46 | Luna
| Play and listen to the multimedia for a better experience |
Kini ku tak lagi dengannya
Sudah tak ada lagi rasa
Antara aku dengan dia
Siapkah kau bertahta di hatiku, adinda?
Karena ini saat yang tepat untuk singgah di hatiku
Namun siapkah kau 'tuk jatuh cinta lagi?
*****
Butuh waktu seminggu hingga gejala putus obat yang kurasakan mulai berkurang dan aku bisa terlelap di malam hari. Dokter Martha bilang, jika aku rutin minum obat pikiranku bisa lebih jernih. Namun, kurasa otakku malah lebih kacau dari sebelumnya. Buktinya sekarang tanpa pikir panjang aku mendatangi Kak Elio, bahkan tanpa mengabarinya terlebih dulu.
Sekarang aku sudah berdiri di depan rumahnya. Aku baru terpikir saat di perjalanan, bagaimana jika Kak Elio tidak ada di rumah? Atau lebih buruknya lagi, bagaimana jika Kak Elio balas dendam dan ikut-ikutan tidak mau menemuiku?
Yang terpenting sekarang bukanlah hal itu, tetapi ... kenapa banyak karangan bunga di depan rumah cowok itu? Aku membaca satu per satu dan berusaha menebak siapa nama yang berulang kali disebutkan di sana. Ada ucapan belasungkawa dari petinggi salah satu perusahaan negara. Kalau tidak salah, bapaknya Kak Elio adalah pensiunan BUMN.
Jangan-jangan ....
Aku tidak ingin berspekulasi dulu dan memutuskan untuk menekan bel. Tidak lama kemudian, cowok bule tampan berusia sekitar awal tiga puluhan membuka pintu. Logatnya asing dan konyol, tetapi bahasa Indonesianya cukup fasih. Sesaat, aku sempat berpikir salah masuk rumah, kemudian aku ingat kalau Kak Elio punya kakak ipar berkewarganegaraan Jerman. Benar saja, ia bilang Kak Elio sedang ada di home photo studio-nya, dan untungnya aku tidak salah rumah. Cowok bule itu langsung mengantarku ke studionya Kak Elio.
Ketika memasuki ruangan, Kak Elio yang sedang memasukkan properti fotografi ke dalam dus menoleh padaku. Kacamata masih bertengger di hidungnya, tetapi poni curtain-nya disibak ke belakang dan ditahan oleh bando hitam tipis. Kedua matanya membola dan mulutnya sedikit menganga ketika melihatku berdiri di depan pintu. Dengan cepat ia membersihkan debu di kedua telapak tangannya, melepas bando dan merapikan poninya yang berantakan, lalu berjalan ke arahku.
"Luna?" Ekspresinya seperti sedang melihat hantu. Ia mengamati seluruh bagian wajahku, berkali-kali membuka mulut tetapi tidak mengatakan apa pun seperti orang kebingungan. "Kenapa ... kamu ada di sini?" Kemudian ia menunduk dan merapikan kaos oblong putih dengan tipografi 'I Love Malioboro'-kayaknya oleh-oleh dari Jogja-juga celana pendek rumahan yang dikenakannya. "Bilang dong kalau mau dateng! Biar akunya enggak kayak gembel gini. Untung udah mandi."
"Aku lihat karangan bunga di depan rumah," kataku dengan hati-hati, "itu ... bapaknya Kakak?"
Ekspresi cowok itu menjadi lebih muram. Ia menunduk dan mendesah pelan. "Iya ... Bapak berpulang minggu kemarin."
Seketika rasa sesal yang amat besar merundungku, membuat dadaku tiba-tiba sesak, padahal belum sekali pun aku bertemu pria itu. "Innalillahi wa inna ilaihi raji'un .... Maaf, Kak, aku enggak tau. Kakak pasti sedih banget, ya? Maaf kalau aku enggak bisa ngehibur Kakak waktu beliau berpulang ...."
Cowok itu tersenyum simpul. "Enggak apa-apa, Lun. Kamu mau dateng aja aku udah seneng banget, kok. Makasih ya udah bela-belain ke sini."
Aku balas tersenyum dan mengangguk, lalu Kak Elio mengajakku untuk duduk lesehan di tengah studio. Ia pergi ke dapur sebentar, lalu kembali sambil membawa dua cangkir teh manis.
"Makasih, Kak," ucapku sambil menyeruput minuman hangat di cangkir dalam genggamanku.
Cowok itu mengangguk, lalu ruangan menjadi lengang. Canggung sekali. Terakhir kali bertemu dengannya, kami bertengkar hebat. Aku harus bicara apa? Apa kami perlu membahas tentang hari itu? Atau ... berpindah topik dan menganggap pertengkaran kami tidak pernah terjadi? Lagi pula, aku sudah tidak mempermasalahkannya.
Di tengah keheningan, kuedarkan pandangan ke seisi studio dan timbul pertanyaan besar di benakku. Softbox dan tripod yang biasa berdiri tegak di sini tidak ada, begitu pula dengan properti-properti foto. Banyak kardus yang bertumpuk di sudut ruangan. Stand background foto berbagai warna masih ada, tetapi tidak dengan peralatan yang lain.
"Kakak lagi beres-beres studio?" Aku berusaha mencari topik.
Kak Elio mengangguk lagi. "Iya, ini semua mau dijual second. Aku mau tutup permanen home photo studio-ku."
Aku nyaris tersedak teh manis. "Eh? Kok? Kenapa?"
"Ada orang Cimahi yang mau take all dengan harga lumayan. Kayaknya dia fotografer yang baru merintis usaha studio juga." Kemudian Kak Elio mengambil kamera DSLR-nya dari atas meja dan kembali duduk lesehan di sampingku. "Kalau kamera ini belum nemu pembeli yang cocok. Kebanyakan nawarnya sadis. Emang barang lama sih, tapi kamera ini aku rawat banget dari zaman kuliah. Aku enggak rela ngelepas dengan harga murah."
Aku mulai sedikit gusar karena penjelasannya tidak menjawab pertanyaanku. "Kenapa Kakak mau tutup studionya?"
"Beberapa bulan ini aku rutin lempar-lempar CV, eh tenyata ada yang nge-email buat nawarin aku interview. Ada agensi sosial media yang urgent butuh desainer grafis. Mereka milih aku setelah ngelihat portfolio dan fake project yang pernah kubikin. Cuma agensi kecil-kecilan sih, tapi masih di Bandung, dan mereka mau ngegaji aku di atas UMR. Aku lulus interview, udah deal soal gaji waktu offering, jadi ya udah, Senin depan aku mulai kerja di sana," ujarnya dengan senyum semringah.
Itu kabar baik. Namun, semuanya masih terasa ganjil di kepalaku. Aku menggeleng saking bingungnya. "Bukannya Kakak pernah bilang enggak cocok kerja kantoran? Agensi pula. Kakak tahu 'kan, kultur kerja di sana sadisnya kayak gimana?"
"Ya abisnya gimana lagi? Bapak udah enggak ada dan uang pensiunannya ngepas banget buat nge-cover pengeluaran rumah tangga. Tahun depan umurku udah dua delapan. Studioku sepi. Tabunganku udah mulai menipis jadi mau enggak mau harus nyari kerjaan yang income-nya stabil. Peralatan fotografiku kalau dijual 'kan lumayan bisa nambah-nambah tabungan." Cowok itu menggaruk tengkuknya canggung. "Dan sebenernya ... ini buat kamu juga sih, Lun."
Kedua mataku sedikit membola. "Maksudnya?"
Cowok itu menunduk, lalu menjawab, "Aku ... ngobrol sama Clarissa soal kamu, dan aku pengin bantu bisnis keluargamu. Kalau aku punya kerjaan tetap, siapa tau aku bisa bantu-bantu dikit buat modal. Kamu enggak usah stres mikirin nyari kerja, biar aku aja yang kerja. Kamu fokus sembuhin depresimu dulu sambil ngonten buat Délice."
Aku tidak pernah sekaget ini mendengar penjelasan seseorang. Semuanya masih terasa tidak masuk akal bagiku. Dia ini bodoh, ya? Tanpa sadar aku meninggikan suara, menunduk untuk melihat wajahnya sambil mengguncang-guncang lengannya. "Kenapa Kakak lakuin itu? Kenapa Kakak kerja buat aku? Kenapa Kakak ngebuang passion Kakak di fotografi cuma buat kerja kantoran yang Kakak enggak suka?"
Cowok itu mendongak ke arahku dengan tatapan serius. "Aku udah bilang 'kan, kalau aku serius mau bangun masa depan sama kamu?" Lalu segaris senyuman getir tercipta di wajahnya. "Tapi ... kamunya enggak mau bangun masa depan sama aku. Jadi ... ya udah, mau gimana lagi?"
Tiba-tiba pandanganku kabur dan dadaku terasa kian berat. Namun, hatiku sedikit menghangat. Tengorokanku tersekat dan ada segumpal emosi yang menunggu untuk diluapkan. Aku menunduk untuk menyembunyikan isakannku. Kuusap mata kasar dengan punggung tangan.
Kenapa? Kenapa Kak Elio rela melakukan semua itu untuk cewek sakit mental yang bahkan tidak bisa menghargai setiap tetes keringat dan darah yang ia korbankan?
Lalu sentuhan hangat terasa di kedua pipiku. Kak Elio mengangkat wajahku agar aku bisa melihat secara langsung manik cemerlang sehitam obsidiannya. Dengan kedua jempol ia hapus air mataku. Cowok itu tertawa kecil dan tersenyum manis. "Kenapa malah nangis sih?" tanyanya dengan suara yang lembut dan dalam.
"Maafin aku ... Kak. Aku bener-bener minta maaf udah jahat sama Kakak ...." Sulit rasanya berbicara ketika dadamu begitu sesak oleh rasa bersalah yang amat besar.
Cowok itu masih tersenyum sambil mengusap pipiku lembut. "Iya, enggak apa-apa, kok. 'Kan aku udah bilang, kamu dateng ke rumah aja aku udah seneng."
"Kakak enggak boleh ngelepas semua ini! Kameranya juga enggak boleh dijual!" cicitku.
"Tapi lumayan buat nambah-nambahin tabungan, Lun."
Aku menggeleng cepat. "Walaupun Kakak kerja, Kakak masih bisa hunting foto di waktu weekend. Kakak masih bisa buka freelance di hari Sabtu, 'kan? Kakak masih bisa ngejadiin fotografi sebagai pelarian kalau stres kerja. Tolong ya, Kak, jangan pernah ngebuang passion Kakak ...." Kemudian aku menunduk dan terisak keras. "Aku bakalan ngerasa bersalah banget kalau Kakak ngelepas hal yang bikin Kakak ngerasa hidup cuma buat cewek enggak tahu diri kayak aku ...."
"Ya udah, aku enggak jadi jual semuanya."
Spontan aku mendongak. Bibirku berkedut membentuk senyuman kecil. "Beneran, Kak?"
Cowok berkacamata itu mengangguk. "Iya."
Kini beban berat di dadaku mulai berkurang. Aku mengembuskan napas lega. Kak Elio tersenyum lagi. Kali ini berkali-kali lipat lebih manis dan hangat, bahkan lebih dari teh yang tadi kucicipi. Ia kembali menghapus air mataku dengan kedua jempolnya. "Udah, jangan nangis lagi, ya." Lalu cowok itu menoleh ke arah pintu dan berbisik, "Kalau ketahuan Ibu atau Teh Fira nanti aku diomelin. Dikiranya aku abis ngapa-ngapain anak orang."
Tawa kecilku spontan mengudara. Kini, aku bisa lebih tenang memasang senyuman di wajah. Untuk beberapa saat, kami saling pandang dalam diam. Mungkin tidak ada kata yang terucap, tetapi kami tahu persis apa yang ada di pikiran masing-masing.
Kami beruntung bisa saling menemukan.
"Aku mau," kataku tiba-tiba.
Kak Elio berkedip beberapa kali sambil mengernyit. "Mau apa?"
"Pertanyaan di sticky notes. Itu jawabanku."
Wajah Kak Elio yang semula tampak bingung kini berganti cerah. Cowok itu tersenyum begitu lebar dari telinga ke telinga. Ia meraih kedua bisepku dan meremasnya pelan. "Serius?"
Aku mengangguk, lalu menyeringai kecil untuk menggodanya. "Kirain udah enggak nungguin jawabannya."
Kak Elio tersenyum kikuk dan kedua telinganya memerah. Cowok itu jadi terlihat menggemaskan! "Y-ya masih nungguin lah! Soalnya kamu nge-ghosting aku, enggak ngasih jawaban apa-apa, terus tiba-tiba ngambek," katanya cepat.
Disindir begitu aku malah tertawa. Lalu cowok itu berdiri dan pergi ke luar ruangan tanpa mengatakan apa-apa. Beberapa menit kemudian, ia kembali dengan membawa dompet. Cowok itu mengeluarkan plastik kecil. Rupanya ... kalung yang kulempar waktu itu masih ia simpan di dalam sana.
"Maaf ya aku taruh di plastik, soalnya boksnya ada di kamu." Lalu, cowok itu mengeluarkan benda berkilauan itu dan mendongak padaku dengan penuh harap. "Kamu masih mau pakai kalung ini, 'kan?"
Kuanggukkan kepala sebagai jawaban. Aku berbalik badan dan menyibak rambut cokelat panjangku agar Kak Elio bisa memakaikannya untukku. Lagi-lagi sentuhan jemarinya di leherku membuat indra perabaku terasa berkali-kali lipat lebih sensitif. Pipiku menghangat dan tahu-tahu saja kalung berbandul bulan sabit itu sudah memeluk leherku, kembali ke pemiliknya.
Aku berbalik, menatap binar cerah di kedua maniknya, dan tahu-tahu badanku bergerak sendiri menuju ke arahnya. Kulingkarkan kedua tangan di sekeliling tubuhnya dan mendekapnya erat. Kusandarkan pipi di bahu Kak Elio, tempat ternyaman untukku beristirahat dari ingar bingar dunia. Tempat teraman untukku kembali setelah berkelana tanpa arah tujuan.
"Makasih ya, Kak," bisikku.
Cowok itu balas memelukku erat dan tubuhku terasa kian hangat. "Makasih buat apa?"
"Makasih udah nyamperin aku di nikahan Teh Mika. Makasih udah datang ke hidupku, Kak."
"Harusnya aku yang bilang gitu." Kak Elio tertawa kecil dan memelukku semakin erat. Ia berkata lirih di telingaku. "Thank you for giving me a second chance, Luna Swastamita."
Dukung Serene Night dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟
1 Februari 2025
*****
Sebenernya pasangan ini tuh bisa aja jadian di chapter 30-an kalau LUNA ENGGAK GALAU INI ITU😭🫵 capek banget
Anyway menuju ending, aku mau bikin extra chapter setelah epilog karena waktu itu ada yang request. Kalau misalnya aku bikinin, kira-kira kalian mau special chapter yang kayak apa? Atau pengin liat Luna sama Elio ngapain gitu, atau pergi ke suatu tempat? Mau yang fluffy, spicy? Gimme your thoughts!
See you soon💓
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro