Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

38 | Luna

Aku berbaring di ranjang menghadap tembok. Tidurku tidak nyenyak, beberapa kali aku terbangun dan kesulitan untuk terpejam kembali. Mungkin tadi malam aku hanya terlelap sekitar tiga jam saja. Tiba-tiba matahari sudah muncul dan cahayanya masuk melalui sela-sela tirai jendela kamarku. Hari berganti dan keadaanku masih begini-begini saja. Perutku protes karena kemarin aku melewatkan makan malam, tetapi untuk sarapan pun aku tidak bernafsu sama sekali.

Tiba-tiba saja pintu kamarku terbuka. Aku menoleh sebentar dan melihat Bunda masuk ke dalam ruangan. Kutarik kembali selimut dan kembali berbalik menghadap tembok.

"Bun ... masih pagi. Aku lagi capek banget. Kalau ada pesanan hari ini aku bantu agak siangan ya ...," kataku dengan suara ogah-ogahan.

"Luna, ini apa?" Suara Bunda yang biasanya ceriwis mendadak tegas dan serius.

Aku menoleh kembali pada wanita yang melahirkanku itu. Beliau memegang tiga plastik zip lock berisi beberapa tablet dan pil di tangan kanannya. Ah, sial! Seharusnya aku buang langsung ke tempat sampah di luar rumah.

"Bunda nemu ini di tempat sampah dapur. Setelah googling, ini apa, Luna? Antidepresan? Obat penenang? Dari mana kamu dapetin semua ini? Kamu enggak dapetin dengan cara ilegal kan?"

Aku tertawa getir. "Ya kali, Bun. Emangnya aku kenal bandar narkoba?"

"Terus kamu dapat dari mana? Kamu diem-diem ke dokter tanpa ngasih tahu Bunda?" cecar wanita itu, suaranya meninggi.

"Bunda tenang aja. Aku enggak akan kecanduan. Aku udah enggak konsumsi obat-obatan itu lagi, kok ...," balasku.

Ya, buat apa diminum? Toh sudah berbulan-bulan mengonsumsinya emosi negatifku tidak hilang. Aku tetap terpuruk dan ingin mati. Lagi pula, semua saran Dokter Martha hanya membuatku makin menderita. Katanya aku harus bersosialisasi. Katanya aku harus memberikan Ayah kesempatan kedua. Katanya aku harus membuka hati untuk Kak Elio. Karena mengikuti semua perkataannya, aku sial berkali-kali.

Memang di dunia ini tidak ada yang bisa dipercaya, termasuk dokter sekali pun.

"Luna, lihat Bunda dulu!" Wanita itu duduk di ranjang tepat di sebelahku dan meraih bahuku, menarikku agar aku menghadap ke arahnya. "Bukan masalah kecanduan atau apa. Kamu ada masalah apa selama ini? Kenapa ke dokter sampai dapat obat penenang kayak gini? Apa yang enggak kamu ceritain ke Bunda?"

Inilah mengapa aku tidak mau Bunda tahu tentang penyakitku. Beliau akan amat marah dan khawatir, lalu mencercaku dengan ribuan pertanyaan yang aku sendiri pun bingung harus mulai menjawab dari mana.

"Aku cuma capek aja, Bun." Aku menjawab dengan malas, lalu kembali memutar tubuh ke tembok. "Boleh tinggalin aku sendiri? Aku kurang tidur tadi malam."

"Enggak mungkin capek doang sampai minum obat-obatan kayak gini!" Bunda menarik tubuhku untuk bangun. Akhirnya aku memaksakan diri untuk duduk tegak di ranjang. Kutundukkan kepala untuk menghindari kedua manik Bunda. Melihat raut wajah beliau yang khawatir setengah mati membuatku semakin merasa bersalah.

Wanita itu meninggikan suara. "Kemarin malam Bunda dengar dari polisi kamu nangis dan teriak-teriak di tengah trotoar. Udah gitu tatapanmu berubah kosong dan enggak mau ngomong apa-apa. Kamu enggak baik-baik aja, Luna. Orang normal enggak akan bersikap kayak gitu! Cerita sama Bunda—"

"Aku depresi!" Bentakanku berhasil menghentikan ocehan Bunda yang panjangnya seperti kereta api.

"Apa maksudnya depresi?" Bunda melotot, nada suaranya kian meninggi.

"Aku capek! Aku cuma mau tenang! Aku cuma mau ...." Tiba-tiba saja suaraku pecah dan memelan. "... Bahagia kayak orang-orang."

Aku mulai menangis di depan Bunda sambil menunduk. Sesak sekali rasanya. Seperti ingin memuntahkan semua rasa sakit itu sekaligus, tetapi aku harus menahannya. Bunda tidak boleh tahu apa yang sudah kualami selama ini.

"Luna ...." Terdengar desahan berat Bunda. "Maaf ... Bunda enggak bermaksud bentak kamu. Bunda cuma kalut." Wanita itu mengelus pundakku pelan. Nada suaranya berubah halus. "Boleh lihat Bunda sebentar?"

Ketika mendongak, aku melihat raut wajah wanita itu melembut, berbeda sekali dengan beberapa menit yang lalu. Kedua maniknya mengisyaratkan kekhawatiran yang mendalam. Ditambah lagi garis kerutan di bawah matanya, terlihat jelas bahwa Bunda telah menua dan sudah lelah menghadapi badai-badai kehidupan.

"Kamu lagi ada masalah apa? Cerita sama Bunda, ya?" Wanita itu memohon.

Aku tidak mungkin tega menceritakan seluruh masalahku. Aku tidak ingin menambah beban berat yang sudah Bunda pikul di kedua pundaknya. Semua usaha-usahaku untuk mencari pekerjaan, itu kulakukan demi Bunda dan keluarga kami, meskipun akhirnya aku tumbang juga karenanya. Lalu lelahku mengurusi media sosial Délice Cake and Pastry, biar saja kupendam sendirian. Aku tidak ingin Bunda mengkhawatirkanku.

"Tinggalin aku sendiri," kataku lirih sambil kembali berbaring dan menarik selimut hingga menutupi wajah. "Aku lagi pengin sendirian."

"Mana bisa Bunda ninggalin kamu sendirian," Wanita itu mengguncang tubuhku pelan. Suaranya amat rapuh, sampai-sampai membuatku ingin menangis lagi.

Bunda tidak mengerti. Bunda sudah mengalami banyak hal. Pikirkanlah kebahagiaan diri sendiri, tidak perlu memikirkan masalahku! Toh, tidak ada yang bisa beliau lakukan untukku. Aku sudah terlampau hancur untuk diperbaiki.

"Luna, tolong—"

"Bun, aku mohon, kalau Bunda segitunya mau bantu, tinggalin aku sendiri ...."

Keheningan panjang meliputi kami, membuatku merasa bersalah sekaligus frustrasi. Wanita itu akhirnya beranjak dari ranjang.

"Oke, Bunda turuti kemauan kamu. Tapi asal kamu tau, ini bukan berarti Bunda menyerah. Bunda akan kasih kamu waktu, tapi Bunda mohon, cerita kalau udah siap, ya?"

Aku tidak merespons hingga wanita itu pergi meninggalkan kamar. Ketika terdengar suara pintu tertutup, tangisku meledak lagi. Aku tersedu-sedu di balik selimut. Bahkan, untuk menarik napas pun sulit, seolah-olah ada tangan raksasa yang meremas dadaku begitu kuat.

Biarlah, tidak akan ada orang yang mendengarkan. Kamu sudah aman, Luna. Menangislah selama yang kamu mau.

Dukung Serene Night dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟

7 Desember 2024

*****

Ketika kamu enggak pengin jadi beban, tapi justru malah menambah beban orang lain yang asalnya enggak ada😢

Kalau jadi Bunda, kamu bakal ngapain nih?

Anyway, chapter 39-44 udah update di KaryaKarsa ya! Search NatWinchester atau klik link di bio! Di sana badainya udah hampir surut. Bisa baca marathon tanpa nanggung😁

See you very soon❤️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro