Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[Bit. 1] Bingung

"Hahahahahaha!!!! Kamu kira mau lebaran apa?! Idul Fitri kan baru saja lewat!!! Bahkan arus balik juga sudah selesai!"

Briona menatap kesal sahabatnya yang tertawa terpingkal-pingkal setelah ia menceritakan soal ditolaknya ia oleh perusahaan yang ia lamar.

Bodohnya, seharusnya ia tidak memberitahukan sahabatnya itu kalau ia melakukan hal konyol seperti minta maaf lahir dan batin pada layar komputernya.

"Maaf, maaf! Aku tidak menertawakan kegagalanmu. Aku hanya menertawakan tingkahmu, Briona," sahut Aldea.

"Itu tidak membuatku lebih baik," ucap Briona pelan.

Aldea menepuk bahu gadis yang memiliki warna mata berbeda itu.

"Bagaimana kalau kita pergi ke "Rambut Gadis"? Kamu suka semua makanan di sana, kan? Aku traktir!"

Briona tersenyum menatap sahabatnya. Apalagi mendengar kalau ia bisa makan makanan kesukaannya secara gratis di restoran kesukaannya. "Nah, kata-kata itu yang bisa membuatku merasa lebih baik."

"Dasar! Maunya gratisan!" Aldea mencubit pipi Briona.

Ekor mata Briona menangkap seseorang berjalan memasuki lobby gedung kampus jurusan Sastra Jepang. Itulah orang yang dia tunggu dari tadi.

Briona beranjak dari tempat duduknya. "Itu Niko-sensei! Aku harus menemuinya! Untuk itulah aku hari ini datang ke kampus!"

"Semangat, Briona! Semoga berhasil!" balas Aldea. "Kalau ditolak, aku siap menjadi bahu tempatmu menangis."

"Aduh jadi deg-degan."

"Cepat! Nanti Niko-sensei keburu pergi jauh!"

Briona langsung berlari ke arah Niko-sensei yang sudah berada di depan lift.

"Sensei!" sahut Briona memanggil dosennya itu.

"Ah, Brio. Kamu sudah datang. Cepat sekali," balas Niko-sensei.

"Tentu saja! Aku kan tidak mau kalah dengan mobil!" Briona menepuk dadanya bangga.

Niko-sensei tertawa mendengar kelakar Briona. Apalagi Briona membandingkan dirinya dengan mobil yang namanya sama dengan dirinya.

Briona menatap kedua mata dosen yang lebih tinggi sekitar 8 cm darinya itu.

"Sensei, terima kasih sudah mau datang seperti yang saya minta lewat chat semalam," ucap Briona.

"Tidak apa-apa," balas dosennya.

"S-Sensei... Saya sudah membuat ini susah payah. Jadi, mohon... terimalah... REVISIAN SKRIPSI SAYA!!!"

Briona menyerahkan tumpukan kertas tebal yang dijepit dengan 2 penjepit kertas.

"Ah, sudah kamu revisi?"

"Sudah, Sensei!!"

"Kalau begitu, kita ke ruang dosen dulu. Kita periksa sambil duduk di sana."

Briona dan dosennya berjalan beriringan menuju lift. Ruang dosen ada di lantai 3. Kalau memakai tangga akan melelahkan karena Briona membawa banyak print-an berkas skripsi.

Walau zaman sudah modern―sudah banyak yang menggunakan berbagai macam gadget untuk menulis skripsi dan bahkan untuk konsultasi revisi dan sebagainya dengan dosen pembimbing, Niko-sensei adalah salah satu dosen yang agak primitif. Beliau lebih suka memakai print kertas. Mau tidak mau, Briona harus menurutinya supaya bisa cepat lulus. Briona tidak mau berdebat soal pentingnya menghemat kertas atau praktisnya memakai gadget dengan dosen senior itu. Hal yang terpenting adalah ia cepat lulus.

Akhirnya sampai juga di depan ruang dosen. Niko-sensei merogoh sakunya dan mengeluarkan kartu warna hitam dengan logo universitas di tengahnya dan menempelkan kartu itu di mesin yang tertempel di pinggir pintu. Setelah bunya "piip" terdengar, pintu terbuka secara otomatis.

Walau sudah hampir 4 tahun kuliah di universitas yang paling modern di Indonesia, Universitas Sanpi Maeroh, Briona masih saja kagum dengan teknologi-teknologi canggih di universitas ini. Rasanya seperti ada di film-film spy agent.

Misalnya saja ruang dosen ini. Untuk masuk ke dalamnya harus memiliki kartu khusus dosen. Sebenarnya mahasiswa bisa saja masuk pakai kartu mahasiswa mereka, tetapi mereka harus mendapat ijin akses yang hanya bisa diberikan oleh dosen dan orang-orang tertentu.

Ribet.

Untungnya Briona datang bersama dosen, jadi ia tidak perlu repot-repot minta ijin akses masuk.

Mereka tiba di meja kerja Niko-sensei. Briona langsung duduk. Tentu saja di kursi, bukan di mejanya. Niko-sensei meminta hasil revisi Briona.

Sejujurnya Briona sedikit gugup. Ia khawatir revisian yang ia sudah lakukan dengan mengorbakan waktu berharganya untuk makan mie itu akan ditolak lagi. Ini sudah ke........ bahkan ia lupa sudah berapa kali revisi.

"Brio, kenapa tiap paragraf jauh sekali jaraknya? Enter 2 kali?" tanya Niko-sensei menunjuk skripsinya yang banyak jeda putihnya.

"I-iya. Habisnya kalau mereka berdekatan nanti berantem. Mereka tidak akur, Sensei!" jawab Briona seadanya. "Paragraf-paragraf itu selalu bertengkar, bahkan taruhan siapa yang bakal dicoret Sensei."

Dosennya tertawa terbahak-bahak sampai kacamatanya melorot. Untung bukan celananya yang melorot.

"Bilang saja kamu ingin membuat skripsimu terlihat banyak halamannya," ucap Niko-sensei telak.

Ucapan dosen pembimbingnya itu bagaikan panah yang menembus dada Briona. Sakit. Tapi untungnya bukan panah asmara. Bisa-bisa ia jatuh cinta pada orang yang lebih tua 37 tahun darinya. Briona tidak mau terlibat cinta terlarang.

Briona hanya cengengesan karena tertangkap basah.

Niko-sensei merogoh tasnya dan mengeluarkan benda yang membuat Briona takut.

Pulpen.

Benda jahat itu selalu merusak hasil kerja keras Briona. Tentu saja yang lebih jahat adalah orang yang memegang benda itu.

"Jangan enter 2 kali," ucap Niko-sensei sambil mencoret-coret hasil jerih payah Briona.

Briona hanya tersenyum pahit melihat dosennya kembali memeriksa kerjaannya.

"Brio, sebenarnya skripsimu sudah bagus. Data dan analisis sudah mantap. Bahkan presentasimu saat sidang juga baik. Hanya saja, kekuranganmu di sini. Kerapihan."

Briona hanya tertawa miris.

"Zaman dahulu, mahasiswa menulis skripsinya dengan mesin tik. Kalau ada satu huruf yang salah, harus diulang dari awal. Itu sebabnya harus hati-hati. Kalau sekarang, sudah banyak gadget canggih. Jadi kamu harus bisa lebih rapi lagi." Sang dosen mulai berceramah.

"Iya, Sensei..." ucap Briona lesu.

Niko-sensei kembali mengecek skripsi Briona. Pulpennya menari lagi di atas skripsi Briona. Sesekali memberikan coretan yang membuat Briona merintih kesakitan seakan dirinya yang dicoret.

"Briona..."

"Ya, Sensei?"

"Zaman dahulu, mahasiswa menulis skripsinya dengan mesin tik. Kalau ada satu huruf yang salah, harus diulang dari awal. Itu sebabnya harus hati-hati. Kalau sekarang, sudah banyak gadget canggih. Jadi kamu harus bisa lebih rapi lagi."

"Uuuh... iya. Tadi Sensei sudah bilang itu."

"Masa'?"

"Iya!"

"Ah mana mungkin."

Briona ingin sekali menghantamkan kepalanya ke meja.

☆☆☆

Briona melangkah gontai keluar dari ruang dosen. Ia harus merevisi ulang skripsinya. Jumlah coretan yang ia terima masih sama jumlahnya dengan yang sebelumnya.

Briona melihat sahabatnya melambaikan tangan ke arahnya. Ia segera berlari ke arahnya.

"Briona! Bagaimana? Sukses?" tanya Aldea.

Briona menggeleng. "Masih banyak yang harus revisi. Katanya kurang rapi."

"Tuh kan benar apa kataku! Kalau kamu menulis dengan paragraf yang mengikuti protokol social distancing begitu, pasti ditolak! Soalnya pandemi itu sudah selesai bertahun-tahun yang lalu!"

"Habiiiisssss... Kamu bisa menulis sampai lebih dari 250 halaman. Punyaku cuma 200 halaman."

"Yang penting kan isinya, Briona. Lagian, kita sudah yudisium. Jadi, sekarang yang penting revisi diterima supaya bisa wisuda."

Briona mengelus dagunya yang tidak ditumbuhi jenggot. "Hmm... Benar juga."

"Ya sudah. Ayo kita pergi! Urusanmu di sini sudah beres kan?" tanya Aldea.

Briona mengangguk.

"Ayo, kita harus cepat! Nanti "Rambut Gadis" keburu penuh!" Aldea menarik lengan Briona.

Briona dan Aldea pergi menuju Rambut Gadis dengan menaiki Hayabusa. Hayabusa adalah angkutan umum super cepat yang mirip kereta, namun tiap unit hanya sebesar bus kota. Angkutan umum ini hanya ada di kota yang mereka tinggali, Kota Sieraden.

Briona menerawang ke arah luar jendela melihat banyak gedung-gedung perkantoran yang berjajar megah. Sepertinya mereka sudah memasuki kawasan perkantoran. Briona sangat ingin bisa bekerja di salah satu perusahaan yang memiliki gedung tinggi tersebut.

"Kamu kenapa?" tanya Aldea. Ia merasa Briona terlihat lesu sambil melihat ke arah luar.

"Seandainya aku bisa diterima kerja di salah satu perusahaan di gedung tinggi itu ... " jawab Briona setengah bergumam.

"Kamu memang suka tempat tinggi ya. Kenapa tidak bekerja di gedung itu? Itu gedung tinggi paling bagus dan unik di kota ini!"

Briona melihat arah yang ditunjuk Aldea. Sebuah gedung tinggi yang di bagian atasnya ada sebuah jam besar. Jam besar itu berdentang tiap jam. Gedung itu terlihat seperti menara jam, walaupun sebenarnya itu adalah gedung.

Gedung itu bernama Gedung Tatejikan. Gedung milik Tatejikan Corp. Tatejikan Corp adalah perusahaan konglomerat yang bergerak di bidang properti. Perusahaan konglomerat inilah yang membangun Kota Sieraden di sebuah pulau buatan yang bernama Pulau Shimajikan yang berada di utara Pulau Jawa.

Bisa dibilang, kota dan pulau buatan tempat tinggal Briona adalah milik perusahaan konglomerat itu, dan Aldea adalah anak dari pimpinan perusahaan itu.

"Berarti nanti aku jadi anak buahmu dong," ucap Briona sambil mendengus.

"Secara teknis sih iya. Tapi tenang saja! Aku akan memudahkan karirmu. Dalam waktu singkat, jabatanmu bisa tinggi dan menghasilkan banyak uang!"

"Kekuatan orang dalam."

"Benar!"

Briona berpikir sejenak. "Akan kulakukan kalau sudah kepepet. Nepotisme memang nikmat, tapi aku ingin berusaha dengan tenaga sendiri."

"Briona anak baik!" Aldea mengelus kepala Briona. "Aku pasti akan mendukungmu!" ucapnya yang dibalas senyuman dari Briona.

"Sebentar lagi, kita akan tiba di Stasiun Sapphire Blue. Bagi yang akan turun, mohon bersiap-siap. Hati-hati jangan sampai ada barang yang tertinggal." Terdengar suara speaker yang memberitahu bahwa mereka sudah hampir tiba di tujuan mereka.

"Ayo, kita mendekat ke pintu!" ajak Aldea.

Briona pun beranjak dari kursinya. Tak lama kemudian mereka sudah keluar dari Stasiun Sapphire Blue. Tinggal berjalan sekitar 10 menit, mereka pun tiba di Rambut Gadis.

Rambut Gadis adalah nama restoran kesukaan kedua sahabat itu. Restoran ini menyajikan segala macam dan merk mie instan dari seluruh dunia. Bahkan bisa minta dibuat jadi makanan tertentu, misalnya omelet mie, sosis gulung mie, dan lain-lain.

Aldea memesan mie instan dari Jepang, Nissin Ramen. Sedangkan Briona, selalu memesan mie kesukaannya yaitu Indomie.

"Hmmm!! Enak! Rasanya rasa sedihku saat ditolak 2 kali mulai menghilang! Aku bisa melupakan hari ini!" seru Briona sambil menyeruput mie-nya dengan intens.

"Maksudnya kamu lupa apa yang kamu harus lakukan untuk revisi?" tanya Aldea.

"Iya. Hehe."

Aldea menepuk dahinya. Kalau Briona terus begini, bisa-bisa mereka tidak bisa wisuda bareng.

Tetapi ia tahu, Briona seperti ini karena sedih. Ditolak lebih dari 8 kali di setiap perusahaan yang ia lamar, menghancurkan kepercayaan dirinya. Bahkan revisiannya pun berkali-kali ditolak karena selalu ada yang salah. Briona merasa dia tidak punya harapan untuk maju.

Aldea merogoh tasnya dan mengeluarkan sebuah pamflet. Ia memberikannya pada Briona.

"Briona. Lihat ini," kata Aldea.

"Hmm?? Ahphaah?" balas Briona dengan mulut penuh mie.

"Telan dulu makananmu!!"

Dengan terpaksa Briona melakukan hal yang paling ia benci, menelan mie-nya.

"Apaan?" tanya Briona setelah mulutnya kosong.

"Lihat ini," Aldea memperlihatkan pamfletnya.

"Hm? SUCC, Stand-Up Comedy Competition. Let's serve the best laugh! Pendaftaran mulai tanggal ... lalu ... uh, kompetisi ini diselenggarakan oleh Tate TV?" Briona membaca skimming pamflet tersebut.

"Bagaimana? Coba saja ikutan!"

Briona mengaduk mie-nya dengan lesu. "Hmm... Bagaimana ya? Tahun lalu aku pernah coba daftar kan? Lalu ya... gagal. Aku nge-bomb. Aku tidak yakin bakal bisa melakukannya."

"Ayolah, Briona! Setelah itu, kamu masih menerima tawaran untuk perform stand up comedy di acara-acara kampus kan? Semuanya sukses! Tidak ada bom! Kamu pasti bisa!"

Briona hanya diam menerawang jauh.

"Lalu, kamu juga masih aktif di komunitas stand-up Kota Sieraden kan? Pasti teman-teman di komunitas sudah mengusulkanmu ikut kompetisi ini!" lanjut Aldea. "Kalau bisa memenangkan kompetisi ini, kamu bisa jadi komika profesional!"

"Memang sih... Bahkan ketua komunitas saja sampai menerorku agar mendaftar di kompetisi itu," pikir Briona. "Tapi, menjadi komika ... "

"Waktu pendaftaran masih ada 2 minggu lagi. Selama 2 minggu itu, kamu bisa berlatih. Tenang saja, aku akan membantumu," ucap Aldea lagi.

"Aldea, kenapa kamu baik sekali sih? Aku akan menyayangimu lebih dari Indomie," kata Briona dengan puppy eyes-nya.

"Uh, aku tidak tahu harus merasa senang atau tidak," Aldea memutar bola matanya. "Jadi? Kamu mau ikut?"

Briona kembali terlihat lesu. Ia hanya diam tidak menjawab pertanyaannya.

"Maa, kamu bawa saja dulu pamflet ini. Kalau kamu ingin mendaftar, beri tahu aku. Semua akan kuurus. Kamu tinggal say "yes"."

Aldea mengambil tas Briona dan memasukkan pamflet itu ke dalamnya. Briona tak sempat mencegah sahabatnya.

"Lagipula, siapa tahu rezekimu bukan bekerja di perusahaan, tetapi memenangkan kompetisi ini. Kalau kamu menang dan terkenal, kamu bisa menghasilkan lebih banyak uang dari pegawai kantor biasa," ucap Aldea sambil mengedipkan sebelah matanya.

☆☆☆

Malam harinya, Briona masih memikirkan tawaran sahabatnya. Ia merenung di kamarnya. Mulutnya sibuk mengunyah kacang dan tatapannya kosong. Haruskah ia mencoba lagi ikut kompetisi itu? Tapi, ia kan maunya bekerja di perusahaan, bukan menjadi komika.

"Hrrrrrr!!! Krrrr!!"

Terdengar suara protes ferret peliharaannya, Ruchi. Hewan lucu berbadan panjang itu mencakar-cakar tangan Briona yang sejak tadi mengambil makanan Ruchi dan melahapnya sendiri.

"Ah, maaf Ruchi! Ternyata aku malah memakan makananmu. Kukira aku makan kacang. Pantas saja rasanya aneh," ucap Briona sambil mengangkat tubuh panjang hewan peliharaan kesayangannya.

"Hrrrr?" Ruchi seperti bertanya sesuatu pada Briona.

"Hmm, aku sedang sedikit bingung," balas Briona sambil memeluk Ruchi. "Aldea menawarkanku untuk ikut kompetisi stand up comedy, tapi aku tidak percaya diri."

"Hrrrrrrrr?"

"Habisnya, aku merasa yakin kalau apa yang kulakukan pasti akan berakhir dengan kegagalan."

"Hrrrr. Hrrrr."

"Aku tahu aku tidak boleh berpikiran begitu. Tapi kenyataan ini membuatku berpikir seperti itu."

"Hrrrr?"

"Hmm... Sebenarnya aku ingin ikut. Perform stand-up comedy adalah salah satu hobiku. Menulis materi stand-up itu sangat menyenangkan. Apalagi kalau bisa dapat kesempatan perform di panggung semegah itu. Acara itu diselenggarakan oleh Tate TV. Sudah pasti panggungnya megah!"

"Hrrr!! Hrrr hrrrrrrr."

"Eh? Lebih baik aku ikut?"

"Hrrr. Hrrrrr!"

"Tidak perlu memikirkan kemenangan? Yang penting tampil saja?"

Ruchi lalu melompat ke atas meja belajar Briona dan mengambil pamflet itu. Ia menggigitnya lalu kembali ke sisi Briona.

"Hrrrrrrr," Ruchi memberikan pamflet itu.

"Ah, benar! Setiap penampilan akan mendapat royalti asalkan penampilan peserta boleh ditayang ulang di seluruh media penyiaran milik Tate TV! Lumayan juga!"

"Hrrrrrr!"

"Benar! Kalau video penampilanku diupload di sosial media Tate TV, setidaknya aku bisa dikenal banyak orang! Itu akan memudahkanku mengatakan apa prestasiku saat wawancara kerja!"

"Hrrr!!" Ruchi melompat-lompat senang.

Briona menatap pamflet yang ada bekas gigitan Ruchi itu. Senyum berkembang di wajahnya.

"Hmm... Mungkin aku lebih baik ikutan?"

●●●

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro