrina dan memukul nya berkali-kali. Membuat Hedya melongo melihatnya.
"Makasih." Lalu ibu dan anak itu pergi. Hedya hendak mengejar ibu itu untuk menegurnya. Tapi tangannya ditahan oleh Sean.
Hedya menatap Sean yang menggeleng dan menatap perginya ibu dan anak itu bergantian. Hingga akhirnya ia menghela nafasnya dan menunduk. Rasanya sakit melihat anak itu dipukul berkali-kali di depan orang lain hanya karena kesalahan kecil.
Hedya tau bagaimana rasanya. Pasti sakit menjadi anak itu. Bukan sakit saja, tapi pasti malu juga. Hedya mulai terisak. Sean yang mendengar isakannya langsung mendekap Hedya di dalam pelukannya.
Bukannya mereda, tangisannya malah semakin deras. "Udah, Hed. Itu urusan mereka."
Hedya menggeleng di dalam pelukannya. "Tapi gue tau bagaimana perasaan anak itu. Pasti sakit dan malu," katanya sambil menatap manik mata Hedya.
Bilang Hedya lebay, alay, mellow. Apapun itu, terserah. Tapi, Hedya tau bagaimana perasaannya. Dan dia kasihan sama anak itu.
Sean mengelus lembut kepala Hedya dan menghapus jejak air mata Hedya. "Tutut mata lu." Hedya menurut dan menutup matanya.
Terasa kecupan dikedua matanya. Ya, Sean mengecup kedua mata Hedya. Membuat jantung Hedya kembali berlari maraton. Hedya membuka matanya dan menatap manik mata Sean lagi. "Kata bokap gue, kalo cewek nangis, cium aja kedua matanya. Nanti juga berenti. Awalnya gue gak percaya, tapi sekarang gue percaya. Karena lu berenti nangis." Hedya tersenyum mendengarnya, membuat Sean tersenyum juga.
"Jangan nangis lagi, Princess. Nanti jadi jelek." Hedya terkekeh dan mengangguk. Sean juga terkekeh dan memeluk Hedya lagi. Begitulah mereka menghabiskan waktu mereka sampai mereka pulang, sambil diselingi candaan.
29 Juni 2016
Gimana gimana? Udah ada adegan baper belum? Belum ya? Yahhh. Gue udah coba noh buat adegan baper. Maap ya kalo belum baper juga .-.
Btw, vommentnya yaa. Makasihh
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro