Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

9. Inilah yang terjadi!

Ana segera memapah Rio dengan susah payah menuju sebuah sofa. Ia membaringkan Rio dan panik harus melakukan apa, "gimana ini? Gue harus ngapain?"

Ana pun teringat sesuatu lalu segera merogoh hpnya, "ambulan! Nomornya? Nomornya?"

Ana bergetar dan berusaha mengutak-atik hpnya. Rio yang masih memiliki sedikit kesadaran, ia segera memegang tangan Ana. "A..na.."

Ana menoleh dan segera berjongkok, "Rio.."

Rio tampak tersenyum menahan sakit, "nggak pa..pa.."

"Rio.. tunggu, aku telpon ambulan dulu," ujar Ana sambil menangis lalu melihat hpnya kembali.

"Nggak..usah!" seru Rio sambil mulai duduk. Ana pun segera meletakkan hpnya dan membantu Rio duduk.

"Kamu.. bisa ambilkan perban?" pinta Rio. Ana mengangguk cepat dan segera beranjak mengambil kotak obat.

Ana pun segera mengobati Rio dengan obat seadanya dan diikat perban. Ia melakukannya dengan terus menangis. Rio mengusap air mata Ana, "maaf, aku baru kembali!"

Ana mendongak dan lidahnya terasa kelu. Ia hanya menangis dan menangis. Rio mengusap kepala Ana dan memeluknya. Tak lama kemudian, Rio berbaring dan tidur. Ana segera menghubungi dokter yang bisa dipanggil dan memeriksa Rio.

"Gimana dok? Apa perlu ke rumah sakit?" tanya Ana dengan cemas.

"Sebenarnya perlu, tapi pasiennya menolak. Ya sudah, untuk sementara begini dulu tidak apa, tapi kalau ada apa-apa cepat hubungi saya. Takutnya kalau dia kena infeksi bisa berbahaya!" ujar dokter panjang lebar. Ana mengangguk lalu mengantar dokter keluar.

Di luar, Ana menelpon Mike.

"Ana? Kenapa?"

"Mm, Mike besok gue cuti ya!"

"Kenapa?"

"Mm, sorry. Tapi gue belom bisa cerita."

"..."

"Lu marah?"

"Nggak. Ya udah, lu istirahat aja gapapa. Kalo lu ada apa-apa, jangan segan-segan! Hubungi gue, oke?"

"Iya. Makasih, Mike!"

Ana menutup teleponnya dan berbalik, ia melihat Rio berdiri di depannya.

"Siapa?"

"Ah! Atasanku, aku ijin nggak masuk!" jawab Ana sedikit canggung.

"Oh.."

"Jangan di luar, ayo masuk!" ajak Ana kembali masuk ke dalam. Ia memapah Rio dan duduk di sofa.

"Ana.. maafin aku..," ucap Rio dengan sedih.

"Kenapa kamu minta maaf?" tanya Ana bingung.

"Karena aku.. telah membunuh lagi!" ucap Rio dengan suara tercekat.

***

2 tahun yang lalu...

Tampak seorang dokter menutupi seseorang dengan kain putih. Ia menunduk ikut bersedih lalu memberi kode pada suster untuk membawa orang itu ke sebuah ruangan yang lain. Dokter itu berpamitan pada orang-orang yang berkumpul dan saling menangis di sana, menyusul suster yang telah membawa orang yang tidak bernafas lagi itu.

Sesampainya mereka tiba di sebuah ruangan yang dingin, dokter mengecek label nama yang ada di tempat tidur itu. Kemudian ia memanggil suster itu dan berbincang di dekat pintu. Tiba-tiba mata suster itu terbelalak sambil menunjuk ke arah tempat tidur orang yang baru saja di bawa ke ruang itu. Dokter itu pun menoleh dan terlonjak. "A-apa itu?"

Dokter itu segera mendekatinya dengan takut-takut. Ia membuka kain yang ditutup tadi dan melihat wajah pucat itu menggerakkan saraf wajahnya. Mata dokter itu terbelalak, ia segera mengeluarkan stetoskopnya dan memeriksa tubuh orang itu.

"Ba-bagaimana dok?" tanya suster ragu-ragu.

Dokter menoleh dengan mata berbinar, "sebuah keajaiban terjadi! Kasus langka, tapi ini sungguhan!"

"Eh?"

"Kamu segera panggil dokter John, bilang padanya kita mendapat sebuah kasus. Kasus mati suri!"

"Mati suri? Aku?"

***

"Mati suri?" tanya Ana bingung sambil memijat tangan Rio.

Rio pun mengangguk, "iya. Mati suri, artinya aku memang sempat dinyatakan meninggal, waktu itu detak jantungku berhenti. Tapi, jantungku kembali berdetak dan aku hidup lagi."

"Terus? Kok aku nggak tau kamu idup lagi? Padahal aku kan juga masih di sana," tanya Ana masih bingung.

Rio mengedikkan bahunya, "saat itu.. aku nggak ingat apa yang terjadi selanjutnya. Aku tertidur setelah aku tanya soal mati suri itu."

"Terus.. kamu kemana?"

"Setelah itu, aku menjalani perawatan medis. Aku dirawat dan diisolasi karena dokter bilang penyakitku diuji dengan obat baru," jawab Rio.

"Obat baru? Tapi kamu kok mau aja sih?"

Rio mengangguk, "aku dengar dari mereka kalau keluargaku udah menyetujuinya. Saat itu aku juga nggak bisa langsung percaya, aku berusaha hubungi keluarga tapi nggak diizinin. Katanya sih udah perjanjian."

"Masa sih? Nggak ah, nggak pernah ada yang nyamperin keluarga kamu buat ngasih tau ini!" protes Ana mulai kesal.

Rio memegangi tangan Ana, "aku yang bodoh! Aku percaya gitu aja sama mereka. Apalagi alasannya cukup logis dan lagi aku juga ingin sembuh."

Ana hanya menatap sedih dan memeluknya. "Jadi.. selama ini kamu perawatan? Terus, sekarang gimana?"

Rio tersenyum, "udah sembuh total kok."

Ana balas senyum lalu sedih kembali melihat luka Rio, "belum sembuh tuh!"

"Ah, ini kan lain lagi ceritanya," elak Rio sambil tertawa kecil.

Ting!

Ana mendengar suara mesin cuci berbunyi. Ia pun beranjak berdiri, "bentar ya. Aku angkat cucian dulu."

***

Tampak Ana membawa cemilan dan duduk di samping Rio, "terus-terus gimana? Kenapa kamu nggak pulang?"

"Itu karena.."

Beberapa bulan yang lalu...

Tampak Rio sudah menggunakan pakaian yang rapi dan mengemasi bajunya. Dokter datang dan bertanya, "kamu mau kemana?"

"Mau pulang, dok!" jawab Rio bersemangat.

"Kamu jangan kemana-mana!" larang dokter sambil menyilangkan lengannya.

Rio mengernyitkan dahinya, "kenapa? Saya kan udah sembuh! Dokter sendiri yang bilang kemaren, kondisi saya membaik!"

"Memang, tapi bukan berarti kamu boleh pulang! Ada yang mau bicara sama kamu!" seru dokter itu sambil merogoh sakunya.

"Siapa?"

"Kamu tunggu dulu di sini," perintah dokter lalu pergi meninggalkan Rio.

Rio yang tak sabaran, ia pun mulai mengendap-endap keluar. Ia tak sengaja mendengarkan pembicaraan 2 suster.

Suster cantik berkata pada suster gemuk, "kasihan banget lho si Rio itu! Padahal masih muda, ganteng pula!"

"Iya bener! Kasian diboongi! Apalagi keluarganya, nggak tahu kalo dia masih hidup, ckckck," balas suster gemuk.

Rio pun terpancing emosi dan mendekati 2 suster itu, "apa maksud kalian? Kenapa keluarga saya nggak tahu?"

2 suster pun mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Rio yang penasaran pun mengguncangkan tubuh mereka, "kasih tahu, kenapa hah?"

Keributan pun terjadi, satpam datang untuk menahan Rio. Rio berteriak-teriak dan meronta-ronta. Tak lama kemudian, ada seorang dokter paruh baya datang di hadapannya, "akulah yang membawamu ke sini!"

Dokter itu membawa Rio kembali ke kamarnya. Dokter itu pun berdiri di hadapannya dan memperkenalkan diri, "aku adalah direktur rumah sakit ini. Namaku.. Ken Wijaya!"

***

"Ken Wijaya? Direktur rumah sakit pusat Jakarta? Berarti dia.. ayah Mike dong?" tanya Ana mencoba memikirkan.

Rio mengangguk, "iya, ayah dari atasan kamu."

Ana menoleh Rio bingung, "kamu kenal sama Mike?"

Rio menggeleng, "nggak, tapi aku tahu dia siapa."

Saat Rio bertemu Ken Wijaya..

"Kamu bohong ya? Keluargaku nggak ada yang tau soal aku?" tanya Rio marah pada direktur Ken.

"Memang. Tapi kamu sudah aku selamatkan, sekarang kamu harus balas budi padaku!" ujar direktur Ken menatap Rio lekat-lekat.

"Balas budi apanya? Dokter udah bohongi aku! Aku nggak mau!" tolak Rio mengalihkan pandangannya.

"Oh gitu.. walaupun keluargamu dalam bahaya?" ancam direktur Ken dengan santai.

Rio menoleh dan mengernyitkan dahinya. Direktur Ken menambahkan, "atau.. pacarmu? Ana kan namanya?"

"Sial! Kenapa kau bisa tau?" tanya Rio sambil berdiri dan menarik kerah direktur Ken.

"Apa kamu tau? Anakku Mike itu lagi dekat sama Ana lho. Jadi..," ujar direktur Ken mulai menyeringai, "bisa kapan aja aku melukainya!"

Rio tampak marah namun tertahankan. Dia takut, jika ia teruskan, orang-orang di sekitarnya bisa dalam bahaya. Ia melepaskan kerahnya, "jadi.. apa maumu?"

***

"Terus kamu nurut sama dia?" tanya Ana tak percaya.

Rio mengangguk, "aku nggak mau kehilangan orang-orang terdekatku. Apalagi kamu!"

Ana pun mulai berkaca-kaca menatap Rio. Rio segera merangkulnya dan mencium kepala Ana. Ia mengusuk-ngusuk lengan Ana.

"Maaf, gara-gara aku.."

"Kamu nggak salah kok, direktur itu yang salah!" ujar Rio mulai kesal.

Ana mendongak, "terus pak Ken minta apa?"

"Dia.. minta aku untuk membunuh orang. Aku dijadikan seperti pembunuh bayaran baginya. Aku hanya di beri sebuah foto dan aku harus membunuh mereka," ujar Rio dengan nada lirih.

Ana bergerak mundur, "kamu.. bunuh mereka?"

Rio diam saja menatap Ana. Ana menelan ludahnya, "kenapa? Kenapa kamu lakuin itu lagi?"

Rio menggeleng, "aku.. aku nggak membunuh mereka."

"Eh?"

"Ng.. tepatnya untuk dua target pertama," balas Rio menunduk.

"Maksudnya?"

"Iya. Aku nggak bisa membunuh mereka. Aku inget, sama janji aku. Aku nggak akan bunuh orang lagi, jadi aku nggak bunuh mereka!" ujar Rio berusaha meyakinkan.

"Jadi kamu nggak bunuh? Tapi.. mereka tetep jadi korban kan?" tanya Ana ragu-ragu.

Rio mengangguk, "bener kok. Aku nggak bunuh mereka. Aku sengaja lepasin mereka, terus aku bilang sama direktur kalo aku gagal. Aku bilang aja kemampuanku ilang!"

"Terus dia percaya?"

Rio mengangguk, "awalnya sih gitu. Terus aku disuruh bunuh lagi dan aku melakukan hal yang sama."

"Hmm gitu.. eh tapi, aku nemuin jepit sama foto kita di TKP! Itu.. kamu yang taruh?" tanya Ana tiba-tiba ingat.

"Iya, aku yang sengaja taruh. Aku harap kamu bisa nemuin aku, aku frustasi. Aku pengen berhenti, tapi aku juga takut kamu kenapa-kenapa," ujar Rio sambil melihat Ana dengan sedih.

"Rio..," Ana memegangi pipi Rio merasa iba.

"Terus.. aku nggak ingat apa-apa," sambung Rio.

"Nggak ingat?"

"Iya. Aku cuma ingat waktu itu aku dibekap dan aku pingsan. Setelah itu aku sama sekali nggak ingat apa-apa. Sampai akhirnya aku..," ujar Rio dengan suara tercekat lalu melihat tangannya dan leher Ana.

Ana mengerti maksudnya, jantungnya berdegup kencang mengingat kejadian itu. Dengan menyembunyikan rasa takutnya, ia memegangi tangan Rio. "Apa yang sebenarnya terjadi?"

Rio menggeleng, lalu melihat ke arah tv yang tidak menyala, "tapi.. sepertinya aku yang melakukannya. Akulah pembunuh itu."

Ana menggeleng cepat, "nggak, nggak! Pasti bukan kamu!"

"Tapi kamu inget kan, apa yang terjadi sama kamu?" tanya Rio, "lagi pula.. mereka telah menargetkanmu!"

"Aku?"

"Ya, sebelum aku ke sini, mereka menyuruhku membunuhmu. Tapi karena aku sudah ingat siapa dirimu, aku menolaknya," ujar Rio sambil memegangi pipi Ana.

"Rio.."

Ana mulai meneteskan air mata. Mereka pun saling berpelukan dalam kesedihan. Ana mendongak, "tapi.. aku senang kamu kembali, Rio.."

"Oh ya!"

"Apa?"

"Kamu.. jangan dekati Mike lagi ya," larang Rio dengan wajah serius.

"Tapi.. Mike itu udah kek sahabat aku, yang! Dia nggak jahat kok," ujar Ana membela sahabatnya.

"Please, sayang!" ujar Rio sambil memegangi tangan Ana, "demi aku. Jauhi dia. Aku takut.. terjadi sesuatu sama kamu!"

Ana tampak bingung tapi akhirnya mengangguk juga, "ya udah. Aku coba."

***

Tampak Mike dan seorang pria berjas putih sedang berbincang di depan sebuah lab.

"Gimana, bro? Dapet?" tanya Mike penasaran.

Pria di hadapannya membawa sebuah dokumen dan memberikannya pada Mike, "susah tau! Jangan bikin gue melakukan hal kek gini lagi! Kalo ketauan, gue bisa dipecat!"

"Iye.. makasih bro!" kata Mike sambil menepuk lengan pria itu.

Pria itu memegangi dagunya, "ternyata..memang benar ada kesalahan. Di situ ada dua berkas, yang satu asli satunya palsu."

Mike membuka dokumen itu lalu membacanya, "jadi.. maksudnya kematian Rio dipalsukan?"

Pria itu mengangguk, "tepat banget! Ada yang sengaja mengubah dokumen aslinya!"

"Siapa?"

"Mana gue tau, itu mah urusan detektif," balas pria itu mengedikkan bahunya.

"Emangnya nggak bisa lu cari tau?" tanya Mike.

"Sorry bro, gue angkat tangan! Terlalu berbahaya!" tolak pria itu mengangkat kedua tangannya.

"Yaelah.. kurang info nih kalo gini doang!" gerutu Mike.

Pria itu memiringkan mulutnya, "gue tau lu pasti begitu! Makanya, untung gue dapet tambahan info!"

"Apa tuh?"

"Jadi dua tahun yang lalu, ada proyek rahasia. Ini gue denger dari salah satu suster di sini, susah banget cuy dapetin info dari dia," curhat pria itu.

"Lama! Lanjutin!" ujar Mike sambil menepiskan tangannya merasa tak sabaran.

Pria itu cemberut sebentar, "ada proyek pengembangan obat baru untuk obat kanker pankreas."

"Pankreas?"

"Iya, dan gue tahu si Rio itu punya penyakit kanker pankreas. Jadi gue bisa ngira-ngira, obat itu mungkin buat Rio," balas pria itu.

"Maksudnya kayak.. dijadiin objek percobaan gitu?" tanya Mike lagi. Pria itu mengangguk.

Siapa ya kira-kira? Apa gue tanya bokap aja? Tapi..

Bersambung~

Published 25 Maret 2019

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro