Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

42 | Elio

Setelah Ibu dan Teh Nadya keluar dari kamar rawat inap, aku balik ke brankar tempat Bapak tiduran. Kuselimuti badan pria itu. Selimutnya lumayan tebal. Yaaa cukup proper lah, soalnya ini ruangan rawat inap kelas satu. Ada dua bed di ruangan ini, dan untungnya di sebelah lagi enggak ada pasien, jadi kami berasa ada di ruang VIP.

"Istirahat, Pak. Elio duduk di sofa, ya. Kalau ada apa-apa panggil aja," kataku.

"Masih jam sembilan, El, Bapak belum ngantuk. Mau nonton TV dulu," balasnya.

Ya sudah. Kuberikan remote pada Bapak dan pria itu langsung menyalakan TV, mencari-cari channel yang disukainya.

Namun, belum juga dua menit, Bapak matiin lagi TV-nya. "Enggak ada yang seru. Berita lagi berita lagi. Korupsi lah, nepotisme lah, harga naik ini itu, bikin stres aja negara ini," keluhnya.

Hening untuk beberapa saat. Waktu aku lagi asyik scroll Instagram, Bapak manggil. "El, mau air hangat."

Sambil mengembuskan napas panjang aku bangun dari sofa yang empuk, jalan ke arah nakas, terus nuangin air hangat dari termos ke gelas kaca. Kukasihin gelasnya ke Bapak yang lagi duduk tegak di brankar.

"Ada lagi, Pak? Mau makan biskuit?" tanyaku. Sebelum pulang, Teh Nadya masukin banyak banget biskuit dan roti ke laci nakas buat Bapak ngemil.

"Enggak, udah kenyang." Setelah minum, gelasnya Bapak taruh lagi di atas nakas.

Waktu aku mau balik lagi ke sofa, Bapak manggil lagi. "El."

Aku berbalik. "Iya?"

"Bapak ... mau berhenti ngerokok," katanya pelan.

Kedua alisku terangkat. Aku mendengkus sambil menyeringai. "Harusnya dari dulu, Pak. Giliran udah kayak gini aja baru tobat."

Pria itu tertawa miris. "Iya. Bapak kapok, El. Bapak juga mau rajin minum obat."

Aku tersenyum. Kutarik kursi ke sebelah brankar dan duduk di sana. Kayaknya Bapak mau diajak ngobrol sebelum tidur. Bilang dong dari awal, enggak usah pakai nyuruh-nyuruh ambilin remote atau air hangat.

"Ya udah, Elio tagih janjinya ya. Sepulang dari sini enggak boleh ngerokok lagi. Harus rajin minum obat juga."

Bapak mengangguk sambil tersenyum simpul. Pria itu menatapku untuk waktu yang lama, seperti menganalisa seluruh anatomi wajahku. Padahal wajahku begini-begini saja dari dulu, mirip Lee Do-hyun pakai kacamata.

Tolong jangan muntah dulu.

"Ternyata kamu tuh udah dewasa ya, El, udah dua puluh lima."

"Dua tujuh, Pak," koreksiku.

"Yaaa, pokoknya udah dewasa." Bapak enggak mau disalahin. "Di rumah enggak ada cowok lagi selain kamu. Jagain Ibu, ya. Kalau Nadya sama Fira mah Bapak tenang, udah ada suami yang jagain."

Aku mengernyit. "Lah, kan ada Bapak?"

"Ya kalau Bapak lagi sakit gini, yang bisa jagain Ibu cuma kamu." Pria itu mendesah pelan. "Lagi pula, Bapak udah tua. Udah sakit-sakitan. Olahraga aja udah enggak kuat."

"Bisa dilatih supaya kuat, kok. Asal ngerokoknya udah berhenti, semoga jantung Bapak bisa makin sehat." Aku tersenyum, sedikit mencondongkan tubuh ke arah Bapak sambil menopang kedua tangan di paha.

"Iya, semoga." Bapak mengalihkan pandangan dariku sejenak. "Gimana perkembangan kamu sama cewek yang waktu itu?"

Senyum di wajahku langsung lenyap. Melihat ekspresiku, Bapak langsung terkikih. "Gagal ya?"

"Enggak gagal!" ketusku. Kesel banget. Harus ya, Bapak ngungkit-ngungkit soal Luna sekarang?

"Terus mukamu kenapa kecut gitu?"

"Dia lagi sakit." Aku jujur saja. Technically, depresi itu penyakit, 'kan?

"Tengokin, dong."

Enggak segampang itu, Pak! Pengin banget ngomong kayak gitu. "Iya, nanti. Sekarang Elio jagain Bapak dulu di sini."

Bapak tersenyum, balik lagi ke mode ayah-normal-yang-enggak-suka-ngeledekin-anaknya. "Semoga lancar-lancar sama dia ya, El."

Tumben banget Bapak enggak nge-roasting aku. Pria itu menepuk-nepuk pahaku. "Bapak tuh pengin banget liat kamu nikah. Berdiri di pelaminan nemenin Nadya sama Fira udah, tinggal kamu doang yang belum. Bapak juga pengin ketemu sama calonnya kamu."

Aku tertegun. Mendengar ucapan Bapak, rasanya dadaku sesak. Kayak ... dikasih ekspektasi setinggi langit dan beban satu ton di masing-masing bahu, padahal aku tahu Bapak enggak bermaksud begitu. Wajar 'kan kalau seorang ayah pengin lihat anaknya nikah? Dapetin hati Luna aja aku belum berhasil, apalagi ... berdiri di pelaminan bareng dia.

"Doain aja ya, Pak. Elio juga lagi berusaha yang terbaik," jawabku sambil tersenyum. Semoga aja Bapak enggak tahu kalau senyumku terpaksa. "Yang penting Bapak sehat dulu, nanti Elio kenalin sama Luna."

"Luna?" Kedua mata Bapak berbinar, senyumnya melebar. "Namanya cantik."

Tiba-tiba terbayang wajah Luna di kepala. Tanpa sadar aku tersenyum tipis. "Wajahnya lebih cantik lagi, Pak."

Bapak terkikih. Ia meninju lenganku pelan. "Ya harus cantik! Bapak aja bisa dapetin ibumu yang cantik banget. Calon mantu Bapak juga harus cantik, dong."

Kami pun tertawa bersama. Waktu tawa kami mereda, Bapak ngelanjutin. "Tapi yang jelas, semoga kamu punya pasangan yang bisa bikin kamu bahagia dan bisa diajak kerjasama. Bangun rumah tangga itu berat kalau sendirian, harus ada kontribusi dari kedua belah pihak."

Duh, obrolannya kenapa jadi serius gini sih?

"Luna anaknya kayak gimana sih?" tanya Bapak.

Dipancing dikit saja mulutku langsung nyerocos. Dengan senyuman lebar, kuceritain segalanya tentang Luna ke Bapak; obsesinya sama buku, kikuknya dia kalau lagi ngonten di depan kamera, lezatnya pastry yang dia bikin, sampai rambut cokelat panjangnya yang harum banget kayak taman bunga. Pria itu tersenyum sambil mengangguk sesekali. Kirain bakal disela, tapi ternyata Bapak mau dengerin semua ocehanku.

Yang kutahu, sejak kenal Luna, aku ngerasa lebih semangat bangun pagi. Tiap hari aku nunggu-nunggu chat dari Luna. Aku juga enggak sabar pengin loncat ke hari di mana kami ketemuan, ngehabisin waktu berdua, ngobrol hal paling random sampai tenggorokan kering, ketawa-ketawa lah, jogging pagi lah, nge-shoot konten TikTok lah, dan enggak kehitung hal-hal seru apa lagi yang udah aku lewatin bareng Luna.

Padahal, dulu tiap bangun pagi ya asal bangun aja. Sarapan, interaksi sama keluarga, bikin portfolio, ngelihatin isi saldo rekening yang kering kerontang. Notifikasi ponselku juga krik-krik. Udah gitu, tiba-tiba langit udah gelap lagi dan aku balik ke kasur buat tidur. Besok paginya, aku ngelakuin hal yang sama berulang kali.

Before Luna, there was no rainbow, only black and white.

Malam ini tumben banget Bapak enggak nyebelin. Aku enggak pernah ngobrol seintim ini sama Bapak, dan seketika kekhawatiran yang merundung pikiranku sejak pagi tadi lenyap. Hatiku jadi hangat. Kayaknya sakitnya Bapak kali ini ada hikmahnya. Beliau udah mulai peduli sama kesehatannya sendiri dan janji mau berhenti ngerokok, sedangkan aku jadi punya teman ngobrol dan enggak kepikiran masalah Luna buat sementara.

Jam setengah sebelas malam, aku paksa Bapak buat istirahat. Kalau ngobrolnya enggak distop, bisa-bisa bablas sampai besok pagi. Akhirnya pria itu nurut, aku balik ke sofa buat tidur, walaupun agak susah soalnya enggak terbiasa tidur selain di kamar sendiri.

*****

Kubuka mata perlahan. Ruang rawat inap masih gelap. Waktu ngecek ponsel, ternyata masih jam empat subuh. Aku meraba-raba nakas buat ngambil kacamata. Sambil terkantuk-kantuk, aku jalan ke toilet gara-gara kebelet.

Balik-balik dari toilet, aku baru sadar kalau Bapak enggak tidur. Pria itu menyentuh dadanya yang naik-turun. Mulutnya megap-megap sambil menarik napas dalam-dalam. Sesekali terdengar erangan kesakitan. Kantukku langsung hilang dan aku lari ke arah brankar.

"Pak? Bapak enggak apa-apa?" kataku panik sambil mengguncang-guncang tubuh pria itu.

"Sakit ... El ... susah ... napas." Ucapan Bapak serak dan terputus-putus.

Pikiranku langsung penuh. Kalau otakku ini diibaratkan Google Chrome, kayak ada orang yang buka tujuh puluh enam tab sekaligus. Aku harus ngapain? Kepalaku mendadak nge-hang gara-gara RAM-nya kepenuhan.

Jantungku berdebar hebat, lalu adrenalin nyadarin aku dari kekalutan. Aku menoleh ke arah bedhead dan langsung menyambar tombol nurse call, menekannya secara membabi buta, berharap semakin sering ditekan suster akan semakin cepat datang.

"Asyhadu ... an laa ... ilaaha ... illallaahu ...." Bapak komat-kamit dengan suara yang amat kecil dan serak. Aku makin panik.

"Pak? Bapak ngapain ngucap dua kalimat syahadat?" tanyaku setengah ngebentak, tapi bibir pria itu masih bergerak menggumamkan kalimat itu berkali-kali.

Bulu kudukku langsung berdiri dan rasa takut yang amat hebat menjalar di seluruh tubuhku. Kedua tanganku terasa dingin dan untuk bergerak pun sulit. Feeling-ku enggak enak. Kenapa? Kenapa Bapak sampai ngucapin kalimat itu? Kenapa Bapak kesakitan lagi? Bukannya tadi di IGD udah dikasih pertolongan pertama? Apa yang salah? Apa Bapak kecapekan gara-gara ngobrol sama aku sampai malam?

Pintu ruang rawat inap terbuka dan seorang suster masuk. "Iya, ada apa?"

"Sus! Bapak saya!"

Suster langsung memeriksa Bapak dan minta aku mundur. Aku udah enggak bisa mikir apa-apa lagi. Otakku kayak berkabut. Wanita muda dengan balutan pakaian jaga itu berlari keluar kamar, lalu datang lagi bersama dokter dan seorang suster lagi.

"Mas, tunggu di luar, ya. Kami mau periksa dulu," kata dokternya.

"Tapi—"

"Mas, keluar dulu." Seorang suster membawaku keluar ruangan.

Aku udah enggak bisa ngelawan saking kalutnya. Waktu pintu ruangan ketutup di depan wajahku, aku ngintip lewat jendela kaca kecil buat nengok keadaan Bapak, tapi sia-sia. Enggak ada yang bisa dilihat waktu dokter dan suster mengerumuni Bapak di brankar.

Aku mondar-mandir di lorong, terus bersandar di tembok sambil ngatur napas, tapi tetap enggak bisa tenang. Skenario-skenario buruk melanda pikiranku.

Enggak. Bapak bakalan baik-baik aja. Tenang, Elio.

Waktu pintu ruang rawat inap tiba-tiba terbuka, aku langsung menoleh, ngelihat dokter dan para suster setengah berlari, mendorong brankar ke luar ruangan.

"Dok? Bapak saya mau dibawa ke mana?" tanyaku sambil berjalan cepat mengikuti mereka.

"Bapaknya harus ditangani dulu di ICU, ya."

ICU katanya? Emang separah apa kondisi Bapak? Sambil jalan cepat, susah payah aku mengintip Bapak di antara punggung dokter dan para suster. Napasnya lemah dan pria itu masih meringis kesakitan. Bibirnya berkomat-kamit, sepertinya masih menggumamkan dua kalimat syahadat. Lalu tibalah kami di depan pintu ICU, tetapi salah satu suster melarangku buat ikut masuk. Enggak ada pilihan lain selain nunggu di luar.

Aku duduk di kursi tunggu sambil menggerak-gerakan kaki dengan gelisah, berusaha ngehubungi Ibu dan Teh Nadya, tapi enggak ada yang ngangkat teleponku. Padahal biasanya Ibu bangun lebih awal buat tahajud. Aku mondar-mandir lagi di lorong. Enggak kehitung udah berapa belas kali aku nelepon mereka, tapi enggak juga ada jawaban.

Sekitar jam lima subuh akhirnya Ibu dan Teh Nadya ngejawab teleponku. Aku ngabarin kondisi Bapak dan minta mereka buat cepat ke rumah sakit. Mereka pun mengiyakan. Waktu kututup telepon, dokter yang tadi meriksa Bapak keluar dari ruang ICU. Ia menunduk, bahunya turun, mulutnya tertekuk.

"Dok? Keadaan Bapak saya gimana?" Aku bertanya tanpa ba-bi-bu.

Jawaban dari sang dokter seperti petir di siang bolong. Tubuhku langsung membeku. Aku menganga saking kagetnya, enggak tahu harus ngerespons gimana. Sebenarnya dokter itu bicara panjang lebar, tapi lama kelamaan perkataannya enggak masuk ke otakku. Kepalaku sudah terlampau penuh dan aku kesulitan mencerna segalanya.

"Saya turut berduka." Itulah ucapan terakhir sang dokter sebelum ia meninggalkanku sendirian di lorong rumah sakit yang dingin.

Bohong, 'kan? Ini pasti cuma mimpi di siang bolong. Kalau aku bangun, pasti semuanya bakalan baik-baik aja. Badanku lemas, dadaku terlampau sesak. Aku menjatuhkan diri ke kursi ruang tunggu, menunduk dan mengusap-usap wajah kasar.

Ya, ini pasti cuma mimpi.

Setengah jam kemudian, aku melihat Ibu dan Teh Nadya berlari kecil di lorong menuju tempatku duduk.

"Gimana Bapak? Udah ada update dari dokter?" tanya Teh Nadya dengan raut khawatir waktu ia sudah sampai di hadapanku.

Ah, keadaan Bapak, ya? "Bapak ... udah enggak ada," lirihku sambil berdiri. Rasanya aneh ketika kata-kata itu meluncur dari bibirku. Memangnya beneran Bapak udah enggak ada? Mulut dan otakku kayak enggak connect satu sama lain.

Wajah mereka langsung pucat. Teh Nadya menutup mulut dengan tangan, sedangkan Ibu langsung menghambur ke pelukanku sambil menangis. Aku mematung, menatap kosong ke arah lorong sambil menepuk-nepuk punggung Ibu. Air mata turut mengalir di pipi Teh Nadya, dan kakakku itu langsung mendekapku juga. Tangisan Ibu dan Teh Nadya yang menggema di seluruh penjuru lorong, dekapan hangat mereka, serta perih di hatiku, semuanya terlalu nyata dan kutahu mimpi enggak akan kayak gini.

Jadi ... Bapak beneran udah pergi?

Emosi yang semula tersekat di tenggorokanku pun keluar. Dadaku berat, seolah-olah seluruh pasokan oksigen dalam paru-paruku ditarik keluar. Kudekap Ibu dan Teh Nadya erat-erat. Untuk beberapa menit ke depan, kami saling memberikan kehangatan, meluapkan duka dalam bentuk air mata. Sayangnya, semua itu enggak cukup. Aku butuh Bapak berjalan keluar dari ICU, tersenyum, lalu nenangin kami dengan bilang, "Bapak baik-baik aja, kok."

Namun, sayangnya keinginan itu terlalu mustahil buat diraih.

Dukung Serene Night dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟

4 Januari 2025

*****

*sigh* 2 tahun yang lalu Helena, sekarang Bapak. Maaf ya, El😔🙏

Berkali-kali aku ngedit bab ini, air mata enggak pernah enggak ngucur🥲 Moga-moga kerasa juga feel-nya di kalian

Siapa yang dulu nebak Lee Do-hyun yang jadi visualnya Elio? Selamat kalian dapet piring cantik dari aku! Tapi karena rawan pecah kalau kukirim lewat ekspedisi, silakan ambil sendiri di rumahku🤣

Serene Night udah tamat di KaryaKarsa! Search NatWinchester di KaryaKarsa atau klik link di bio~

See you very soon❤️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro