47 | Elio
Sumpah ya aku marrahhhh banget sama Wattpad. Dari akhir bulan Januari notif update-ku enggak sampai ke notifikasi readers😡
Kalian yang enggak mau ketinggalan update Serene Night atau cerita-ceritaku yang lain please FOLLOW akunku, soalnya tiap update pasti aku bikin pengumuman, buat jaga-jaga kalau ada kejadian kayak gini lagi. Aku ingetin sebelum baca, mumpung inget go go klik follow!😆
*****
| Play and listen to the multimedia for a better experience |
I'll imagine we fell in love
I'll nap under moonlight skies with you
I think I'll picture us, you with the waves
The ocean's colors on your face
I'll leave my heart with your air
So let me fly with you
Will you be forever with me?
*****
Tadi malam aku mimpiin Bapak datang ke kamarku sambil bawa cangkir. Asap tipis-tipis mengepul di atasnya. Waktu SD, aku enggak mau tidur sebelum minum susu cokelat hangat. Biasanya sih Ibu yang rutin bawain susu cokelat tiap malam, tapi enggak tahu kenapa kali ini malah Bapak yang muncul. Anehnya, di dalam mimpi badanku segini-segini aja, enggak menyusut jadi anak umur delapan tahun.
Pas bangun, tiba-tiba aja aku kangen sama Bapak. Mumpung sekarang Sabtu dan kantor libur, aku minta Luna buat nemenin ziarah. Udah tiga bulan sejak Bapak pergi, ternyata makamnya enggak banyak berubah. Kami bersihin ranting dan daun yang berserakan di atas gundukan tempat Bapak tidur, naburin kelopak-kelopak bunga, terus ngirim doa buat Bapak yang udah tenang di atas sana.
"Pak, ini Elio. Maaf baru bisa dateng sekarang. Di kantor lagi hectic banget." Aku ngomong sama batu nisan di hadapanku, ngebaca nama lengkap Bapak, seolah-olah pria itu bisa mendengarku.
"Udah tiga bulan aku jadi budak korporat. Kantornya enggak bohong waktu mereka bilang urgent butuh desainer grafis. Eh, beneran dong, di hari pertama masuk aja kerjaanku udah seabrek! Mana kadang disuruh jadi fotografer juga! Nyesel banget waktu interview aku bilang punya hobi fotografi, akhirnya malah dibabuin sama si Bos!" Aku ngeluh sambil ngebayangin ekspresi Bapak yang bakal ngetawain aku kalau aja beliau beneran bisa dengar.
Aku senyum sambil mendesah pelan. "Tapi enggak apa-apa, setidaknya sekarang Elio udah punya gaji tetap perbulannya, jadi bisa bantu-bantu dikit beli kebutuhan rumah tangga, bisa nabung dan self reward juga. Untungnya enggak tiap hari lembur, jadi enggak terlalu stres."
Lalu aku noleh ke arah Luna dan ngerangkul dia supaya bisa maju sedikit ke dekat makam Bapak. "Waktu itu Bapak bilang mau ketemu Luna, 'kan? Nih, Elio bawa anaknya."
"Om, assalamualaikum." Luna menunduk sedikit. "Saya Luna."
"Cantik 'kan, Pak?" kataku sambil membusungkan dada. Hebat 'kan anak bontotmu bisa macarin cewek secakep ini?
Cewek itu mendesis sambil menyikut rusukku. "Ih apaan sih, Kak? Alay!" Aku pun terkikih.
Aku bermonolog panjang, nyeritain ini-itu ke Bapak. Tentang kerjaanku, tentang Luna, tentang si Kembar, pokoknya hal-hal menarik yang terjadi tiga bulan ke belakang. Enggak kerasa udah lewat setengah jam aku ngoceh dan matahari mulai merangkak naik. Teriknya lumayan membakar kulit dan aku enggak mau Luna kepanasan. Baiklah, sepertinya sekarang waktunya mengucapkan selamat tinggal pada Bapak.
Aku beranjak, lalu narik tangannya Luna supaya dia enggak kesusahan berdiri dari posisi jongkok. Sebelum benar-benar meninggalkan makam, kutatap gundukan tanah di hadapanku dan tersenyum untuk yang terakhir kalinya. "Kami pamit ya? Bapak enggak usah khawatirin Elio di sini. Bapak tidur aja yang nyenyak. Elio bakalan jagain Ibu, Teh Nadya, dan Teh Fira. Nanti Elio pasti datang lagi, cerita segala macam. Moga-moga Bapak enggak bosen dengernya."
Kami langsung berkendara ke rumahku buat seharian maraton series detektif yang lagi hits di Netflix. Lumayan bisa nge-date versi hemat, daripada mahal-mahal nonton di bioskop, 'kan?
Namun, kesenangan kami enggak bertahan lama. Si Kembar yang lagi nginap datang ke ruang keluarga dan memonopoli remote TV, katanya mau streaming kartun yang aku enggak tahu judulnya apa. Enggak peduli juga.
"Nontonnya di tablet Bunda Nadya aja sana! Jangan gangguin Om pacaran!" protesku.
"Enggak mau! Di tablet layarnya kecil, enggak seru!" rengek Keenan.
Luna tertawa kecil. Ia malah ngundang Si Kembar buat duduk di sofa bareng kami. Cewek itu menepuk-nepuk area kosong di sampingnya, Keenan pun merangkak naik dan duduk di sana, sedangkan Keanu maunya dipangku sama Luna. Kurang ajar ini bocah! Aku aja enggak pernah dipangku sama Luna!
Ya iyalah! Kalau kulakuin, aku pasti langsung digampar.
Sambil nonton, sesekali Luna ngebahas alur dan tokoh kartunnya bareng si Kembar. Waktu mereka nanya ini-itu, kayak 'kenapa kulit dia warnanya hijau?' atau 'kenapa ayam dinamain ayam?', Luna pasti jelasin. Kadang-kadang jawabannya kelewat ajaib, tapi masih masuk akal. Akhirnya mereka bertiga ngobrol sendiri. Aku ngerasa jadi alien dari planet lain yang enggak ngerti bahasa mereka.
"Tante Luna bobo di sini ya? Besok kita nonton lagi! Tante Luna baik, enggak suka ngomel-ngomel kayak Om Elio," celetuk Keanu.
"Yeee, sabar, ntar juga Tante Luna bisa bobo di sini sama Om," kataku.
"Kak!" Luna melotot sambil memukul pahaku.
"Kenapa enggak sekarang?" Keanu bertanya dengan polosnya.
"Belum halal," jawabku singkat.
"Tante Luna makanan? Kok halal?" Keenan ikut bertanya.
Hah? Luna ... makanan? Sialan! Otakku jadi mikir ke mana-mana! Aku mengibas-ngibasin tangan di udara. "Ah, udah! Bocah enggak akan ngerti!"
Luna blushing parah kayak kepiting rebus. Dia langsung mengalihkan topik, ngajak si Kembar fokus nonton lagi.
Kalau dilihat-lihat, Luna tuh berbanding terbalik sama aku. Cewek itu bisa langsung akrab sama anak-anak tuyul berisik kayak Keanu dan Keenan, padahal aku aja enggak tahan dengar mereka ngoceh walaupun satu kalimat. Mereka berdua juga enggak ngereog di depan Luna, malah duduk manis dan nyambung kalau diajak ngomong. Kayaknya bocah tuh punya semacam insting. Mereka tahu kalau ada orang yang suka anak-anak kayak Luna, makanya mereka mau membuka diri.
Ngelihat Luna bisa seceria ini waktu bonding sama si Kembar bikin mood-ku otomatis naik. Tanpa sadar aku tersenyum. Luna jadi kelihatan makin cantik. Kalau ini kartun, mukanya auto bling-bling, aura keibuannya langsung keluar.
Enggak kerasa udah sore aja. Teh Nadya nyuruh si Kembar buat berhenti nonton dan mandi. Screen time mereka juga hari ini udah banyak. Si Kembar awalnya enggak mau dan masih betah main sama Luna, tapi kubilang Luna masih stay di sini buat ikut makan malam. Akhirnya, kedua keponakanku itu nurut.
Astaga, si Kembar baru kenal Luna bahkan enggak sampai sehari, tapi posisiku sebagai om langsung kegeser sama Luna? Aku enggak tahu harus senang atau sedih.
Luna pergi ke dapur buat bantu-bantu Ibu nyiapin makan malam, sedangkan aku sibuk di ruang keluarga, ngerapiin mainan si Kembar yang berserakan di sana. Matahari udah sembunyi di balik cakrawala dan langit pun menggelap, seisi rumah kumpul di ruang makan buat ngisi perut. Kursi Bapak yang biasanya kosong sekarang diisi sama Luna. Setidaknya ruang makan hari ini enggak sepi-sepi banget.
Ibu yang lagi berdiri sambil nyajiin piring-piring lauk di atas meja nanya, "Luna doyan udang? Enggak alergi seafood, 'kan?"
Cewek itu menoleh pada Ibu, tersenyum sedikit dan menggeleng. "Enggak kok, Tante. Udang juga suka."
"Luna mah semuanya doyan." Aku yang duduk di sebelah Luna menimpali.
Wajah Ibu langsung cerah. "Bagus dong? Ibu enggak salah masak kalau gitu. Dihabisin semua ya!" Ibu langsung menyendok banyak udang asam manis dan tumis taoge tahu buat Luna, enggak lupa sama dua potong timun tipis-tipis.
Ekspresi Luna langsung berubah, seperti agak panik waktu ngelihat lauk di piringnya udah menggunung setinggi dosa para koruptor di negeri ini. Ditambah lagi porsi nasinya lumayan banyak. Aku pun tertawa geli melihatnya. "Tapi kapasitas lambungnya kayak bocah. Makannya sedikit!" kataku ke Ibu.
"Oh, enggak apa-apa." Ibu akhirnya duduk di kursi, bergabung bersama kami. "Kalau enggak habis bekel aja ke rumah, sekalian bawain buat bundamu."
Luna kelihatan segan, terus cewek itu noleh ke aku.
"Udah, enggak apa-apa, bawa aja ke rumah. Kita juga enggak mungkin ngehabisin semuanya sendiri," kataku.
"Eh, katanya Luna hobi baking ya?" Sambil makan, Teh Nadya mengalihkan pembicaraan.
Habis nyendok udang asam manis, Luna tersenyum dan mengangguk agak semangat. "Iya, Teh. Soalnya aku jualan pastry dan kue-kue basah."
"Délice Cake and Pastry. Itu punya bundanya Luna," kataku sambil mengunyah.
Teh Nadya langsung menganga. "Loh? Serius? Dulu sebelum nikah aku pernah coba pastry-nya, ternyata punyanya Luna? Ya ampun, dunia sempit banget!"
"Ibu juga pernah nyobain kue-kue basahnya. Beneran enak loh, Nad!" puji Ibu.
Teh Nadya langsung noleh ke Luna dengan senyum lebar. "Wah, wah, boleh tuh. Ada menu yang gluten free atau yang less sugar gitu enggak? Buat si Kembar."
"Kalau kue sus kayak yang waktu itu aku bikinin buat Keanu dan Keenan, bisa kok kalau mau request vlanya pakai stevia, tapi harganya beda," jawab Luna.
Kakak perempuanku itu langsung mengernyit. "Hah? Si Kembar belum pernah nyobain kue sus bikinan kamu, kok."
Keanu yang lagi ngunyah noleh ke arah Teh Nadya dengan ekspresi bingung. "Kue apa, Bunda?"
"Kue sus itu yang kayak gimana?" Keenan ikutan nanya.
Luna pun kelihatan bingung, lalu ia noleh ke aku. "Bukannya dulu Kakak pernah beliin setengah lusin kue sus buat si Kembar? Yang COD itu, 'kan?"
Aku garuk-garuk kepala. Waduh, gimana jelasinnya, ya? "Dulu aku pesan kue sus ke kamu supaya kita bisa ketemu. Abisnya aku enggak tau harus pakai alasan apa. Dulu kamu kayaknya anti banget ketemu aku, kecuali ada hubungannya sama dagangan. Ya udah, aku pura-pura pesan kue sus dan ngajak kamu COD. Terus kue susnya enggak aku kasih ke si Kembar, tapi aku abisin sendiri pas sampai rumah."
Ibu terkikih. Teh Nadya ngakak sambil nendang kakiku di bawah meja, membuatku meringis. "Dih, bawa-bawa nama anakku buat modus! Bayar royalti harusnya!" ejeknya.
Luna juga ketawa, paling keras pula. Harga diriku langsung jatuh ke inti bumi. Tapi enggak apa-apa, ngelihat pacarku happy gini otomatis aku ikutan happy juga. Justru bagus, daripada dia murung seharian dan enggak ada semangat hidup.
Syukurlah sekarang aku bisa lihat lagi binar kehidupan di kedua manik cokelat tuanya yang dulu sempat redup.
Setelah makan malam beres, aku izin buat antar Luna ke rumahnya. Karena malam minggu, jalanan lumayan macet. Tadinya sih aku mau ambil jalan memutar supaya bisa lama-lama sama Luna, tapi kasihan juga kalau dia sampai rumah kemalaman.
Akhirnya sampai juga di rumah Luna. Aku masuk sebentar buat salam sama Bunda, terus langsung pamit pulang.
"Besok kamu ada acara enggak?" tanyaku. Sekarang kami berdiri berhadap-hadapan di depan pagar rumah.
"Mau ketemuan sama Clarissa, mumpung dia ke Bandung. Kenapa?" jawabnya.
Aku cemberut dan bahuku ikut turun. "Tadinya aku mau minta temenin ke Braga buat hunting foto."
"Buat lomba street photography itu ya?" Luna menekuk wajahnya. "Maaf, Kak, kayaknya enggak bisa. Clarissa tuh sibuk banget dan jarang ke Bandung. Mumpung sekarang dia free, aku mau ngosongin jadwal buat dia. Deadline-nya masih lama, 'kan? Aku temenin minggu depan ya?"
Iya sih. Dibandingin sama aku, Luna lebih jarang ketemu sama Clarissa. Sebagai caregiver, aku harus support Luna buat interaksi sama teman-temannya. Ini salah satu proses dari penyembuhan depresinya juga. Namun, minggu depan pasti aku sibuk banget sama kerjaan dan enggak ada waktu buat hunting foto. Sepulang kerja tuh maunya langsung ketemu kasur aja.
Aku membungkuk sampai keningku jatuh ke bahu Luna, lalu merajuk. "Tapi masih kangen ...."
Luna tertawa sambil menepuk-nepuk punggungku. "Kak, hari ini kita bareng-bareng hampir dua belas jam loh."
"Kurang! Aku capek kerja Senin sampai Jumat, ngehadapin klien dan bos yang banyak maunya, terus cuma bisa ketemu kamu hari Sabtu. Energiku belum full buat menghadapi weekday lagi!"
"Apaan sih? Manja banget mentang-mentang anak bungsu. Jadi berasa aku yang lebih tua." Cewekku itu terkikih. "Ya udah, aku ketemu Clarissa-nya pagi ke siang, terus sore ke malam kita hunting foto ya?" katanya lembut.
Aku menegakkan tubuh dengan wajah semringah. "Beneran? Eh, tapi Clarissa enggak apa-apa tuh? Janjian sama kamunya jadi sebentar."
Luna mengedikkan bahu. "Sore-sore dia emang harus pulang kok, soalnya harus ngejar travel buat balik ke Karawang. Tadinya sepulang janjian aku pengin diem di rumah aja sih, baca novel. Tapi Senin Kakak udah kerja, sedangkan aku masih bisa diem di rumah. Ya udah, me time-nya digeser aja."
Kuelus-elus kepalanya gara-gara gemas. "Ngansos terooos! Pacarnya masih kangen tapi ngansos nomor satu."
"Namanya juga introver, Kak!" ketus Luna sambil menangkis tanganku. "Ya udah, besok enggak jadi aja!"
Cewek itu memutar badan dan berjalan ke dalam rumah, tapi cepat-cepat aku raih tangannya. Tubuh Luna berputar dan tertarik ke arahku. "Yeee, ngambek. Iya, iya, maaf. Besok temenin aku ya?"
"Hm," jawab Luna singkat.
Ngelihat Luna jutek kayak gini tuh aku malah makin gemas. Bibirku enggak bisa berhenti senyum lebar. Perlahan-lahan ekspresi galak Luna melembut, dan ia pun turut senyum sepertiku. Manis banget. Kulingkarkan kedua tangan di pinggangnya dan cewek itu pun beringsut maju.
Jarak kami sekarang dekat banget, dan ... kenapa Luna tiba-tiba nutup mata?
Oh, aku tau. Dia pasti pengin dikasih good night kiss, 'kan? Tapi ... masa di sini banget? Aku celingak-celinguk. Jalanan depan rumah sepi sih, tapi gimana kalau bundanya Luna keluar? Jangan sampai tragedi Kang Paket terulang lagi. Lagian, enggak elit banget ciuman di depan pagar.
Oke, mungkin lain waktu. Aku mau cari momen yang lebih romantis supaya first kiss kami bisa lebih memorable. Sekarang, kukecup saja keningnya cepat. Lalu, Luna membuka mata dengan ekspresi bingung. Ia berkedip beberapa kali.
Melihat responsnya, aku enggak tahan pengin ngegodain. "Kenapa, hm? Kamu berharap aku cium di bagian lain?"
Kedua pipi cewek itu langsung merah kayak tomat. Ia mundur dan mukul dadaku. "E-enggak kok! Pede banget!" ketusnya.
Tawaku meledak. Enggak tau kenapa ngegodain Luna tuh rasanya puas banget, apalagi ekspresi cewek itu selalu gemesin. Jadi pengin cubit pipinya sampai melar.
Alhasil, energiku langsung terisi penuh waktu pulang. Namun, enggak ada kata bosan buat Luna. Walaupun udah fully charged, aku tetap enggak sabar buat hunting foto sama dia besok.
Dukung Serene Night dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟
8 Februari 2025
*****
Cowok mah gitu. Kalau udah pacaran makin keliatan clingy-nya😫
Serene Night udah tamat di KaryaKarsa! Search NatWinchester di KaryaKarsa atau klik link di bio~
See you there, peeps❤️
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro