7 | Luna
Aku menghela napas dalam-dalam ketika Kak Elio mengajakku bertemu lagi. Ketika aku meminta untuk mengirimkan foto-fotonya lewat Drive, ternyata hal itu tidak memungkinkan. Di akhir pekan, aku lebih ingin berdiam diri di rumah daripada bersosialisasi. Namun, mau bagaimana lagi? Aku membutuhkan foto-foto itu.
Sampailah aku di sebuah kafe yang letaknya di area utara Kota Bandung, tempat kami janjian bertemu. Hari ini Sabtu, nyaris jam makan siang, tetapi kafe belum penuh. Aku masuk, mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan untuk mencari Kak Elio. Orang yang kucari duduk di sofa dekat jendela dan melambaikan tangan padaku. Hari ini cowok itu tampak rapi dengan sweater turtleneck berwarna beige dan celana bahan berwarna cokelat muda. Jam tangan kulit menghiasi pergelangan kirinya.
"Maaf, Kak, udah lama nunggu?" tanyaku setelah meletakkan ransel dan duduk di sofa yang berhadapan dengan tempat Kak Elio duduk.
"Enggak kok. Aku juga baru dateng," jawabnya. Ia pun menyerahkan buku menu padaku. "Ini. Pesan dulu."
Aku memindai cepat buku menu dan langsung ke bagian minuman. "Milkshake cokelat aja, Kak." Sebelum berangkat, aku makan berat terlebih dulu supaya tidak mengeluarkan uang terlalu banyak. Kupanggil pelayan untuk mencatat pesananku.
Di tengah keheningan menunggu pesanan datang, Kak Elio meletakkan hardisk eksternal berwarna hitam di meja dan memberikannya padaku. "Ini, Lun. Tinggal di-copy aja foto-fotonya."
"Oke, Kak. Makasih." Aku mengeluarkan laptop dari dalam tas dan meletakkannya di meja. Ketika kutekan tombol power, terdengar bunyi mesin yang sedang bekerja keras untuk tetap hidup. Ibaratnya, fisik benda elektronik ini seperti kakek-kakek berusia delapan puluh tahun, tetapi kupaksa bangun untuk untuk lari maraton. Aku malu setengah mati. Padahal, kafe sedang hening-heningnya. Kak Elio pasti ngerasa kasihan sama aku.
"Maaf, Kak, laptop jadul. Udah butut," ucapku sambil tertawa canggung.
Kak Elio tertawa. "Santai aja kali."
Setelah benda elektronik itu memasuki Windows, aku menghubungkan kabel data hardisk ke lubang USB. Butuh waktu beberapa belas menit untuk mentransfer semua foto ke laptopku. Setelah selesai, kukembalikan hardisk tersebut pada pemiliknya. Bersamaan dengan itu, pesanan kami pun datang—segelas milkshake cokelat, lalu sepiring chicken cordon bleu dan segelas peach tea.
Sambil menikmati makan siang, Kak Elio bertanya, "Luna pernah denger tentang content pillar, nggak?"
Aku berpikir sejenak sambil menyeruput milkshake cokelat. "Pernah denger, tapi enggak tau maksudnya apa."
"Gini." Kak Elio memutar posisi laptopku agar kami berdua sama-sama bisa melihat layarnya. "Zaman sekarang, nyaris semua brand kuliner punya Instagram. Akses internet sekarang gampang, semua orang main medsos, dan brand memanfaatkan hal itu buat promosi produknya. Sekarang, Instagram jadi salah satu media terbesar buat promosi bisnis di Indonesia, soalnya penggunanya banyak. Di antara banyaknya brand kuliner, bisnis kita bisa tenggelam kalau enggak bisa stand out. Gimana supaya akun bisnis kita bisa stand out, menarik, dan bisa menjangkau banyak orang? Salah satunya dengan menerapkan content pillar ke dalam konten-konten kita."
Butuh waktu yang lama untuk mencerna penjelasan Kak Elio, kemudian aku sadar kalau perkataannya ternyata belum selesai.
Cowok itu membuka Chrome dan mengunjungi akun Instagram Délice Cake and Pastry. "Kalau kuobservasi, konten-konten di Instagram Délice hampir semua adalah foto katalog dan testimonial pelanggan. Luna butuh bikin konten lain agar akun Délice bisa growth, menjaring pelanggan-pelanggan baru, dan mempertahankan pelanggan lama supaya ketergantungan mau beli terus. Kalau cuma upload foto katalog aja, jadinya ngebosenin dan orang-orang enggak akan tertarik mampir, comment, atau bahkan beli produknya. Foto katalog itu sifatnya satu arah dan enggak bisa bikin kita interaksi sama pelanggan."
"Kenapa satu arah?" tanyaku.
"Karena cuma ngasih tahu 'oh, di Délice ada produk ini', selesai, enggak ada call to action buat beli atau sekadar berinteraksi sama pelanggan. Brand kuliner yang 'enggak manusiawi', artinya cuma mementingkan diri sendiri, enggak berinteraksi dengan pelanggannya, enggak akan bisa growth."
Aku manggut-manggut.
"Coba bayangin. Kalau misalnya Luna mau beli sesuatu, lebih enak beli ke toko yang penjaganya nyambut dengan ramah, enggak sungkan ngejelasin produknya secara lengkap kalau kita nanya, pokoknya bikin nyaman deh, atau ke toko yang penjaganya cuma diam di kasir, ngebiarin kita kebingungan milih produk sendiri, dan cuma ngelayanin kita pas pembayaran aja?"
"Yang pertama, sih," jawabku. "Emangnya content pillar itu ada berapa? Aku harus bikin konten yang kayak gimana?" tanyaku lagi.
"Aku jelasin satu-satu ya. Pillar pertama tuh product knowledge, tujuannya buat ngasih informasi produk ke pelanggan, contohnya foto-foto katalog dan pricelist yang sudah Luna upload. Kedua, konten engaging atau entertainment, tujuannya buat lebih akrab sama followers. Gampangnya sih, supaya orang-orang mau like, follow, comment, atau share. Contohnya kayak meme, QnA, atau konten-konten hiburan relatable yang trending di TikTok."
Alisku berkerut. "Kalau like dan follow sih bisa dibeli. Ngapain susah-susah, Kak?"
Kak Elio menggeleng. "Enggak, Lun. Kebiasaan beli followers bisa bikin akunmu kena suspend. Kalau yang ngasih impresi adalah akun-akun asli, alias orang beneran, bukan bot, akunmu bisa growth. Kalau udah growth, selain followers naik, akunmu akan menjangkau banyak orang yang berpotensi menjadi pelanggan Délice di masa depan."
Aku manggut-manggut lagi. "Kukira, akun bisnis kuliner yang punya followers ratusan ribu, itu karena tokonya sudah terkenal duluan. Ternyata bisa sebaliknya, ya? Jadi, terkenal dulu di Instagram, baru tokonya ramai?"
"Bener banget." Kak Elio menjentikkan jari. "Nah, lanjut ya? Terakhir ada pillar educational. Mungkin Luna bisa kasih edukasi yang berhubungan sama produk yang dijual. Misalnya, Luna ngejual croissant rasa cokelat, nanti bisa banget bikin konten soal manfaat cokelat bagi kesehatan. Kalau informasinya menarik dan bermanfaat, biasanya mereka otomatis nge-follow, bahkan bisa jadi pelanggan potensial juga di masa depan." Kak Elio mengakhiri penjelasannya.
Karena aku diam dan masih berusaha mencerna, cowok itu pun bertanya, "Bingung, enggak?"
Aku mengangguk tanpa dosa, kemudian Kak Elio membuka akun bisnis kuliner lain, yaitu kompetitor berat Délice Cake and Pastry. Bisnis ini berdiri baru sekitar lima tahun, tetapi sudah menjadi toko pastry paling viral di Kota Bandung. Kak Elio menunjukkan beberapa contoh konten yang kompetitor unggah, kemudian menjelaskan content pillar yang dipakai.
Konten-kontennya memang variatif. Sebelumnya, aku tidak sadar kalau semua ini ada ilmunya. Wajar saja jika kompetitor kami namanya bisa melejit. Selain adminnya yang berperan aktif untuk berkomunikasi dengan followers, semua konten yang diunggah pun menarik. Tanpa sadar, orang-orang akan menekan tombol like, memberi comment, atau bahkan share ke orang-orang terdekatnya. Followers akan bertambah, begitu pula orang-orang yang membeli produknya.
"Luna bisa Photoshop?" tanya Kak Elio, dan aku pun menggeleng. "Kalau Canva?"
"Bisa, kok," jawabku dengan percaya diri.
"Foto-foto yang aku kasih bisa diolah jadi bermacam konten kayak gini." Kak Elio menunjuk beberapa konten milik kompetitor di layar laptop. "Coba Luna cari tahu siapa saja kompetitor Délice. Pelajari Instagram mereka. Konten-kontennya, copywriting-nya juga."
"Tapi, Kak, aku enggak ada basic digital marketing. Aku bingung harus mulai dari mana."
"Enggak masalah. Aku juga banyak belajar sendiri, kok." Cowok yang mengenakan kacamata bingkai tipis itu tersenyum. "Kuncinya ngonten itu cuma satu; pede."
Aku tersenyum getir. Masalahnya, aku sendiri pun tidak percaya diri dengan kemampuanku. Belajar bersama dosen di kampus saja ilmunya tidak meresap ke otak, bagaimana kalau belajar sendiri?
Kubuka Google Docs di laptop dan berkata, "Kak, Maaf, tadi penjelasannya bisa diulang? Mau aku catat." Yang terpenting catat saja dulu. Diterapkan atau tidak, itu urusan nanti.
"Enggak usah. Nanti sampai rumah aku kirimin semua catatanku selama belajar optimasi medsos, deh," balas cowok itu santai sambil menggigit potongan terakhir potato wedges-nya.
Aku mendongak ke arahnya dengan mata yang lebih membola dari biasanya. "Eh, serius, Kak?"
"Serius, masa bohong?" goda Kak Elio.
Kami menghabiskan siang hari ini dengan membahas segalanya tentang media sosial. Ketika adzan Asar berkumandang, kami pamit pulang. Di luar dugaan, rupanya mengobrol bersama Kak Elio tidak semelelahkan yang dikira. Mungkin karena aku tertarik dengan topik yang dibicarakan.
Sebenarnya, aku masih ingin bertemu Kak Elio, membicarakan banyak hal tentang apa saja yang bisa dilakukan untuk mengembalikan Délice Cake and Pastry ke masa jayanya. Namun, urusan bisnis kami telah selesai. Foto-foto produk sudah diserahkan dan tidak ada lagi alasan untuk bertemu dengannya. Lagi pula ... Kak Elio itu laki-laki, orang asing pula. Sebaiknya, aku menahan diri untuk berhubungan lebih dekat dengannya, meskipun hanya sebatas partner bisnis.
Karena laki-laki tidak bisa dipercaya, dan laki-laki hanya bisa menyakiti.
Dukung Serene Night dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟
15 Juni 2024
*****
What do you think about this chapter?
Yakin, Lun, cowok cuma bisa nyakitin? Ini Elio udah baik banget loh😌
Anyway, mau minta pendapat dong. Sejauh ini alurnya gimana? Kelambatan, kecepetan, atau pas-pas aja? Aku kadang suka overthinking takut alurnya enggak pas🥲
Aku juga notice minggu ini banyak banget yang mampir ke lapak ini. Aku cuma mau bilang makasih udah ngikutin cerita Luna dan Elio! Semoga kalian betah stay di sini sampai akhir!
Ya udah, sampai di situ aja dulu. Sampai jumpa minggu depan!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro