Setumpuk Kasih pada Kaki Senja - Mengetahui Jawab
Hari ke-365 setelah keputusanmu meninggalkan takhta paling istimewa dari dalam hatiku. Masih mampu kuputar dengan jelas kenangan yang terekam di sore itu, waktu di mana mentari berpamitan digantikan rembulan untuk menemani tiap-tiap insan berkegiatan. Pada anak tangga yang terletak di hadapan tulisan Alun-alun Ujung Berung kala itu, aku dan kamu memutuskan bersinggah sementara untuk membaur dengan keramaian sekitar. Namun, seiring berjalannya waktu, senyum yang kamu tampilkan kusadari kian memudar, seraya menatap hampa pada sudut pandang horizontal yang tidak mampu mengidentifikasikan objeknya sendiri.
"Lagi lihat apa, Rika?" Satu kalimat interogatif itu tercipta mewakilkan seluruh keingintahuan yang terlahir akibat diamnya sikapmu. "Rika?" panggilku di kali kedua.
Kamu menoleh menatapku, lalu berkata, "Iya?" Seolah tidak ada kejanggalan yang sempat menyusup di tengah-tengah pasifnya pertemuan kali ini.
Kedua bola mataku berusaha mencari ke mana titik fokusmu sebelumnya diprioritaskan. Namun, tidak ada apa-apa di sana. Sejauh aku memandang, sungguh tidak ada satu pun ketertarikan yang mampu mengikat netraku untuk bersemayam lebih lanjut. "Tadi kamu lihatin apa, sih? Aku penasaran," ungkapku pada akhirnya, menyerah pada eksplorasi singkat yang dikuasai perihal ingin tahu.
Kamu menggeleng, semakin menambahkan rasa khawatir di dalam keingintahuanku. Kemudian aku kembali terdiam. Mencoba memahami cara kerja pemahamanmu, aku ikut meleburkan diri di antara riuhnya tawa gembira anak-anak yang berlari riang, suara-suara mesin yang memadati Jalan Cigending, ringkikan kuda yang terkadang saling menyahut, serta seluruh aroma nikmat yang padu sebagai kesatuan yang mewujudkan eksistensi akan kuliner khas milik Kota Lautan Api ini.
"Ada yang pengin aku bicarakan." Kamu memecah keintimanku dengan sekitar di saat diriku mulai bersinggungan dengan kesyahduan. Aku tersenyum memaklumi, lalu memandangi indahnya dirimu dengan saksama: rambut ikal sebahu berwarna hitam dengan sedikit gradasi kecoklatan dan tubuh yang tingginya hanya mampu menyetarai leherku.
Sampai sekarang, aku belum mengerti kenapa kamu enggan menatap wajahku di sore itu.
"Apa?" sahutku, menanti-nanti untaian kalimat seperti apa yang akan kamu ungkapkan selanjutnya. "Bicarakan saja."
Air matamu tiba-tiba berlinang membasahi pipi. "Hei, kenapa? Ada masalah apa?" Aku spontan meraih selembar tisu dari dalam tas selempangku. Kamu sigap merengkuhnya hanya dalam beberapa detik.
Tangismu sungguh membuat rasa bersalah datang padaku secara berbondong. Rasanya, aku telah gagal untuk menjaga perasaanmu karena tidak memahami perbuatanmu. "Aku ... aku ...." Kalimat tersebut membutuhkan kelanjutan supaya mampu disebut kalimat sempurna. Akan tetapi, melihat tangis yang begitu ringkih, kuurungkan niatan untuk bertanya tentang kontinuitas frasa.
Detik terus merangkak berevolusi menjadi menit. Butuh waktu empat menit lamanya, kalau tidak salah ingat, bagimu menjeda air mata untuk berderai. Dengan napas sesenggukan, kamu berusaha menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Melemparkan tema dialog yang ternyata menjadi awal bagiku memahami makna kehilangan.
"Aku mau kita putus."
Semua terjadi dengan tiba-tiba. Empat kata tersebut menghipnosis kesadaranku untuk membeku sementara waktu. "Hah?" Seluruh pemahamanku mengenai strukturasi bahasa seolah lenyap meninggalkan paradigma.
"Maaf."
Dan kemudian, kamu bangkit meninggalkanku pergi.
"Rika!" panggilku, membuat langkahmu terputus. Kamu bahkan tidak berbalik badan untuk mengacuhkan keberadaanku, hanya berdiri memunggungiku dari tengah alun-alun yang mulai diisi ruang hampa. "Kalau boleh tahu ... kenapa? Aku pantas mendapat penjelasan, bukan?"
Alih-alih mengutarakan jawaban karena, kamu memutuskan untuk melanjutkan gerak langkahmu hingga membiarkanku bergeming dalam kekang keterkejutan, juga secara tidak langsung menjadi entitas yang diperhatikan dan dibicarakan oleh individu lain.
Sejak saat itu, setelah kamu melansirkan keputusan sepihakmu, semua yang ada dalam hidupku serasa diteror oleh pertanyaan-pertanyaan mengapa dan kenapa. Masih ingat dengan betul, bagaimana hilangnya dirimu mendistraksi kegiatanku di kampus. Seluruh teman dekatku ikut terundang merasakan risau kesendirian.
ㅤ
ㅤ
"Aku enggak dapat kabar apa-apa dari temannya Rika."
"Mungkin ia memiliki sesuatu yang tidak ingin diketahui oleh orang lain, termasuk dirimu, sampai memutuskan untuk mengundurkan diri dari kampus seperti ini."
ㅤ
ㅤ
Menghilangnya kabarmu, menggundahkan perasaanku. Tepat di hari ke-14 setelah pertemuan aku dan kamu di sore yang seharusnya berseri, aku memutuskan untuk kembali mendatangi rumahmu. Kali kelima aku datang, adalah kali pertama kehadiranku tidak ditentang. Mungkin ayah dan ibumu muak untuk terus-menerus mengatakan bahwa kamu tidak apa-apa. Aku yang diselimuti kekhawatiran, berdiri di depan gerbang rumahmu, dan bertanya, "Tante, apa yang terjadi dengan Rika?" Pada ibumu yang dilingkupi komplentasi akan gelisah.
Beliau menggeleng menanggapiku, tanpa memberikan penerangan lain melalui kumpulan kata. Mengingat kondisi ibumu yang dirundung pilu sebegitu hebatnya kala itu, aku memutuskan untuk berpamitan. "Tante, saya pamit dulu. Tolong titip salam sama Rika. Saya ... saya khawatir sama dia."
Jarak antara rumahmu dan rumahku tidak terlalu terpaut oleh jarak, membuatku mudah untuk mengakses kediamanmu di tengah kalutnya kesibukan semester akhir. Aku lupa ke mana selanjutnya nalarku berlarian saat itu.
ㅤ
ㅤ
ㅤ
"Kang?" Seorang gadis menghentikan kenangan yang sedang bernostalgia. "Ngelamun aja dari tadi aku perhatiin." Gadis itu kemudian duduk di sampingku, setelah memberikan sebungkus cakwe hangat untuk disantap.
Aku menghela napas begitu panjang. "Kamu mau tahu apa yang sedang Akang pikirkan sekarang ini?"
Dia mengangguk menandakan kesetujuan. Di antara keramaian Alun-alun Ujungberung menjelang sore ini, aku mengajaknya masuk ke dalam studio yang sedang menampilkan ceritaku melalui tuturan kata demi kata. Mengajaknya untuk larut dalam kerisauan sebagai pertanda kepercayaan diriku padanya.
ㅤ
ㅤ
╰╮╰╮╰╮ㅤ
ㅤㅤ
Setelah pulang dari rumah Rika, rumahmu, aku berpapasan dengan Bunda bersama dua tamunya di ruang tengah. Wajah Bunda semringah ketika bercengkerama dengan dua perempuan di hadapannya. "Eh, Iyan, sini sebentar, ada temen Bunda." Menurut, aku bersalaman dengan keduanya dan berdiri di samping Bunda. "Ini sahabat Bunda, namanya Ceu Endah. Perempuan di sebelah Ceu Endah itu anaknya, namanya Diah, adik tingkat kamu di kampus, kamu kenal?" Aku melirik ke arah gadis yang dimaksud. Memandanginya untuk memastikan, sampai akhirnya menggeleng.
"Padahal Diah bilang, dia kenal sama kamu, loh. Parah emang kamu," ledek Bunda disusupi tawa. "Ya sudah, kamu ganti baju dulu, gih. Baru pulang kuliah, 'kan?"
Aku mengiyakan dan menaiki satu per satu anak tangga menuju kamar. Masih dengan pemikiran yang dipenuhi oleh tanda tanya akan dirimu. Membiarkan renungan memakan waktu-waktu yang tidak sempat kusadari telah dilewati. Sebenarnya, ada apa? Apa yang terjadi padamu?
"A Iyan, turun sebentar!" panggil Bunda dari lantai bawah.
"Kenapa, Bun?" Aku mengatakannya sebelum menghadap Bunda. "Ada apa?" ulangku, ketika tatapan kami berserobok.
Bunda berjalan dan mengistirahatkan tubuhnya di atas sofa. "Bunda mau jodohin kamu sama Diah, anaknya Ceu Endah," ujarnya sedikit tenang.
Hantaman lain menggetarkan jiwaku. Empat belas hari yang lalu, kamu mengucapkan perpisahan dengan cara yang mengejutkan. Dan sekarang, Bunda menyampaikan informasi dengan euforia serupa. Mengejutkan. "Bun, tapi ...."
"Bunda tahu kamu sudah putus sama Rika," sergahnya, "selain itu, Rika meninggalkanmu dengan cara yang tidak pantas, bukan? Selama empat tahun kalian menjalin kisah kasih, apa kamu pikir perlakuan itu adalah perlakuan yang layak kamu dapatkan?"
Bunda menaikkan intonasi suaranya. "Bunda kira, Rika gadis yang baik. Namun, siapa sangka, justru kebaikannya hanya alat untuk menyakiti perasaanmu lebih dalam? Untuk kali ini, izinkan Bunda untuk ikut campur dalam asmaramu." Beliau menyeka air mata, berjalan mendekat dan memelukku selama beberapa detik, lalu pergi dengan pernyataan mutlak yang sebelumnya sudah diamanatkan.
ㅤ
ㅤ
ㅤ
"Jadi, Kang Iyan menikahiku karena permintaan Bunda?" Gadis di sebelahku yang sudah menghabiskan cakwenya, kini angkat bicara. "Ini semua ... karena terpaksa?"
Reka ulang ingatanku telah bermuara di pelabuhan akhir. Tidak ada lagi kilas balik yang mengharuskanku menceritakan kegiatan yang hanya merepetisi apa yang kulakukan sebelumnya. Aku mengulurkan sekantong cakwe milikku pada Diah, istriku. Ia meraihnya. Namun, tatapannya masih terpancar jelas mengharapkan sebuah penjelasan akan keterikatan yang mempersatukan kita.
"Kamu tahu kenapa Akang mengajak kamu jalan-jalan sore di sini? Di alun-alun ini, dari sekian banyak tempat yang bisa kita kunjungi?"
"Karena Akang masih belum bisa melupakan Teh Rika?" jawabnya, didominasi keraguan.
Aku mengangguk. "Kamu berhasil menebak separuh jawaban yang ingin Akang utarakan."
Diah menautkan kedua alisnya. "Lalu, bagaimana dengan yang separuhnya lagi?"
"Sebelum itu ...." Dengan menggantungkan kalimat tersebut, aku merogoh saku celana untuk mengambil secarik kertas di dalamnya. "Tadi pagi, Akang menerima surat dari kantor pos. Setelah dibuka, ternyata kiriman itu berasal dari rumah Rika. Usaha-usaha Akang untuk melupakannya, seketika goyah karena sepucuk surat ini."
Masih dengan lipatan yang rapi, aku menunjukkan surat itu pada Diah.
Dibukanya surat itu perlahan oleh Diah. Mataku mulai menangkap tulisan tangan yang ditulis oleh seseorang yang membelengguku dalam kepergiannya. Tulisanmu. Di sana tertulis, "Akang Iyan, gimana kabarnya? Maaf, ya, aku main pergi tanpa memberikan penjelasan apa-apa padamu. Aku hanya terlalu takut. Terlalu takut untuk menyakitimu setelah mengungkapkannya. Maka, aku memutuskan untuk merahasiakan ini seorang diri, yang bahkan orang tuaku mengetahui hal ini karena keteledoranku menaruh surat diagnosis yang diberikan oleh dokter. Diagnosis yang mengatakan kalau aku mengidap kanker paru-paru stadium akhir. Stadium empat.
"Maaf tidak memberitahumu. Aku tahu ini salah, tapi ... lebih baik aku melepasmu dari sekarang, sebelum semua terlalu menyakitkan. Aku juga tahu empat tahun itu bukanlah waktu yang singkat. Aku hanya ... aku tidak ingin menyakitimu, Kang. Keputusan ini bisa kamu sebut egois atau semacamnya. Karena sepertinya, aku hanya melindungi diriku sendiri dari rasa sakit. Aku belum siap meninggalkanmu, membuatmu sedih, ataupun menghancurkanmu. Kalau surat ini kamu terima, itu tandanya, dua minggu lagi adalah hari di mana satu tahun kepergianku meninggalkan kehidupan. Dan untuk pertama kalinya, aku baru mempersilakan kedua orang tuaku untuk menyampaikan berita duka ini pada semua orang. Setidaknya, biarlah mereka melupakanku dahulu sehingga tidak menanam kesedihan terlampau jauh."
Tanpa disadari, air mataku sudah berlinang tanpa perizinan. Diah langsung menggenggam jemariku yang sudah bergetar. Masih ada satu paragraf tertulis di surat tersebut, tetapi ini saja sudah sangat menyakitkan.
"Kang, kuharap kamu menemukan seseorang yang lebih baik daripada aku. Tolong titipkan salamku pada Bunda. Semoga, dia yang mendampingimu nantinya tidak akan meninggalkanmu seperti keegoisanku melepaskanmu. Sekali lagi, aku meminta maaf. Tertanda, Rika Mustika Sari."
Sebuah kepastian yang kuperlukan satu tahun lalu, akhirnya terkuak di saat hatiku berusaha memberontak membebaskan diri dari pasungan penuh tanya. Kamu meninggalkanku secara tiba-tiba karena tidak ingin membuat perasaanku tersakiti. Namun, apa kamu tahu kalau apa yang kamu ekspektasikan itu tidak seindah apa yang kurasakan? Bodoh. Kita sama-sama bodoh karena mengira bahwa kita saling mengerti satu sama lain.
"Kang ...."
Diah juga ikut menangis ketika kumenoleh. Kuhapus air matanya untuk menenangkan. "Kamu masih penasaran sama jawaban Akang yang separuh lagi?" tanyaku, demi mendistraksi kesedihannya.
Dengan napas sesenggukan, Diah mengangguk pelan.
"Ayo kita bangun." Aku berdiri dan membantunya demikian, lalu mendekatkan kepalaku ke telinganya. "Malu, kita dilihatin pengunjung lain di sini."
Kami saling menoleh ke segala arah, menyambut tatapan dari banyak pasang mata yang ditujukan pada kami. Aku menggenggam jemari Diah dan membawanya berjalan melintasi pusat alun-alun.
"Separuhnya lagi ialah Akang ingin menunjukkan padamu bahwasanya sekarang kamu adalah satu-satunya perempuan yang memenangkan hati Akang. Alasan terkuat kenapa Akang belum bisa melupakan Rika, hanya karena dalam hilangnya ia secara tiba-tiba, tersimpan banyak sekali misteri yang membuat Akang merasa bertanggung jawab untuk menyelesaikan. Namun, semua itu sudah selesai sekarang. Tidak ada lagi rantai-rantai yang memenjarakan Akang di penjara masa lalu."
Diah kemudian menyandarkan kepalanya di lenganku.
Pada akhirnya, aku hanyalah suatu kebodohan yang terlalu mendewakanmu. Berlebihan memujamu hingga melupakan kenyataan pahit di mana tidak ada lagi kata bersama dalam kamus hubungan kita.
Terima kasih atas penjelasanmu. Darimu, aku paham bagaimana cara memperlakukan dan diperlakukan.
Kukira semua ini merupakan relativitas antara diriku dan teka-tekimu. Akan tetapi, aku melupakan suatu hal penting yang membahas tentang enggannya diriku kehilangan dirimu. Maka pada sore ini, aku membebaskanmu. Melepaskan rasa ego dengan meninggalkan setumpuk kasih pada kaki senja.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro