Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

41 | Elio

Aku enggak pernah ngerasa sekacau ini. Kukira ditinggal Helena bakalan jadi patah hati terbesarku, tapi ternyata perasaanku pada Luna juga enggak kalah dalam, dan aku menderita banget waktu dia nyampakkin aku.

Waktu kupungut kalung yang dilempar Luna ke tanah, aku tahu enggak akan ada kesempatan lagi buatku. Luna udah nutup rapat-rapat hatinya, menggemboknya, lalu melempar kuncinya ke Sungai Amazon. Aku bisa aja lompat buat ngambil kuncinya di dasar sungai, tapi harus berhadapan dengan kawanan piranha yang haus darah. Ngambil kuncinya aku mati, enggak ngambil juga tetap mati.

Tapi emang dasarnya orang yang lagi bucin itu gobloknya kebangetan, aku datangi rumah Luna lagi keesokan harinya. Bundanya yang nyambut aku. Beliau bilang Luna enggak mau ketemu. Oke, aku balik lagi keesokan harinya, dan keesokan harinya lagi. Hasilnya sama aja. Luna enggak mau keluar dari kamarnya. Selalu bundanya yang bukain pintu.

"Maaf ya, Elio, Luna-nya enggak mau ketemu siapa-siapa. Dia aja enggak mau diajak ngobrol sama saya."

Enggak cuma aku, bundanya pun khawatir banget sama keadaan Luna. Kelihatan jelas di wajahnya yang seolah-olah menua tiap harinya karena diselubungi energi negatif terus-terusan. Mata sayunya, bibirnya yang selalu tertekuk, juga kerutan-kerutan halus di sekitar mulut dan matanya. Padahal beliau bukan ibu kandungku, tapi aku ngerasa kasihan dan enggak tega.

"Boleh kita ngobrol sebentar?" tanya wanita itu, dan aku pun mengiyakan.

Kami duduk di kursi plastik di teras rumah Luna. Bundanya nutup pintu rapat-rapat supaya Luna enggak dengar percakapan kami di luar.

"Boleh kasih Luna waktu buat nenangin diri? Besok-besok kamu enggak perlu ke sini dulu. Kasihan kamu, buang-buang bensin dan tenaga, tapi Lunanya enggak mau ditemuin. Nanti saya coba bujuk dia buat ketemu kamu, tapi harus pelan-pelan soalnya susah," ucap wanita itu dengan suara lirih.

"Luna ... semarah itu ya sama saya? Dia cerita sesuatu enggak ke Tante?" tanyaku.

Bundanya Luna menggeleng. "Saya rasa dia enggak cuma marah sama kamu. Ada masalah yang dia sembunyiin dari orang-orang. Beberapa hari ini dia susah makan. Lauk dan nasi di piringnya enggak pernah habis. Kadang pagi-pagi dia keluar rumah buat jogging. Pulangnya mandi, sarapan asal-asalan, terus ngunci diri lagi di kamar sampai malam. Dia cuma keluar kalau ke toilet atau ngambil minum di dapur. Dia olahraga sampai ngos-ngosan, mukanya merah, tapi makanan yang masuk ke badan dia cuma sedikit. Saya takut badan dia enggak kuat dan malah tumbang."

Aku mengerutkan jidat waktu dengerin ceritanya. Terus, aku lebih kaget lagi waktu bundanya cerita kalau Luna sampai masuk kantor polisi beberapa hari lalu. Katanya dia teriak mau mati di Jalan Asia Afrika, tapi udahnya enggak mau ngomong sama sekali. Tatapannya kosong, badannya lemes, kayak kehilangan gairah hidup. Aku tahu Luna suicidal, tapi enggak nyangka bakalan sampai separah ini. Enggak mungkin 'kan cuma gara-gara masalah Helena dia sampai kayak gini?

"Kamu sama Luna lagi ada masalah apa?" tanya wanita itu.

Rasa bersalah yang amat besar merundungku. Aku menunduk dan mengembuskan napas panjang. "Saya ... enggak tau, Tante. Dia tiba-tiba marah ke saya, tapi enggak bilang karena apa." Terpaksa aku bohong. Ya kali jujur, nanti aku dicoret dari daftar 'Menantu Potensial'.

Bundanya turut menunduk. Air mukanya mendung banget. Maniknya berkilau, tanda air mata udah menggenang. "Saya khawatir sama keadaan dia. Kamu tau kalau selama ini dia depresi?"

Aku mendongak dan mengangguk.

Suara bundanya Luna mulai pecah. Terus, wanita itu lanjut cerita sambil nangis. "Jujur saya kaget banget waktu nemu obat-obatan dia. Saya enggak nyangka dia sampai konsumsi antidepresan dan obat penenang. Waktu itu dia bilang enggak mau minum obat lagi. Saya coba ngobrol sama kenalan saya yang dokter juga. Katanya, justru Luna harus minum obatnya sampai tuntas supaya depresinya sembuh. Kalau berhenti di tengah jalan, depresinya bisa makin parah."

"Kenapa Luna enggak mau minum obatnya lagi?" Aku menyela.

Wanita yang badannya sedikit gemuk itu menggeleng lagi sambil terisak. "Saya enggak tau. Kemarin saya udah bujuk buat berobat lagi, tapi dia enggak mau. Saya enggak tau harus gimana lagi, Elio, padahal Luna butuh obatnya buat sembuh. Keadaannya udah benar-benar mengkhawatirkan. Badan dia makin kurus. Anaknya enggak mau ngapa-ngapain, bahkan buat bantu saya bikin kue aja enggak mau. Dia benar-benar cuma ngunci diri di kamar, tiduran seharian."

Hatiku seperti diremas-remas. Nyesss banget rasanya. Bagian kecil dalam diriku berbisik, 'Elio, cepet masuk! Pergi ke kamarnya! Hibur dia!' tapi kalau ingat-ingat pas Luna bilang enggak mau ketemu aku lagi, kayaknya itu bukan ide yang bagus.

Padahal aku pengin jadi orang yang pertama kali Luna andalin, orang yang pertama kali Luna datangi kalau dia lagi rapuh banget. Aku pengin hapus air mata dia, terus ngebisikin kalau semuanya bakalan baik-baik aja dan aku akan tetap ada di sampingnya, nemenin sampai dia bisa ngelewatin semuanya. Aku pengin Luna tahu kalau dia enggak sendirian. Tapi, kalau Lunanya ngejauh dari semua orang, aku bisa apa?

Apalagi ... akulah salah satu penyebab dia kayak gini sekarang.

Akhirnya aku pamit pulang dan bertekad enggak akan nyamperin Luna dulu. Bundanya Luna berkali-kali minta maaf, soalnya aku ikut ribet mikirin anaknya, sekaligus ngucapin makasih karena selama ini udah peduli sama Luna.

Mood-ku kacau. Sampai di rumah fisik dan mentalku rasanya kekuras habis. Aku tidur siang lumayan lama, tapi sesudah bangun perasaanku enggak juga membaik. Aku kira enggak akan ada lagi yang bakalan ngerusak mood-ku hari ini, tapi ternyata Tuhan selalu punya kejutan yang enggak terduga.

Sesudah salat Isya berjamaah, Bapak collapse lagi. Otakku langsung blank pas liat Bapak ambruk ke lantai, meringis kesakitan sambil meremas dada. Kakiku serasa dipaku. Aku enggak bisa gerak ke mana-mana saking paniknya. Katanya dadanya sesak, menjalar sampai ke punggung. Jantungnya berdebar hebat dan keluar keringat dingin sebadan-badan. Buat narik napas aja beliau kesulitan.

Ibu lari ke arah Bapak dan berlutut buat ngebantu suaminya bangun terus teriak, nyuruh aku ngambil kunci mobil dan nyupirin Bapak ke rumah sakit. Aku yang awalnya masih di mode freeze langsung sadar. Enggak ada waktu buat siap-siap, kami langsung membopong Bapak ke mobil. Teh Nadya pun udah dihubungi. Dia bilang mau nyusul dari rumahnya.

Pas sampai di IGD, dokter langsung kasih pertolongan pertama. Bapak harus di-EKG lagi. Waktu hasilnya udah keluar, ternyata sakit jantungnya Bapak kali ini udah bahaya banget, beda sama yang terakhir kali. Plak yang menumpuk di jantung udah banyak banget dan harus ditangani secepatnya.

"Bapaknya kemungkinan besar bakalan dipasang ring jantung. Kami baru bisa kasih tindakan besok soalnya yang nanganinnya dokter jantung dan anestesi, bukan saya. Saya rekomendasikan buat rawat inap supaya keadaan Bapak bisa kami monitor." Dokter jaga IGD menjelaskan. Ya wajar sih, sekarang 'kan udah malam, enggak ada dokter spesialis yang praktik.

Ibu yang kelihatan khawatir banget beralih dari si dokter ke Bapak yang lagi tiduran di brankar. "Pak, rawat inap ya? Mau ya?" Wanita itu memohon sambil menggenggam tangan suaminya.

Bapak yang napasnya udah mulai stabil pun mengangguk. Syukurlah kali ini beliau mau diajak kooperatif. Lagi pula, sesak napas dan deg-degan kayak tadi pasti nyiksa banget, apalagi katanya kayak simulasi sakaratul maut.

Kakakku langsung ngurus administrasi. Jam setengah sembilan malam, Bapak udah dipindahin ke ruang rawat inap. Hari ini aku yang menginap buat jaga Bapak, sedangkan Ibu dan Teh Nadya pulang dulu dan balik lagi besok sambil bawa keperluan Bapak selama dirawat.

Segalanya kerasa samar. Lingkungan sekitarku berputar-putar. Kadang, percakapan orang-orang di sekitarku aja kedengaran kayak bahasa alien yang enggak bisa kumengerti. Otakku masih setengah blank dan dari tadi aku beneran kayak orang bloon. Aku masih kesulitan mencerna apa yang terjadi hari ini. Luna yang depresinya makin parah, terus ditambah collapse-nya Bapak. Dari tadi pagi aku diajak senam jantung terus. Emosiku naik turun, badanku juga kerasa capek banget. Akhirnya setelah lihat Bapak udah bisa napas normal lagi dan istirahat di brankar yang empuk, aku bisa tenang untuk sejenak.

Semoga Luna dan Bapak baik-baik aja.

Dukung Serene Night dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟

28 Desember 2024

*****

Gimana nih, Elio? Diajak kardio mulu sama authornya😭

Anyway, mumpung long holiday, yang mau marathon sampai tamat monggo mampir ke KaryaKarsa. Di sana udah update sampai epilog. Greget sama bapernya jadi enggak nanggung lagi.

Search NatWinchester di KaryaKarsa atau klik link di bio~

See you very soon❤️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro