
Tiga Istri Enam Pemuda Enam Peluru
Kematian Madang cukup menggemparkan. Terutama di teman-teman sepermainan. Tak ada Madang, acara bangun-bangun sahur jadi sepi. Dia yang pukulannya paling keras dan paling asyik. Sang ibu meratapi kepergiannya. Sang ibu berpesan kepada setiap yang melawat, "tolong kalau berbuka yang wajar-wajar saja. Sungguh, Allah tidak suka umatnya yang berlebihan. Berlebihan adalah sifat setan."
Ibu Madang kini tak punya siapa-siapa lagi. Ayah Madang, sudah mati diracun. Sebetulnya, itu lebih baik. Ayah Madang tak ubahnya adalah parasit dalam hidupnya. Ibu Madang banting tulang mencari uang dengan berjualan di pasar. Sementara ayah Madang malah jadi preman dan enak-enakan santai di rumah, lalu dari siang sampai menjelang pagi berkeliaran di pasar dan terminal. Dia berangkat menunggu istrinya pulang berjualan untuk dimintai uang.
Ibu Madang sebenarnya menaruh harap besar kepada Madang. Dia anak yang baik. Penurut. Puasanya tidak pernah batal. Salatnya tidak pernah bolong. Makanya sang ibu heran teramat heran di hari terakhir Madang itu. Kesurupan setan kalap apa dia hingga makan begitu berlebihan. Semua yang dimasaknya sore itu habis dimakan Madang. Bahkan saat diketemukan dengan perut membuyar, masih ada nasi dan lauk di mulutnya yang monyong. Ibu Madang beristighfar tak henti-henti sambil menangis menjerit.
Tujuh hari kemudian. Di pemakaman umum desa, batu Yathuk pindah ke sana, entah dipindahkan oleh siapa. Yathuk sendiri tidak yakin. Dia malas berpikir. Yathuk diberdirikan di samping makam Madang. Malam itu kebetulan bulan sedang purnama. Ada kabut yang beredar. Membentuk sosok-sosok seperti setan yang pernah lewat di kebun keramat. "Permisi." Yathuk mendengar jelas setan sopan itu lewat.
"Lho, kalian?"
Setan-setan kabut itu menampakkan diri. Ada lima. Setan-setan itu tidak mengucapkan selain permisi tadi. Mereka jongkok dan memainkan tanah kuburan Madang. Mereka menusukkan jari-jari ke sana. Mereka memakan kembang-kembang setaman yang ditabur di atas kuburan Madang. Air dalam botol mereka minum. Di sepertiga malam terakhir, Madang bangkit dari kematian. Merangkak naik membongkar kuburannya sendiri. Perutnya yang robek dia lilit pakai kain kafan. Lalu dia berjalan menuju rumah tukang jahit. Dia bisa menembus tembok. Dia mencari benang dan jarum. Dia menjahit perutnya sendiri. Seisi rumah itu histeris dan kabur keluar rumah ketika menemukan Madang tahu-tahu ikut nimbrung sahur. Semua makanan yang disiapkan oleh ibu pemilik rumah, dia lahap. Kuah soto merembes dari jahitan di perutnya.
Pak Kiai dan sejumlah pemuda mendatangi rumah penjahit itu. Mereka menemukan Madang dengan muka mayat hidup tengah santai menyantap di meja makan. Pak Kiai langsung membacakan ayat entah apa. Madang menengok lalu lenyap. Dia pindah ke rumah lain, ikutan sahur. Pak Kiai dan pemuda berlari pindah ke rumah itu. Penghuni rumah pada teriak. Sesampainya di sana, Madang juga sudah lenyap, pindah ke rumah lainnya lagi. Di rumah ketiga itu, terdengar suara letusan peluru. Pemilik rumah adalah pemburu binatang di hutan. Pak Kiai dan sejumlah pemuda lari lebih cepat ke rumah itu. Mereka menemukan mayat hidup Madang dengan kepala ambyar. Mereka memastikan dulu kalau Madang sudah tak bisa lenyap-lenyapan lagi. Sudah tidak bisa. Mereka kemudian menguburkannya kembali. Pak Kiai berpesan kepada sejumlah pemuda dan para penghuni rumah yang disatroni agar tidak memberitahukan hal itu kepada ibu Madang.
Kejadian itu jadi perbincangan seru di antara pemuda. Bukan tentang bagaimana Madang bisa bangkit dari kematian dan ikutan sahur, melainkan tentang pistol keren punya si pemburu. Pemburu itu namanya Om Napan. Di rumahnya banyak hewan-hewan buas yang sudah diawetkan. Ada harimau, macan tutul, macan kumbang, hiena, singa, dan gajah pun ada. Rumah Om Napan paling besar di desa. Dan selain itu, mereka membincangkan tentang tiga istri Om Napan yang kesemuanya masih muda belia.
Mereka mengutuk apa yang dilakukan Karjo si Kolor Ijo karena sudah menghabiskan stok perawan di desa. Sudah meniduri mereka semua, mereka dibuat gila semua. Bajingan betul. Makanya mereka tidak menyesal menghabisi Karjo sampai mampus. Sasaran paling keras dihajar adalah bagian selangkangannya. Saat dibungkus kain kafan asal-asalan waktu itu, bentukan pinggang sampai selangkangan Karjo tak karuan. Waktu dicemplungkan ke kuburan, posisi Karjo mengangkang. Bukannya ditimbun dengan tanah, mayat Karjo ditimbun pakai batu bangunan. Baru di atasnya pakai tanah.
"Memang bangsat itu Karjo. Dari dulu pun, otaknya isi selangkangan. Aku yakin, otaknya pindah ke kepala pelirnya."
"Itu betul."
"Kalian ingat waktu dia mengajak kita untuk mengerjai Karti Benguk?"
"Iya, ingat. Kenapa bisa-bisanya dia mengajak kita memerkosa orang gila ya."
"Bodohnya lagi, kenapa kita mau?"
"Kita dulu memang semuanya bodoh."
Salah satu menghentikan pembahasan tentang Karti Benguk dan Karjo. Mereka kembali ke topik tiga istri muda Om Napan. Mereka cantik-cantik. Untung mereka tidak diperkosa Kolor Ijo. Para pemuda itu sudah melakukan sensus, sudah tidak ada lagi perawan di desa ini. Ya kecuali anak-anak perempuan kecil. Mereka kudu menunggu sepuluh tahun lagi sampai mereka jadi kembang. Korban Karjo terlampau banyak. Di desa sebelah pun, sudah kehabisan perawan.
Mereka jadi iri dengan Om Napan yang bisa mendapatkan tiga istri muda sekaligus. Satu rumah pula. Seandainya mereka bisa mendapatkan tiga istri muda itu juga.
"Permisi." Ada suara ganjil terdengar. Suasana malam pun berubah. Enam pemuda yang nongkrong di pos ronda saling mencari asal suara. Mereka sama-sama bergidik. Tidak ada di antara mereka yang mengucap permisi, bahkan tidak ada siapa pun yang lewat.
Setelah suara itu lewat. Mereka menyusun rencana untuk menyatroni rumah Om Napan ketika orang itu pergi berburu. Tak peduli masih bulan puasa. Rencana itu terlaksana dengan mulus. Mereka memantau kapan Om Napan pergi. Di pertengahan bulan puasa. Keenam pemuda langsung menyelinap siang-siang. Lalu mereka menunggu sampai agak gelap untuk menggarap tiga istri muda. Mereka yakin tiga istri muda itu merawat diri dengan sangat baik. Om Napan sangat kaya.
Mereka sangat iri dengan Om Napan. Keenam pemuda telah keluar dari sarang persembunyian di gudang Om Napan. Mereka mengintip dari jendela. Kamar besar Om Napan. Bajingan betul. Om Napan tidurnya selalu bareng bersama tiga istri muda. Dan malam ini tiga istri muda tidur tanpa Om Napan. Mereka bertiga saling berpelukan. Pakai baju tidur tipis, tanpa dalaman. Hal yang sangat sulit ditemukan di antara pelaku-pelaku poligami. Padahal Om Napan orangnya tidak religius. Dia hanya kaya. Keenam pemuda itu sudah siap dengan obat bius. Mereka akan menggilir tiga istri muda itu. Mereka dengan hati-hati mengendap-endap masuk ke dalam rumah dan menyelinap masuk ke kamar utama. Sebelumnya mereka mematikan lampu dulu. Posisi sudah ditentukan, tiga pemuda sudah siap dengan sapu tangan berbius. Untungnya tiga istri muda itu tidak terganggu dengan lampu yang mati. Mereka langsung membuat mereka terbius. Enam batang sudah tegang.
Malam itu, warga desadibangunkan sahur dengan enam kali bunyi letusan peluru.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro