DIA ADIK KANDUNGKU
Part 2
Tersentak aku terbangun dari tidur siangku. Sayup terdengar suara orang tertawa, kupasang telinga dari kamar, sepertinya dari arah dapur. Rasa-rasa itu suara bang Fahmi dan Fina. Aiiiihhh, sedang apa mereka.
Bergegas aku beranjak dari tempat tidur, tak lupa mengikat rambut yang acak-acakkan terkena bantal. Aku seperti maling dirumah orangtuaku, dengan berjingkat menuju ke arah suara. Semakin dekat semakin jelas bahwa sumbernya adalah dari Fina dan bang Fahmi, mereka berdua sedang bercanda, saling melempar kalimat demi kalimat.
Apa yang mereka bahas, apa sudah lama mereka berdua didapur. Aku makin penasaran. Setiba didapur sengaja aku berhenti terlebih dahulu, ingin mendengar lebih jelas apa yang sedang mereka bincangkan.
"Kamu kok belum nikah sih" tanya bang Fahmi.
Dibalas dengan suara tawa oleh Fina "Belum nemu yang cocok, bang" suara Fina terdengar lembut.
'Mendayu sekali kamu Fin' aku berucap dalam hati.
"Oo, kalau aku bantu cariin, gimana, kamu mau ngga"
"Tergantung siapa yang datang dong bang, cocok apa ngga, ganteng juga sih harusnya, hahaha"
'Hmm, bang Fahmi memang seorang yang peduli, berarti dia juga menyayangi adikku, layaknya aku' batinku.
"Lagi ngobrolin apa nih" aku muncul dipintu dapur sambil tersenyum.
Mereka kaget, Fina hampir saja menjatuhkan pisau dari tangannya. Kulirik bang Fahmi juga tak kalah kaget. Ekspresinya seperti koruptur yang tercyduk oleh KPK.
"Sayang, udah bangun ya" seru bang Fahmi mengahampiriku.
"Tadi aku cepat pulang, kamu nyenyak banget tidur siangnya, jadi aku ngga mau gangguin. Ini ke dapur mau ambilin air putih" sambungnya lagi.
Fina hanya diam saja, tidak melihat kearah kami, dia sibuk dengan potongan kentangnya. Sepertinya mau buat pergedel.
"Ya sayang, aku juga haus mau minum".
"Ibu mana Fin" sambungku lagi sambil menuangkan air dari dispenser ke dalam gelas.
"Tadi ibu pergi kak, ada arisan komplek" jawab Fina tanpa mengalihkan pandangannya dari pisau dan kentang.
"Serius amat, sini aku bantuin"
"Eh, ngg.. Ngga usah kak, kak Afni istirahat aja, temenin bang Fahmi didepan". Dia merebut kembali pisau dari tanganku.
Ternyata bang Fahmi tidak lagi didapur, mungkin ke teras depan, atau kamar.
"Ya sudah, aku tinggal kedepan ya"
***
Hampir 2 minggu aku dan bang Fahmi dirumah ibu, kondisiku sudah lebih membaik, sepertinya energiku sudah tercharger kembali. Malah sekarang bosan yang ku rasa, aku rindu aktifitas kantor juga rindu rumah.
Selama dirumah ibu, Fina lah orang yang sangat membantu. Ibu sedang banyak menerima orderan dalam beberapa minggu ini, jadi beliau sibuk dengan cateringnya. Aku sangat berterimakasih terhadap Fina. Dia memasakkan masakan kesukaan bang Fahmi, membuat cemilan, menghidangkan teh sore, menyiapkan sarapan ke kantor. Semua tugas yang seharusnya kulakukan diambil alih oleh Fina. Aku betul-betul beristirahat total. Bang Fahmi pun melarang aku untuk melakukan itu semua.
"Istri cantik abang istirahat aja ya, abang ngga mau kalau cinta abang ini sakit lagi" kata suamiku beberapa hari yang lalu.
Aku tersenyum sambil merebahkan kepalaku kedada bidang bang Fahmi. Aku senang dia bersikap begitu memanjakanku, semoga selamanya seperti itu.
***
"Kak, bang, ini dinikmati dulu teh melatinya, biar fresh, hari libur begini senang ya bisa menghabiskan waktu dengan orang yang dicinta" kemunculan Fina membawakan dua cangkir teh hangat ke teras rumah mengejutkan kami. Pasangan yang tiap hari bulan madu, jadi tidak peduli mau itu diteras rumah ya tetap mesra-mesran saja.
Bang Fahmi tersenyum menyambut uluran cangkir dari Fina. Indera penciumanku menangkap wangi yang sangat lembut dari Fina. Ia nampak cantik sore ini, dengan balutan dress rumahan selutut yang pas dibadan, ada lekuk dibagian-bagian tertentu. Rambutnya terurai sebahu, tebal dan terawat. Kulit kuning langsatnya terlihat mencolok dipadankan dengan dress berwarna hitam yang ia kenakan.
Fina memang lebih cantik dari diriku. Warna kulit saja sudah berbeda, aku agak kecoklatan, sedangkan dia kuning langsat. Dia tinggi dan aku tidak. Fina terlihat sangat proporsional dengan tinggi dan berat badan yang ideal.
Bukan hanya fisik yang berbeda, bahkan sifat kami pun tak sama, sifat Fina cenderung hampir sama dengan bang Fahmi, perhatian. Aura keibuan Fina jelas terpancar dibandingkan diriku, dia yang rajin berkutat dengan dapur, makin menambah nilai plus dimata lelaki. Sedangkan aku, hanya bisa mengandalkan jasa catering dan jasa laundry untuk meringankan pekerjaan rumahtangga.
"Fina belum mau nikah juga ya sayang" tanya bang Fahmi sambil menyeruput teh yang Fina hidangkan tadi.
Fina sudah kembali lagi ke dalam rumah, sepertinya dia paham tidak ingin mengganggu kakak dan abang iparnya.
"Ngga tau sayang, dulu ada beberapa yang datang melamar, tapi dia nya ngga mau"
"Ngga mau kenapa"
"Ngga cocok"
"Ngga cocok kenapa"
"Ya belum jodoh"
"Ya kenapa"
"Isss.. Abang kepo bener deh" aku memukul dadanya pelan.
Bang Fahmi menarikku kedalam pelukannya. Dia tertawa lebar, hingga terlihat deretan gigi putihnya. Sungguh menawan.
***
"Apa kalian tidak mau bertahan lagi disini. Baru juga 3 minggu".
Ibu memasuki kamarku, aku sedang sibuk mengemasi barang-barang kami. Rencana besok setelah bang Fahmi pulang dari kantor dia akan menjemputku.
"Aku harus kerja bu, sudah sangat lama libur, dan kondisiku pun Alhamdulillah sudah semakin pulih"
"Jaga kesehatanmu Afni, jangan terlalu diforsir, kalau kamu sakit suami kamu juga yang susah"
"Ya bu, makasih banyak, ibu sama Fina sudah banyak membantu, aku jadi ngeropotin"
"Kamu seperti orang lain saja sama ibu dan adikmu, pintu rumah ini selalu terbuka kapan saja kalian ingin datang"
"Makasih banyak bu" aku memeluk ibu. Rindu masa-masa dulu ketika tinggal bersama ibu, banyak hal yang kami lewati bersama. Suka duka yang kami lewati dulu, berjuang tanpa ayah hingga ibu bisa menyekolahkan dan mengkuliahkan kami.
***
"Kami berangkat ya bu, sehat-sehat selalu ibu dirumah, jangan lupa kabari jika ada apa-apa" seru bang Fahmi sambil meletakkan barang-barang didalam mobil. Tidak banyak, hanya 2 koper dan rantang dari ibu. Bekal untuk dirumah nanti agar aku tidak memasak atau
"Ya nak, kalian yang harus jaga kesehatan, jangan kelelahan. Kerja sih kerja, kesehatan juga dijaga" Balas ibu sambil mengelus rambutku.
Ada kenyamanan yang kurasakan, dekat dengan wanita separuh baya ini, seakan dunia akan aman-aman saja. Walaupun bom panci meledak dimana-mana.
Aku melihat Fina berdiri dipintu. Tampak ada kesedihan diwajahnya. Aku menghampiri dan mencuil hidungnya
"Sedih ya, ikut aja yuk sama aku dan bang Fahmi"
""Ya kak, aku ngga ikut tapi sepertinya aku akan sering main kesana, boleh ya"
"Beneran ya, aku tunggu"
"Pasti" Fina menjawab tidak melihatku, tapi melihat kearah suamiku.
***
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro