Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

9 | Elio

Aku berjalan memasuki kedai kopi kecil bergaya industrial. Di area outdoor-nya terdapat banyak tong yang disulap jadi kursi, sedangkan mejanya terbuat dari kayu solid yang dilapisi pernis. Di salah satu pojok dekat kasir, aku melihat wajah-wajah familier, teman-temanku waktu kuliah. Langsung saja aku menghampiri mereka.

"Hampura (maaf) euy, telat," ujarku. Aku mengepalkan tangan dan melakukan fist bump dengan mereka secara bergantian.

"Santai weh, El," balas temanku yang bernama Tio, cowok pendek dengan rambut gondrong sebahu.

"Udah pesen?" tanyaku.

"Udah, El." Tio mengangkat satu cup plastik yang berisi minuman kopi. "Pesen heula (pesan dulu). Langsung weh ke kasir."

Aku langsung ke kasir, pesan es kopi susu, terus balik ke meja. Tadi kasirnya bilang, pesananku akan diantar sekitar lima menit lagi.

"Si Zaki mana?" tanyaku.

Tio terbahak. "Si Zaki mah, suami takut istri! Kayaknya enggak dibolehin nongkrong. Kalaupun nongkrong, bininya pasti ngikut."

"Si eta (si dia) mah, perkara beli PS 5 aja kudu izin dulu ke bininya. Urang (aku) mah, asal ada duit, tinggal beli." Cowok kekar yang sering nge-gym di sebelahku menimpali sambil tertawa. Namanya Banu.

"Maneh (kamu) kapan nyusul si Zaki, El?" ledek Tio.

"Nyusul punya bini? Halah! Si Zaki aja takut sama bininya," kilahku.

"Nyarinya beta woman lah, El, biar maneh bisa jadi alpha-nya!" ujar Banu, "urang sama Tio udah punya calon. Maneh masih betah ngejomlo aja sampai sekarang."

Aku nyengir sambil meringis. Emangnya nikah gampang? Tinggal cap-cip-cup milih, terus langsung dapet istri? Kalau aja mereka tahu aku ketemu orang yang mirip masa laluku, aku pasti diledekin abis-abisan. Lagi pula, belum tentu Luna mau sama aku.

Beberapa jam terlewati, kami sibuk bernostalgia sambil minum es kopi susu dan ngunyah gorengan. Ada onion ring, french fries, dan spicy wings. Kalau dipikir-pikir kami kayak bapak-bapak enggak, sih? Bedanya bapak-bapak minum kopi hitam sama makan gehu.

Oh iya, Tio juga cerita, dia sempat ngerekomendasiin jasa fotografiku ke kenalannya yang punya bisnis distro. Ternyata, orangnya tertarik pakai jasaku. Ini yang paling kusukai dari bersosialisasi. Ngejaga relasi sama orang-orang terdekat kadang mendatangkan rezeki yang enggak terduga. Cuma modal segelas kopi pas nongkrong, bisa balik modal berkali-kali lipat kalau dapet project.

Obrolan kami makin ngelantur. Awalnya ngobrolin pacar Banu yang boros dan posesif, eh tiba-tiba jadi ngebahas teori konspirasi kalau Billie Eilish lahir di Nganjuk. Katanya Hitler juga asalnya dari Garut. Terus, kami berandai-andai ada di era distopia. Kami enggak usah bangun pagi-pagi buat berangkat kerja, soalnya ada wabah zombi. Kalau lagi asyik sama Tio dan Banu, emang bisa ngomongin hal-hal ngaco dan lupa segalanya.

Oh iya, ponselku. Kira-kira ada yang nge-chat enggak, ya? Misalnya ... Luna? Ngarep kamu, El!

Aku merogoh saku, mengambil benda pipih itu. Di layar ponsel, ada puluhan notifikasi panggilan tidak terjawab dari Bapak, Ibu, dan Teh Nadya. WhatsApp-ku juga dibombardir banyak pesan. Tiba-tiba rahangku menegang dan senyumku hilang. Kucek satu per satu pesan yang masuk ke ponselku sejak dua jam lalu.

Bapak
Elio
Kapan pulang?
Ibu lagi arisan di rumah Bu Erna
Bapak enggak tahu harus minta tolong siapa lagi

Ibu
Elio, di mana?
Bapak jantungnya kumat waktu Ibu lagi pergi
Tadi dadanya sempat nyeri terus keringat dingin
Ibu OTW rumah sakit sama Bapak
Rumah kosong, ya. Bawa kunci, 'kan?
Kalau bisa cepat nyusul ke RS

Teh Nadya Jelek
P
El, urgent
Buruan ke rumah sakit!
Bapak collapse

Ternyata aku lupa matiin do not disturb! Mau ditelepon atau di-chat ratusan kali juga enggak akan dengar. Waktu aku tiba-tiba berdiri sambil cepat-cepat beresin barang, Tio mendongak dan bertanya, "Kunaon, El? Siga nu kasurupan wae (Kenapa, El? Kayak yang kesurupan gitu)."

"Urang balik tiheula, nya (aku pulang duluan, ya). Urgent," balasku singkat.

"Kamana (ke mana) atuh, El? Magrib aja belum." Banu menimpali dengan nada bercanda.

"Bapak masuk rumah sakit." Raut wajah Tio dan Banu yang awalnya santai ikut menegang waktu dengar jawabanku.

Setelah pamitan, aku langsung tancap gas ke rumah sakit secepat yang kubisa, enggak peduli harus nyalip kendaraan lain. Syukurlah jalanan Bandung hari ini bisa diajak kerjasama. Enggak sampai setengah jam aku sudah sampai rumah sakit di Jalan Dago. Setelah keluar dari parkiran motor, aku ngehubungi Ibu berkali-kali, tapi enggak diangkat.

"Bu ... angkat dong," gumamku sambil berjalan cepat menuju gedung rumah sakit.

Aku beralih nelepon Teh Nadya. Untung aja diangkat. Kakakku bilang Bapak masih ditangani di IGD. Dengan jantung yang berdegup kencang dan keringat yang menetes di dahi, aku memacu langkah cepat menuju IGD, tepatnya ke bilik tempat Bapak dirawat.

"Bapak!" seruku sambil menyibak tirai bilik. Teh Nadya meletakkan telunjuk di bibir, menyuruhku untuk tenang. Bapak berbaring telentang di brankar dengan kemeja yang terbuka, sedangkan Ibu sedang mengancingkannya satu per satu. Masa bodoh kalau aku ribut di IGD yang lagi hening-heningnya. Yang terpenting aku tahu gimana kondisi Bapak sekarang.

"Gimana Bapak? Udah diperiksa dokter belum?" cerocosku.

"Udah kok. Baru aja Bapak di-EKG. Tinggal nunggu hasilnya," jawab kakakku yang mengenakan jilbab warna taupe.

Aku mengembuskan napas lega sambil menyentuh dadaku yang berdebar. Tubuhku kemudian merosot dan berjongkok di lantai. Meskipun terlihat lemah, aku bersyukur Bapak masih bisa menjaga kesadarannya.

Hening. Kami semua nungguin hasil EKG dalam diam. Teh Nadya sempat keluar IGD buat nelpon suaminya, minta tolong buat jagain Si Kembar selama ia enggak di rumah. Tiba-tiba, Ibu menepuk pundakku dan bertanya, "Udah makan belum? Ibu bawa roti."

Aku menekuk wajah dan menggeleng pelan. "Nanti aja, Bu." Di keadaan genting begini boro-boro nafsu makan.

Kemudian, kabar yang ditunggu-tunggu pun tiba. Dokter jaga IGD datang ke bilik kami dan memperlihatkan hasil EKG Bapak. Waktu ngelihat kertas berisi garis-garis naik-turun, aku enggak paham apa maksudnya. Untungnya dokter perempuan berusia sekitar empat puluh tahunan itu berbaik hati mau menjelaskan. Ternyata, ada penumpukan plak di pembuluh darah jantung Bapak, tetapi tingkat kefatalannya masih ringan. Dokter nyaranin Bapak buat rawat inap supaya bisa dipantau dan dirawat lebih lanjut, tetapi Bapak yang notabenenya 'takut dirawat di rumah sakit' nolak. Akhirnya dokter kasih alternatif buat rawat jalan aja. Bapak harus rutin kontrol dan minum obat-obatan di rumah. Beliau pun setuju.

Akhirnya, Bapak diperbolehkan pulang. Teh Nadya pergi buat ngurusin administrasi dan obat yang harus Bapak konsumsi. Tersisa aku dan Ibu di bilik, juga Bapak yang masih terbaring lemah. Rasanya dadaku enggak berhenti berdebar sejak tadi. Aku enggak pernah ngerasa setakut ini seumur hidupku. Aku udah mikir ke mana-mana. Kupikir setelah kebodohanku terlambat ngecek ponsel, aku akan kehilangan Bapak hari ini. Aku pasti ngerasa bersalah banget kalau itu beneran kejadian.

Aku melirik Ibu yang mengelus lembut pucuk kepala Bapak dan bertanya, "Bapak mau makan apa? Nasi tim mau? Sebelum pulang, kita beli dulu di kafetaria rumah sakit, ya."

Bapak menggeleng lemah dengan suara serak. "Bapak belum lapar, Bu. Lagi pula mahal beli nasi tim di sini. Kita cari makanan yang dijual searah jalan pulang aja, ya."

"Walaupun mahal tapi sehat loh, Pak," kata ibuku lirih, "Dokter bilang Bapak harus jaga pola makan dan berhenti merokok biar sakitnya enggak makin parah. Bapak ada riwayat hipertensi juga, 'kan?"

"Telur rebus sama tempe bacem juga sehat kok, Bu." Bapak ngeles.

"Ngerokoknya juga berhenti, ya. Janji sama Ibu!" perintah ibuku.

Sambil mencebik, Bapak menggeleng lagi. "Susah, Bu, kalau soal rokok."

"Ibu harus gimana lagi supaya Bapak mau berhenti ngerokok?" Suara ibuku melemah, kelihatan jelas beliau memohon dengan sepenuh hatinya, tetapi harus dibuat kecewa dengan jawaban Bapak.

"Enggak bisa, Bu, susah," balas Bapak enteng.

Ngelihat sikap Bapak yang keras kepala bikin aku muak. Tanpa sadar, aku ngeluarin ucapan pedas. "Ngerokok aja terus, sampai jantungnya full kesumbat dan enggak ada darah yang bisa ngalir lagi!"

Ibu dan Bapak spontan melirikku sambil membelalakkan mata. Mau dibilang durhaka pun aku enggak peduli. Aku kepalang kesal.

"Apa susahnya sih berhenti ngerokok? Toh, ini buat kesehatan Bapak sendiri! Kalau sakau, tinggal ditahan aja! Lebih baik menderita sebentar daripada sakit-sakitan di masa tua! Percuma Bapak ngerokok di luar rumah supaya asapnya enggak bisa kami hirup. Percuma Bapak selalu ganti baju tiap selesai ngerokok supaya bisa main sama Si Kembar. Kami emang enggak menelan racunnya, tapi Bapak masih terpapar! Kapan Bapak sadar kalau sakit kayak gini tuh yang repot enggak cuma Bapak, tapi Ibu dan Teh Nadya juga! Elio juga!" Nada suaraku kian meninggi.

"Elio, udah, ini IGD ...." Ibu bergerak menghampiri, lalu mengelus kedua bahuku untuk menenangkanku.

"Kalau Bapak udah enggak ada, Bapak mungkin enggak akan sadar. Tapi, yang sedih 'kan kami semua! Bapak mau pergi ninggalin dunia dengan cara egois kayak gini?" Aku berhasil memuntahkan perasaan terdalamku. Kedua mataku memburam. Kugigit dalam mulutku kuat-kuat untuk melampiaskan rasa sedih dan kecewaku terhadap Bapak.

Sosok yang kumarahi enggak merespons, cuma mematung seperti orang tolol. Ibu merengkuhku, lalu mendekap tubuhku erat. Aku mengubur wajah di bahu Ibu dan sekuat tenaga menahan gejolak emosi yang meronta-ronta pengin keluar, soalnya malu-maluin kalau nangis di depan umum. Namun, pertahananku jebol juga. Air mataku membanjiri blus milik Ibu. Kacamataku berubah posisi. Dadaku sesak. Sekarang aku sudah enggak peduli lagi sama rasa malu, yang terpenting emosiku tersalurkan.

Bapak tuh egois banget! Emangnya Bapak enggak mau hidup lebih lama demi keluarganya? Demi aku? Emangnya Bapak enggak mau ngelihat aku nikah? Ngelihat aku punya anak? Ngelihat aku stabil secara finansial dan punya rumah sendiri?

Selama beberapa saat ke depan, yang bisa kurasakan hanya kehangatan Ibu. Tepukan di punggungku terasa damai dan menenangkan. Perlahan-lahan, amarahku memudar. Ibu melepas pelukannya. Aku menunduk, mengusap mataku yang basah, lalu memperbaiki posisi kacamata.

Setelah tangisku mereda, Ibu minta tolong beliin empat porsi nasi tim di kafetaria, soalnya sebelum ninggalin rumah beliau enggak sempat masak makan malam. Bersamaan dengan itu, Teh Nadya kembali. Ia nanya kenapa wajahku kelihatan sembap, tapi aku enggak merespons dan berlalu meninggalkannya.

Sebenarnya, rasa kesalku pada Bapak belum sepenuhnya hilang. Namun, aku sadar enggak bisa terus bersikap kekanakan seperti tadi. Jadi, aku mencoba tenang.

Kedua kakiku terus melangkah hingga melewati area poliklinik, tempat para dokter spesialis praktek. Sekitar lima meter dariku, salah satu pintu ruang praktek terbuka dan aku menangkap sosok yang familier. Rambut panjang kecokelatan .... Tunggu. Itu Luna, 'kan?

Kedua kakiku otomatis berhenti. Setelah sosok itu berbalik dan aku bisa melihat seluruh wajahnya, ternyata dugaanku benar. Luna berjalan menelusuri lorong yang berlawanan dengan arah ke kafetaria. Aku berbalik dan membaca tulisan di pintu ruang praktek tadi.

dr. Elizabeth Martha, Sp.KJ. Spesialis Kejiwaan.

Hah? Ngapain Luna di poli jiwa?

Kepo? Jelas! Aku mendadak lupa apa tujuanku ke kafetaria. Seperti dipengaruhi medan magnet, kedua kakiku berjalan dengan sendirinya mengikuti cewek itu.

Dukung Serene Night dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟

29 Juni 2024

*****

Akhirnya ketahuan juga Luna sakit apa😌 Yang kemarin nebak mental issues, kurang lebih kalian benar!

Oh iya, kalian lebih suka aku selipin foto visual para tokoh di cerita ini atau lebih suka bayangin sendiri sesuai imajinasi kalian?

Sebenarnya aku tuh udah punya bayangan sendiri di kepala, Elio tuh kayak gimana, Luna kayak gimana, tapi enggak tahu apa kalian bisa cocok sama imajinasiku atau enggak😂 Makanya aku tanya, kalian lebih suka ada visualnya atau enggak.

Yang lebih suka bayangin sendiri, kasih tau aku dong selama ini kalian ngegambarin Luna sama Elio tuh kayak gimana? Kalian punya public figure yang visualnya menggambarkan mereka banget enggak?

Kalau aku sih bayangin Elio kayak gini matanya ....

Bisa nebak enggak ini siapa?

Oke, sampai jumpa di bab-bab selanjutnya! "KAK, ADEGAN FLUFFY-NYA MANA???" SABAR YA, aku perlu nge built-up character mereka dulu😭

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro