Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

PART 4

Di kantor aku berusaha untuk menepis firasat buruk akan Fina. Akhir-akhir ini aku seakan berubah menjadi Afni yang lain, yang lemah, berfikiran buruk, cepat sedih. Bukan lagi seorang Afni yang kuat dan cuek seperti dulu. Mungkin itu yang menyebabkan aku sempat down dan harus beristirahat berminggu-minggu. Perubahan emosi yang kualami membawa dampak buruk untuk tubuhku.

Sepertinya kami akan pulang cepat hari ini dari kantor. Rasa penasaranku makin menjadi-jadi, fikiranku terbang entah kemana. Tapi aku hatus profesional. Kerjaanku tidak boleh terbengkalai.

[Sayang, jam berapa kamu jemput aku]

Kukirim pesan WA ke nomor suamiku.

[Jam 4 sayang, nanti aku telpon, miss you]

Balasan Bang Fahmi yang masih sempat-sempat nya menggombal, ditambah emoticon cium-love diakhir kalimatnya.

***

"Aku mencintai suami mu, Kak"

Fina membuka percakapan. Dia baru saja tiba dirumah kami. Dalam kondisi awut-awutan dia langsung masuk ke ruang tamu. Tanpa kalimat pembuka Fina langsung mengeluarkan kalimat yang membuat tenggorokanku tercekat.

"Plaak"

Tanpa kusadari sebuah tamparan kudaratkan dipipinya. Bang Fahmi merangkulku dari belakang, berusaha menenangkan aku yang sudah mulai naik pitam.

"Dasar perempuan jalang!"

Aku menyumpahi adikku sendiri, adik yang dari dulu hingga sekarang selalu ku bela, adik yang ku banggakan, tapi apa yang telah dia balas untukku. Dia malah mengatakan jika ia mencintai suamiku, keparat.

"Maksud kamu apa, apa tujuan kamu datang kesini, hah" aku masih berapi-api.

"Maafkan aku kak. Aku harus jujur, aku sangat mencintai suami kakak. Bang Fahmi tujuan hidupku. Izinkan aku kak, izinkan"

Fina menangis bersimpuh didepanku.

"Kacau kamu Fina, apa yang kamu katakan ini. Semuanya tidak masuk akal"

Bang Fahmi mendudukkan aku yang hampir tumbang di sofa. Kepalaku berdenyut.

"Aku tidak tau Bang, apa yang kurasa. Tapi aku menikmati masa disaat kamu ada disana kemarin. Aku bahagia."

"Jangan gila kamu Fina, aku ini abang iparmu. Suami dari kakakmu."

"Aku tidak peduli, aku rela dimadu dengan kakakku sendiri."

Fina makin menjadi-jadi.

"Cukuuup!, apa kamu sudah gila Fina. Keluar kamu, keluar!"

Aku sudah tak tahan. Sepertinya udara tidak bisa masuk ke batang otakku, mataku berkunang. Hingga akhirnya aku tumbang tak sadarkan diri.

***

"Ku mohon Fina, jangan ambil suamiku, ku mohon"

"Tidak Kak, hanya dia yang kunanti selama ini. Tolong jangan pisahkan kami"

***

"Afni sayang, bangunlah. Aku disini disampingmu. Tidak akan kemana-mana"

Kulihat sekeliling, tidak ada Fina, ternyata aku bermimpi. Aku mengerjapkan mata, terasa silau cahaya lampu menusuk ke retina. Aku merasa ototku seperti lepas dari persendian, lemas tak bertenaga. Kupaksa untuk menoleh kearah suamiku, dia duduk tepat disamping ranjang, dengan posisi agak membungkuk, merendahkan badannya agar dekat dengan wajahku.

"Kamu pingsan tadi sayang."

Aku terisak memutar kembali memori otak, mengingat apa yang terjadi sore tadi. Bang Fahmi menghapus airmataku dengan jari telunjuknya.

"Jangan difikirkan ya, apa yang telah terjadi sore tadi tidak akan mengubah segalanya. Aku tetap milikmu sayang."

Dia meraih jemariku, mengusap-usap lembut, menggenggamnya dan menempelkan telapak tanganku dipipinya.

"Aku tidak akan berpaling, walau itu untuk adikmu sendiri" ujar nya lagi.

"Dia bukan adikku, dia hanya perempuan murahan yang telah dirasuki setan"

Kutahan emosi yang kembali meledak. Setan apa yang telah merasuki Fina hingga ia dengan berani mengeluarkan kalimat tersebut, tanpa sedikitpun memikirkan perasaanku.

***

"Assalamu'alaikum."

Terdengar suara salam dari pintu depan.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam, sebentar ya sayang."

Bang Fahmi beranjak dari sisi ranjang hendak membuka pintu depan. Rumah kami memang tidak terlalu besar, jadi jarak kamar dan pintu depan pun tidak terlalu jauh, sehingga mudah mendengar jika ada orang yang memanggil dari luar.

Beberapa menit kemudian, kudengar langkah kaki mendekat ke arah kamar.

"Afni."

"Ibu."

Aku berusaha untuk bangkit, tapi ibu melarang, wanita paruh baya itu menghampiriku, memelukku sambil menangis. Kubalas pelukan ibu, aku juga menangis tersedu. Pasti ibu sudah tau ceritanya, fikirku.

"Ayo Bu, duduk dulu, ibu pasti lelah. Ini kursinya Bu."

"Terimakasih banyak, Nak"

Bang Fahmi meletakkan sebuah kursi didekat ibu. Setelah duduk ibu terus memperhatikanku. Aura kesedihan terpampang jelat diraut wajahnya. Tangan lelahnya merengkuh pundakku, mengalirkan semangat kekuatan untuk anaknya.

"Maafkan Fina, Sayang, Fahmi" ibu memulai percakapan.

"Ibu tidak tau ada apa dengan Fina. Semenjak kalian pergi dari rumah, dia mengurung diri dikamar. Tidak makan dan juga tidak melakukan aktifitas yang lain. Lelah ibu membujuk, tapi dia tidak mau keluar"

Aku dan Bang Fahmi hanya mendengarkan dengan seksama cerita ibu mengenai Fina.

"Hingga kemarin, setelah ibu shalat shubuh, dia masuk ke kamar ibu, kemudian dia bilang kalau dia mau kesini, mau menjumpai Fahmi, ibu tanya ada masalah apa, dia hanya menjawab masalah hati. Aku ingin menikah dengan Bang Fahmi, begitu katanya."

Ibu kembali menangis, menggenggam tanganku.

"Maafkan ibu Nak, maafkan ibu."

Kami menangis tersedu, ibu memelukku erat. Bang Fahmi yang sedari tadi hanya melihat dan mendengarkan percakapan kami akhirnya menghampiri.

"Aku tidak akan meninggalkan Afni, Bu, sampai kapanpun, itu janjiku. Jadi tolong sampaikan kepada Fina, jangan mengharap apapun dariku."

Aku makin tersedu mendengar ungkapan suamiku, terlihat jelas dimatanya bahwa dia tak ingin menduakan aku, tak ingin mengkhianati cinta kami.

"Tidak akan terjadi apapun dengan rumahtangga kalian, itu janji ibu."

***

Ibu sudah pulang, setelah menginap tiga hari dirumah, menemani dan menenangi diriku. Selama ada ibu dirumah, aku bisa sedikit mengalihkan pikiranku dari permasalahan yang sedang menimpa. Tapi sekarang, aku kembali sendiri dirumah. Bang Fahmi kekantor, sedangkan aku harus cuti kantor lagi. Aku bagai pesakitan yang benar-benar harus selalu dipantau kondisinya, jika dibiarkan sendiri maka aku bisa pingsan karena menangis tak henti-henti. Aku takut kehilangan Bang Fahmi, suamiku.

"Shalat lah Nak, seperti dulu. Mohon bantuan kepada Rabb mu. Adikmu Fina adalah ujian untuk rumah tangga kalian, ibu akan membantu sekuat tenaga ibu, selebihnya berdoalah kepada Allah Nak."

Pesan terakhir yang ibu sampaikan sebelum ibu pulang beberapa hari yang lalu.

Aku tersadar, dulu sekali sebelum kuliah aku tidak pernah meninggalkan shalat, sesulit apapun hidup kami dulu tapi aku selalu bisa melewatinya, karena pertolongan Allah. Tapi semenjak kuliah, aku semakin lalai dengan tugasku untuk menyembahNya. Apalagi semenjak mengenal Bang Fahmi dan kami terlalu sibuk diorganisasi, memang kewajiban beribadah kepada Allah kami tinggali. Ditambah Bang Fahmi tidak pernah menuntunku untuk mendekatkan diri kepada Ilahi. Kami sibuk akan karier, mengejar duniawi.

***

[Aku tak kan pernah berhenti, Bang. Aku tak bisa hidup tanpamu. Aku sudah jatuh cinta kepadamu dari hari pertama abang menyapaku.]

Airmataku kembali mengalir. 'Hentikan Fina.' Gumamku dalam hati. Bang Fahmi memang tidak pernah membuat sandi untuk handphone nya, jadi aku bisa kapan saja membuka dan memeriksa isi gawainya.

Kulihat pesan WA dari Fina masuk siang tadi. Tapi tak ada balasan dari Bang Fahmi. Hanya membacanya saja.

Jam menunjukkan pukul dua dini hari. Tiba-tiba ruhiyyahku ingin kuisi. Ada rindu lain yang menyergap, rindu ingin mengadu kepada ilahi Rabbi.

Kubasuh tangan dan mukaku, ada desiran dihati. Desiran cinta yang kembali muncul. Benar kata ibu, aku harus mengadu kepada Rabb ku, agar Allah menurunkan pertolonganNya untukku.

***

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro