DIA ADIK KANDUNGKU
Part 12
Aku melarikan diri dari kantor tempatku bekerja ke KUA terdekat. Ingin berkonsultasi perihal keinginanku yang ingin memfasakh Fahmi. Setiba disana aku langsung menuju ke ruangan konsultasi. Terlihat agak sepi, hanya ada beberapa ibu-ibu dan bapak-bapak yang memakai baju dinas sedang sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
"Assalamu'alaikum"
"Wa'alaikumsalam warahmatullah, silahkan masuk bu, ada yang bisa kami bantu" seru seorang ibu ramah.
"Saya mau konsultasi bu, masalah rumah tangga saya"
"O, ia, sebentar ya. Masih ada seorang ibu lagi didalam sedang berkonsultasi juga" ibu tadi menunjukkan kearah pintu yang masih tertutup.
'Ternyata ruang konsultasinya didalam' batinku.
"Baik bu" aku membalas seraya tersenyum
"Ibu boleh duduk disitu ya."
Aku berjalan ke arah kursi tamu yang ditunjuk oleh ibu tadi.
Sekitar 10 menit menunggu akhirnya giliranku. Aku masuk dengan perasaan ragu. Bayangan wajah suamiku kembali berkelebat dikepala. Walau sudah 1 tahun berpisah tetapi aku belum bisa melupakannya. Dia terlalu baik untukku walaupun akhirnya dibalas dengan pengkhiatan.
Tidak bisa kupingkiri, kenapa aku selalu menunda-nunda untuk ke KUA karena aku masih berharap ia datang. Hari demi hari berlalu begitu saja, hingga bulan berganti tahun yang ditunggu tak kunjung tiba. Apakah dia benar-benar bahagia bersama Fina. Bisa jadi Fahmi pasti bahagia, jika tidak pasti dia akan mencariku.
"Bu. Ayo masuk. Silahkan duduk."
Suara tersebut membuyarkan lamunanku.
"Ada yang bisa kami bantu bu" petugas tersebut juga tersenyum ramah. Apa semua petugas dikantor ini ramah-ramah.
"Ah, tidak jadi pak, mendadak saya ada panggilan dari kantor. Saya harus kesana segera, maafkan saya telah mengganggu."
Terpaksa aku berbohong, setelah keluar dari kantor Urusan Agama, aku menghapus airmata untuk kesekian kalinya. Hatiku tidak sanggup berada diruangan tersebut. Lagi-lagi air bening ini mengalir untuk Fahmi. Lelaki yang telah menyakitiku.
Aku mengemudikan mobil menuju rumah. Emosiku sedang tidak stabil, jika kembali kekantor aku takut mereka akan melihat kondisiku yang tidak baik. Wajah sembab dan amburadul.
***
"Kamu kenapa, Nak? Sudah ke KUA nya?" ibu menghampiriku ketika melihatku menghempaskan tubuh kekursi. Lelah fisik akibat bekerja tidak melebihi lelah psikis yang mendera.
"Aku baik-baik saja, tapi hatiku yang sedang tidak baik bu. Aku belum bisa berdamai dengan waktu, padahal sudah 1 tahun kami berpisah, tapi wajahnya selalu ada, kebaikan-kebaikannya selalu terbayang. Dari awal aku mengenalnya sangat jarang dia menyakitiku. Apa aku harus memaafkan kekhilafannya dan menerima dia kembali bu." Kembali aku menitikkan airmata.
"Itu yang ibu sarankan dari dulu, sayang."
Ibu menjawab sambil tersenyum. Wanita tegar ini selalu memberikan senyum dan belaian kasihnya untuk menguatkanku, walau dalam shalatnya ada doa dan tangis untuk anak yang lain yaitu Fina. Tetapi ibu tidak pernah membedakan kami berdua. Dan selama setahun terakhir ini ibu bersamaku tidak pernah sekalipun ia menyinggung tentang Fina, mungkin untuk menjaga perasaanku. Dalam diamnya ternyata ibu juga merindui anaknya, selalu mendoakan agar Allah menolongnya dimanapun ia berada.
"Aku takut mereka telah bersama dan"
Aku menghentikan kalimatku. Airmata yang tak terbendung mengaburkan pandanganku. Aku menutupi wajah dengan kedua telapak tangan, seluruh tubuhku berguncang karena tangis yang tak kunjung reda.
"Istikharah lah Nak, berdoalah kepada Allah, semoga Allah memberi petunjukNYA untukmu"
"Baik bu"
Sambil mengusap kedua mata, aku bangkit menuju kamar. Setelah membersihkan diri dan berwudhu, akupun memulai shalat.
""Wahai Dzat pembolak balik hati, jika ini adalah yang terbaik dari Mu maka mudahkanlah, jika bukan, berikan petunjukmu agar aku dapat keluar dari semua masalah ini."
***
"Afni, coba lihat kedepan, ada mobil yang memasuki pekarangan rumah kita. Ibu mau beres-beres didapur dulu."
Aku bergegas melipat mukena begitu mendengar suara panggilan dari ibu.
"Ya bu, sebentar"
Sambil menyambar jilbab kaos yang terletak diatas meja rias, aku membuka pintu kamar, menuju jendela ruang tamu, mengintip siapa yang datang. Apa mungkin Pak Fandi mempercepat kedatangannya, padahal janjinya minggu depan.
Aku belum membuka pintu karena kulihat tidak ada satu orang pun yang turun dari dalam mobil. Rasa takut menguasaiku, mungkin saja itu penjahat yang ingin menyakiti kami. Aku segera memeriksa pintu, apakah sudah terkunci atau tidak. 10 menit berlalu hingga turunlah seorang bapak-bapak memakai baju takwa berwarna coklat muda, serta peci dengan warna senada dan dipadukan dengan celana kain berwarna hitam.
'Siapa ya' aku bergumam didalam hati.
Tak lama kemudian, turun 3 orang yang lain secara hampir bersamaan, 2 orang wanita, 1 paruh baya dan 1 nya lagi masih muda, serta 1 orang lelaki lain yang juga jauh lebih muda dari bapak-bapak yang pertama keluar dari mobil.
Mereka berjalan beriringan menuju rumah. Aku memperhatikan, seperti mengenal, ah tapi siapakah. Kuperhatikan lagi dengan seksama 2 orang laki-laki yang berjalan didepan. Lelaki dewasa, yang juga berpenampilan sama dengan lelaki sebelumnya. Mirip seseorang yang pernah kukenal. Benarkah itu, atau aku yang salah penglihatan.
"Allah.. Ibuuu"
Aku tercekat ditirai jendela, tubuhku nyaris roboh jika saja tanganku tak meraih pegangan kursi. Lututku gemetar, jantungku berdebar, keringat dingin mulai membasahi kening dan pelipisku.
"Ibuu." Jeritku seiring dengan suara ketuk pintu.
"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh"
Suara salam dipintu tak lagi ku jawab. Aku mengumpulkan segenap tenaga untuk berlari kekamar dan setelah itu mengunci pintu dari dalam.
"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh"
Dengan perasaan berdebar kupasang telinga baik-baik. Ku berharap ibu yang membukakan pintu. Bukan aku.
"Wa'alaikumsalam"
Terdengar suara ibu berjalan dari arah dapur menuju pintu depan.
"Afni Afni, ibu minta tolong buka pintu malah dia entah kemana"
'Kreek'
Jantungku terasa hampir jatuh saat kudengar suara kunci pintu diputar.
"Fahmiii." Seru ibu agak berteriak.
Ya Allah benar dugaanku, itu adalah Fahmi, suamiku. Setelah 1 tahun dia kembali. Benar-benar kembali menemukanku.
"Fiinaa" Kembali ibu berteriak, kali ini lebih kencang dari teriakan pertama.
Apa? Ada Fina disana, aku tidak melihat Fina tadi. Hanya dua orang wanita berjilbab sempurna yang berjalan dibelakang. Apa mungkin dia tadi belum turun dari mobil.
Isak tangis mulai memenuhi ruang tamu.
"Mana Afni bu" Ku dengar seseorang menanyakan diriku. Suara yang sangat kukenal.
Allah, tidak ada yang berubah dari suaranya. Aku benar-benar merindui suara itu. Suara yang dulu selalu memenuhi hari-hariku. Suara yang sudah 1 tahun ini tidak pernah ku dengar lagi. Aku rindu.
"Af-Af Ni sepertinya dikamar"
Ibu menjawab dengan terbata. Bisa kubayangkan posisi ibu yang berada disana. Kekagetan yang luar biasa, bertemu kembali dengan anak dan menantunya.
Tapi bagaimana Fahmi dan Fina datang bersama? Benar dugaanku, ternyata mereka memang telah menikah. Untuk apa mereka kembali hadir jika hanya membuat lukaku semakin menganga. Dengan sengaja mereka ingin menabur asam dan garam diluka lama yang belum sembuh dengan sempurna. Dan akhirnya luka itu akan kembali bernanah meninggalkan sakit yang tak tertahankan.
"Bu, mana Kak Afni, aku ingin meminta maaf kepadanya."
Itu pasti Fina, lembut sekali terdengar.
'Dasar penjilat. Setelah semua yang kau lakukan, sekarang kau kembali dengan suamiku disisimu dan ingin meminta maaf, sebegitu mudah kah?' aku bergumam dalam hati.
Aku bukan anak kecil yang menunggu dikamar agar dibujuk dan dirayu untuk keluar. Aku tidak menunggu ibu memanggilku kekamar, dengan segenap kekuatan aku mematut diri didepan cermin, memoles tipis bedak dan pemerah bibir. Agar tidak terlihat sembab dan pucat. Aku harus terlihat segar dan tegar dihadapan mereka. Aku mencoba untuk kuat, walau didalam sangat lah rapuh. Mencoba baik-baik saja walau didalam ada tangis yang mendera.
Pelan aku membuka pintu kamar. Debaran didada semakin memburu, ku berusaha untuk menetralkan dengan menghembuskan nafas sekuat-kuatnya
"Af-Ni"
Sontak suamiku berdiri dari tempat duduknya. Dengan terbata ia mengeja namaku.
"Ya" Aku berusaha bersikap biasa saja
"Apa kabar sayang"
Dia masih memanggilku sayang, dan yang lebih gila debaran aneh menjalari hatiku, seperti diawal dulu mengenal dia.
Tak kulihat Fina disana, hanya 2 orang perempuan yang duduk membelakangi tempatku berdiri.
Belum sempat ku jawab pertanyaan Bang Fahmi, tiba tiba saja seorang perempuan berjilbab besar menubruk tubuhku, berlutut dan mencium kakiku.
"Ampuni aku kak, ampuni aku"
Apa? Inikah Fina?
Aku sampai tidak mengenalinya, lakon apa lagi yang sedang ia mainkan, berperan menjadi orang baik. Menyembunyikan segala bangkai busuk didalam baju dan jilbab lebarnya.
Begitu juga dengan laki-laki yang dulu sangat kucintai, wajahnya terlihat sangat teduh, airmuka yang tenang, ditambah jenggot tipis menghiasi dagunya, peci bertengger dikepala menambah aura lain pada dirinya.
Kenapa mereka tiba-tiba mendadak menjadi alim semua. Berbagai pertanyaan berloncatan dikepalaku, tapi aku tahan, aku tidak boleh terlihat perduli walaupun aku ingin tau setengah mati.
"Kak, maukah kau mengampuniku?"
Fina mengulang pertanyaaannya. Posisinya tidak lagi dikakiku, dia sudah berdiri, menggenggam jemari tanganku.
"Aku hanya hamba, bukan hak ku untuk mengampuni, aku hanya berhak untuk memaafkan"
Segenap tenaga aku mencoba untuk berkata tegas dengan suara berat yang agak sedikit kubuat-kubuat.
"Maukah kakak memaafkan semua kesalahanku"
Fina kembali menangis.
"Afni, Fina, duduklah disini, didekat ibu. Hari ini semuanya harus jelas."
Ibu memanggil kami berdua. 2 anak perempuannya yang sedang bertikai.
Jalan hidup seperti apalagi yang sedang Allah rencanakan untuk kami.
Setelah Allah memisahkan dan Allah kembali yang mempertemukan.
Apa yang harus kulakukan ya Allah. Berikanlah aku kekuatan untuk meminta maaf pada orang yang telah aku buat kesalahan dan berikanlah aku kekuatan untuk memaafkan orang yang telah membuat kesalahan terhadapku.
***
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro