Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

DIA ADIK KANDUNGKU

Part 7

Fahmi mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Wajahnya terlihat gusar. Ingin rasanya melahap Fina malam ini, tapi hati, otak dan nafsunya bertolak belakang. Dia lebih mengedapan hati. Mendengar kata hati yang terdalam, bahwa dirinya hanya milik Afni seorang.

'Ah, Afni, maafkan aku, aku hampir berlaku curang' sesal Fahmi.

***

Aku tidak bisa tidur, mengkhawatirkan Bang Fahmi yang belum pulang. Ku coba merebahkan badan, tapi gelisah yang kurasakan, fikiran buruk berseliweran memikirkan apa yang terjadi dengan Bang Fahmi, hingga larut begini tak kunjung datang.

Jam menunjukkan pukul 2 dini hari. Kepalaku agak berdenyut, mungkin disebabkan kantuk yang menyerang. Ku coba menghubungi suamiku, tp nomor nya tidak aktif, tidak bisa dihubungi.

'Allah lindungilah suamiku dari segala marabahaya dan tipu daya manusia' aku berdoa dalam hati.

Terdengar deru mobil memasuki perkarangan rumah. Seperti nya Bang Fahmi sudah pulang. Pintu depan dibuka dari luar, Bang Fahmi memang membawa kunci serap, jika sewaktu-waktu aku tidak dirumah, jadi ia tidak susah jika ingin masuk kedalam.

Dia terkaget melihatku masih duduk disofa.

"Sayang, belum tidur, sudah larut malam"

"Abang darimana saja, apa jam segini baru selesai pekerjaannya?"

Aku malah balik bertanya. Bang Fahmi terdiam, dia nampak kaget dan agak gugup.

"Eh, ee, itu, tadi abang menyelesaikan beberapa pekerjaan dikantor. Harus dikejar, karena sudah banyak sekali yang terbengkalai"

"Sampai selarut ini, kamu pun tidak mengabarkanku jam berapa kamu akan pulang, Bang"

"Sudahlah sayang, aku baik-baik saja, ayo kita tidur"

"Abang shalat Isya dulu"

Selama ini aku sudah lebih mendekatkan diri kepada Allah, Bang Fahmi juga kuajak serta. Alhamdulillah walau kadang masih suka tertinggal, tapi suamiku sudah lebih baik dari dulu.

"Sudah tadi dikantor sayang"

Kulihat ada gelagat aneh dari suamiku, seperti ada yang sedang disembunyikannya. Apakah dia sedang membohongiku.

"Kamu sedang tidak berbohong kan, sayang"

"Berbohong? Apa gunanya aku berbohong, dan selama kamu mengenaliku apa pernah aku membohongimu?"

Dia tersenyum kearahku. Aku lega mendengar pernyataannya,  memang sedari dulu dia tidak pernah mengkhianatiku, padahal peluang dia untuk berbohong sangatlah besar. Itulah suamiku, suami yang sangat perhatian, baik dan selalu memanjakan. Dibalik ketampanan dan kerjaan yang mapan yang dia miliki, itu semua adalah nilai plus untukku.

***

[Kak, suami mu telah meniduri ku]

Deg!

Apa maksud pesan yang dikirimi Fina. Dia masih bermain-main denganku?

[Maksudmu apa?]

Kubalas juga pesan WA dari Fina.

'Astaghfirullah' aku beristighfar dalam hati.

[Tanyakan saja sama suamimu, apa yang dia kerjakan bersamaku di malam hujan lebat beberapa hari yang lalu]

Ya Allah ya Rabb, ujian apalagi yang Engkau berikan untukku. Aku menangis, airmataku tak bisa terbendung. Ku ingat kembali malam itu, aku sudah mencurigainya, tapi suamiku tak mau berkata jujur. Apa yang telah mereka lakukan dibelakangku. Sejauh apa hubungan mereka.

Sepertinya benar kata Fina, karena malam itu Bang Fahmi telat pulang. Alasannya lembur, ternyata dia bersama Fina.

'Jika orang yang kupercayai saja sudah bisa mengkhianatiku, siapa lagi yang harus kupercaya.'

Aku yang sedang membereskan baju kotor suamiku terduduk dipinggir mesin cuci. Sakit hatiku tak terperi.

'Lebih baik kau menyiksa ragaku, daripadi kau menyiksa jiwaku, Fahmi'

Aku menggenggam erat gawai di tanganku. Ingin ku hubungi adik keparat yang tidak tau diri itu tapi aku menundanya, kulihat dia mulai mengetik lagi, mengirimiku pesan.

[Coba cari disaku baju atau celananya, pasti suamimu menyimpan faktur kamar hotel yang kami sewa, malam itu. Didalam riuh rendah hujan, aku memadu kasih kak, dengan suamimu. Dan kami sangat menikmatinya.]

Gawai terlepas dari genggamanku. Aku merogoh semua baju kotor Bang Fahmi yang telah kukumpulkan tadi. Satu, dua, tiga, hingga kemeja terakhir, aku menemukannya.

Allah, remuk redam jiwaku. Fina tidak berdusta.

'Aku adalah pendosa ya Allah, tapi ku mohon jangan uji diriku dengan cobaan seperti ini."

Aku tersungkur dilantai, kembali kutatap faktur hotel yang baru saja kutemukan dikantong kemeja suamiku.

Sore nanti Bang Fahmi pulang kerja, akan kutunggu hingga ia tiba dirumah dan aku akan memutuskan semuanya.

***

Pukul 5 sore mobil Bang Fahmi tiba dirumah. Dari dalam kamar, aku mendengar pintu mobil ditutup. Dengan lemah kuraih selimut untuk menutupi tubuhku. Rasanya bagai tak bertulang, untuk duduk saja aku tidak sanggup. Apalagi saat aku membuka mata, rasa mual semakin menggila. Pesan WA dari Fina tentang pengakuan dosa mereka berdua benar-benar menguras seluruh emosi fisik dan batinku.

"Sayang, kamu kenapa?"

Bang Fahmi muncul dikamar. Dari suaranya terdengar dia khawatir melihat diriku yang berselimut tebal. Aku diam tak menjawab, tangisku pecah ketika Bang Fahmi mulai membelai rambutku.

"Aku sudah bilang, kita pakai jasa pembantu saja, biar ada yang menolongmu dirumah, jadi kan kamu tidak perlu berlelah-lelah, ingat kondisi kesehatanmu sayang"

Bang Fahmi mulai mengangkat selimut yang menutupi wajahku.

"Astaghfirullah, kamu kenapa Afni? Apa yang terjadi? Kamu menangis, ada apa sayang? Kamu kelelahan atau sakit? Dimana sakit? Kita ke dokter ya"

Suamiku panik, dia merabai seluruh wajah dan tubuhku. Meyibak rambut yang menutupi sebagian wajahku. Aku tak bergeming, diam dalam tangis. Dua orang yang kucintai telah menyakitiku.

"Jawab sayang, kenapa kamu diam saja. Apa yang terjadi, Ya Allah"

Bang Fahmi sibuk menggoncangkan tubuhku. Kemudian aku membuka telapak tangan dan memberikan faktur hotel yg berjam-jam lalu ku genggam.

Faktur tersebut berpindah tangan, Bang Fahmi meremas kertas kwitansi tadi.

"Afni, aku bisa menjelaskan semuanya, jangan salah paham sayang"

Aku berusaha untuk duduk, meraih pinggiran ranjang untuk menguatkanku. Bang Fahmi berusaha untuk membantu, tapi aku menepis tangannya.

"Jangan sentuh aku, setelah kau juga menyentuh adikku"

Aku menatapnya tanpa ragu. Rasa cinta berubah menjadi benci yang bertalu. Kesetiaan yang selama ini kami pupuk telah menjadi serpihan abu. Aku membenci Fina, juga Fahmi suamiku. Mereka berdua tidak lebih bak sepasang binatang. Ah tidak, binatang saja bisa setia kepada pasangannya dan binatang saja tidak rela untuk mengambil yang bukan miliknya.

Aku menyodorkan HP ku kearahnya.

"Buka dan bacalah!"

Fahmi dengan sigap meraih gawai ku, kemudian membaca isi pesan yang dikirimkan oleh Fina. Mukanya memerah, amarah nampak begitu nyata.

"Jika dia bukan adikmu, dan jika aku tidak mengingat ibu, maka detik ini juga akan kubunuh dia"

"Untuk apa kau membunuhnya, untuk menghilangkan jejak jika sewaktu-waktu dia hamil, mengandung janinmu?"

"Demi Tuhan, Afni, aku tidak menyentuhnya, aku hanya menolong dia malam itu."

Fahmi menitikkan airmata, kemudian melanjutkan ceritanya.

"Dia berdiri dipinggir jalan, melambai kearah mobilku dalam keadaan basah kuyup. Kemudian ku ajak dia ikut dan aku membawanya ke hotel, lalu.."

"Lalu kalian berzina disana" potongku ketus. Aku membuang muka, muak melihat wajahnya yang memelas.

"Tidak, aku meninggalkan dia dihotel, percayalah sayang, aku tidak berzina. Aku masih takut akan Allah walaupun aku sering alpa mengingatNYA"

Hatiku sudah terlanjur hancur tak berbentuk. Apapun bentuk pengakuan darinya, sudah tak ku indahkan lagi. Aku sudah mengambil keputusan.

"Aku akan menjemput Fina dan membawa kesini, tunggu disini sayang, hingga aku kembali."

Bang Fahmi keluar kamar dan ia mengunci pintu kamar dari luar. Sepertinya suamiku berfirasat jika aku akan pergi. Aku bukan remaja labil yang sedikit-sedikit melarikan diri.

Tak lama setelah suamuku pergi, terengar sayup-sayup adzan magrib dari mushalla komplek perumahan kami. Aku bangkit dari ranjang hendak berwudhu, menghadap ilahi, mengadu kepadaNYA tentang apa yg telah kualami.

Semenjak resign dari kantor, aku lebih banyak memiliki waktu luang dirumah, daripada sendirian dirumah tidak ada kegiatan, setiap hari setelah dhuhur aku mengikuti kajian di mushalla.

Ah, benar saja, jiwa yang kosong seperti terisi kembali. Hati yang dulu was-was kini menjadi lebih ikhlas. Dulu hanya memikirkan duniawi, sekarang aku mencoba menyeimbangkan keduanya. Diluar rumah pun aku sudah mulai menutup rambutku dan menggunakan baju-baju panjang, walaupun belum berani terlalu tampil beda, tapi aku berusaha untuk menutup aurat dengan sempurna. Awal-awal aku mengenakan hijab, suamiku sampai tertegun menatapku. Dia tak henti memujiku dan mendoakanku agar selalu seperti itu.

Dasar lelaki. Untuk wanita ini kau sanjung puji, untuk wanita sana malah kau tiduri.

Astaghfirullah, aku melamun disaat sedang berwudhu, bayangan wajah Bang Fahmi dan Fina dikamar hotel bagai gambar berjalan didepan mataku.

Ku ulangi kembali wudhuku, rasanya luruh semua pelik, emosi yang tadi menguasai diri, kini menguap dibawa air yang membasahi seluruh anggota badan.

Kubentangkan sajadah, membalut auratku dengan mukena. Aku menatap cermin, mataku sembab, hidungku memerah karena tangis yang tak kunjung reda. Aku berdiri melafazkan niat.

'Ushalli...'

Hanya kepada Allah tempat kita mengadu, mencurahkan segala pilu, bahkan orang yang kita percaya dan cintai pun bisa menusuk dari belakang, apalagi yang bisa diharapkan.

Jika semua orang menjauhi diriku, maka aku akan semakin mendekatiMU, Rabbku.

Inna shalaatii wanusukii wamahyaaya wamamaati lillahi rabbil 'aalamiin~Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.~

***

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro