Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

28 | Elio

| Play and listen to the multimedia for a better experience |

There is bitter in everyday

But then I feel it

That you would be the only one

Sometimes, the bitter of love can be so good

It's like a coffee with a rainbow's mood

*****

Setelah insiden gagal-ciuman-gara-gara-Kang-Paket, kami jadi canggung banget. Seminggu ini aku dan Luna enggak ngobrol banyak, cuma kirim-kiriman video Reel, entah tips optimasi media sosial atau sekadar video kompilasi kucing yang loncat waktu ngelihat timun.

Suatu hari, tiba-tiba Luna cerita kalau ayahnya ngajak ke Toko Buku Palasari dan dia mau aku ikut. Bentar, Luna sama ayahnya? Sejak kapan mereka akur? Waktu aku tanya, dia bilang kalau dia mau coba buka lembaran baru sama ayahnya. Aku sih ikut senang. Siapa tahu ayahnya bisa jadi obat buat Luna.

Akhir pekan, aku ngejemput Luna di rumahnya dan langsung menuju Toko Buku Palasari. Ayahnya udah duluan sampai. Ternyata setelah dilihat-lihat lebih dekat, warna matanya persis kayak Luna.

Luna memperkenalkanku pada pria itu. "Ayah, ini Kak Elio."

Aku menunduk sedikit dan mengulurkan tangan. "Kenalin Om, saya Elio."

Dibandingin bundanya Luna, aku masih jauh lebih gugup waktu kenalan sama ayahnya. Bayangin deh, gimana rasanya ngehadapin pria yang bakalan jadi wali nikah kami. Kalau ayahnya galak terus enggak ngerestuin gimana?

Lah, udah mikirin nikah aja, padahal jadian aja belum.

Pria itu tersenyum dan menjabat tanganku. "Saya ayahnya Luna."

Kesan awalku terhadap pria itu lumayan oke. Ternyata enggak semenyeramkan yang dikira. Aku enggak nyangka pria ramah dan berwibawa ini pernah berselingkuh dan menghancurkan keluarganya sendiri.

Lalu, kami masuk ke dalam. Toko Buku Palasari bisa dibilang adalah pasar buku terpopuler di Kota Bandung. Isinya persis pasar, tetapi kios-kiosnya berisi tumpukan buku. Ada buku baru, buku bekas, bahkan buku tua yang langka pun ada, asalkan kamu pintar-pintar nyarinya.

Kami berjalan di lorong dalam pasar. Sesekali ayahnya Luna berhenti ketika melihat buku-buku sastra berat atau politik di salah satu kios. Sedangkan Luna, ia berhenti ketika melihat kios yang menjual berbagai novel-novel jadul. Genrenya bermacam-macam.

"Ya ampun! Aku udah lama banget nyari novel ini," katanya antusias.

Aku turut melihat sampul novel jadul di tangannya. Judulnya Karma. Kertasnya udah menguning dan sedikit keriting. "Novel apa?" tanyaku.

"Ini novelnya Raven Andrea, penulis kesukaanku. Dia udah nulis dari umur sepuluh tahun dan genre novelnya macam-macam, dari thriller sampai magical realism. Aku lagi koleksi novel-novel new adult jadul karya dia, tapi sekarang penerbitnya enggak cetak ulang lagi buat beberapa judul. Eh, aku malah nemu preloved-nya di sini!"

"Penulis luar?" tanyaku lagi.

Luna menggeleng. "Orang Indonesia, kok. Lucu ya nama penanya, kayak orang Barat."

"Kamu mau itu? Ambil aja, Ayah beliin. Jangan lupa minta disampul sama penjualnya," kata ayahnya Luna.

Cewek itu mendongak pada ayahnya dengan binar cerah di matanya. "Beneran?"

Pria berwibawa itu pun mengangguk. Dengan senyum lebar di wajahnya, Luna menyerahkan buku tersebut pada sang pedagang. Setelah melakukan pembayaran, si pedagang pun mulai menyampul plastik novel tersebut, lalu diberikannya lagi benda itu pada Luna.

Ayahnya Luna berhenti di kios selanjutnya. Ia mengambil buku tipis di rak dan menyerahkannya pada putrinya. "Lun, inget enggak dulu Ayah suka beliin ini?"

Luna excited banget. Dia nahan napas dan mulutnya kebuka sedikit. Dengan ceria ia mengambil buku itu. "Seri Bocah-Bocah Punya Karya! Buku kesukaan aku waktu kecil! Ternyata sampai sekarang masih ada, ya?"

"Kayaknya buku bekas. Koleksi BBPK punyamu masih ada?" tanya pria itu.

Luna mengernyit, terlihat sedang mengingat-ingat. "Kayaknya waktu kita pindah rumah ikut dimasukin ke dus, deh. Mungkin ada di gudang."

Yang mereka obrolin jelas novela anak-anak, dilihat dari sampulnya yang warna-warni, ilustrasi anak kecil, dan pemilihan font yang imut. Ternyata Luna pernah sedekat ini sama ayahnya, ya.

Kami lanjut keliling. Waktu ayahnya Luna berdiri di depan salah satu kios yang jaraknya lumayan jauh dari kami, aku mencondongkan tubuh ke telinga Luna dan berbisik, "Kamu utang banyak cerita loh sama aku."

Cewek itu mendongak ke arahku. "Cerita apa?"

"Waktu ketemu ayah kamu di kafe, kamu ngata-ngatain dia. Sekarang? Kenapa hubungan kalian tiba-tiba kayak bapak dan anak dari keluarga cemara?"

Luna tersenyum simpul sambil melihat-lihat novel di tangannya. Ia mendesah pelan, mengembalikan novel itu ke tumpukan di salah satu kios dan lanjut berjalan di lorong pasar. "Aku ... ngerasa ucapan Dokter Martha benar. Kayaknya enggak ada salahnya kalau aku ngasih kesempatan kedua buat Ayah, demi diriku sendiri supaya aku bisa lebih tenang. Nanti sepulangnya dari sini aku cerita. Oke?"

Aku ngangguk, terus ngekorin Luna yang lagi liat-liat kios buku yang lain. Cewek itu berhenti lagi di satu kios yang juga menjual novel-novel lama. Senyumnya melebar, maniknya berkilau ketika melihat tumpukan buku, persis kayak pecinta konspirasi yang enggak sengaja nemuin reruntuhan Atlantis yang hilang. Ia mengambil setiap buku yang dianggapnya menarik. Terkadang ia membalik lembarannya untuk membaca sekilas isinya.

Enggak bisa, Luna terlalu gemes. Tanpa sepengetahuannya, aku mundur dikit, ngeluarin ponsel dari saku dan buka kamera. Aku coba mengatur komposisi supaya figur mungilnya pas di dalam frame. Enggak lupa mempertimbangkan background-nya. Aku menekan shutter di layar beberapa kali sambil tersenyum. Kalau aku edit fotonya pakai filter yang pas, foto candid Luna yang lagi hunting novel di antara tumpukan buku-buku jadul bakalan kelihatan kayak foto-foto vintage.

Emang kalau objeknya udah cantik dari sananya, mau diapa-apain juga hasilnya bakalan cakep.

Sambil melihat-lihat, ia memecah keheningan. "Aku juga jadi suka baca gara-gara Ayah."

"Oh iya?" Dengan cepat aku keluar dari aplikasi kamera dan masukin ponsel lagi ke saku.

Cewek itu mengangguk. "Waktu kecil, ayah udah ngenalin aku sama buku. Karena dia sendiri emang hobi baca dan kerja di kantor penerbitan, sih." Ia menjeda sebentar. "Aku seneng banget Ayah nurunin hobi bacanya ke aku. Aku bisa tenggelam berjam-jam di dunia fiksi kalau udah baca buku. Rasanya ... gimana ya? Pokoknya hidupku enggak ngebosenin. Aku selalu ngerasa jadi tokoh utama dalam setiap novel yang kubaca. Aku bisa jadi jurnalis, anak SMA, budak korporat SCBD, bahkan penyintas zombie apocalypse atau cewek yang bisa telekinesis. Semacam punya banyak kehidupan yang menarik buat dijalani."

"Kamu sesuka itu ya sama novel?"

Luna mengangguk antusias untuk kesekian kalinya. "Banget. Waktu awal depresi aku sempat kena reading slump, tapi sekarang aku udah mulai bisa baca buku dan aku ngerasa jadi diriku yang dulu lagi. Aku seneng banget. Itu berarti aku udah mulai pulih, 'kan?" Luna mendongak ke arahku dengan senyum yang amat manis. Ekspresi wajahnya ... gemesin banget, kayak anak anjing yang happy diajak main sama majikannya.

Kutatap kedua iris cokelat tuanya dan senyumku pun mengembang. Ngedengerin Luna ngoceh tentang dunianya bikin hatiku hangat. Apalagi ia cerita dengan ekspresi berseri-seri kayak gini. Mana dia ngajakin aku ke tempat yang pastinya sakral buat dia. Aku jadi ngerasa diizinin masuk ke kehidupannya. Enggak usah ditanya gimana perasaanku sekarang.

Kalau kuingat-ingat, Luna yang dulu tuh wajahnya selalu ketutup awan mendung. Boro-boro antusias, senyum pun enggak. Luna pernah kehilangan semangat hidup, tetapi kini binar di matanya telah kembali.

Ah, ternyata Luna udah berubah banyak, ya? Kalau kuingat-ingat lagi, entah sejak kapan aku berhenti ngelihat Luna sebagai dia. Sosok yang kulihat sekarang ya Luna, Luna Swastamita yang kukenal di pernikahan Mas Dika. Detik ini, aku pun sadar kalau aku telah menyukainya sebagai individu sendiri, bukan karena ia sosok yang mirip seseorang dari masa lalu.

Ngelihat dia seceria ini bikin dadaku meletup-letup. Sekarang dia udah mulai bergerak menuju versi terbaiknya, dan aku pengin ada di sampingnya terus, nemenin dia sampai benar-benar pulih.

"Kak?"

Aku berkedip beberapa kali. Tanpa sadar aku melamun lama sekali. "Iya?"

"Kakak lagi ngelamunin apa sih?"

"Oh, enggak." Aku balas tersenyum dan mencubit pelan pipinya. "Seneng aja liat kamu excited ngoceh kayak bocil yang abis dikasih permen kapas."

Luna langsung salah tingkah. Ia menepis tanganku dari pipinya, lalu celingak-celinguk. "Kak! Nanti kalau Ayah liat gimana?" bisiknya.

Aku pun terkikih. Waktu noleh ke arah ayah Luna di kejauhan, pria itu masih asyik membuka-buka lembaran buku di depan kios lain. Kami lanjut keliling. Diam-diam aku ngamatin novel-novel yang menarik perhatian Luna, termasuk judul dan nama pengarangnya.

"Selain new adult, suka baca novel genre apa lagi, Lun?" tanyaku sambil berjalan.

Luna bergumam sebentar. "Banyak, sih. Aku baca semua genre yang alurnya menurutku menarik, kecuali iyamisu dan dark romance." Cewek itu berhenti di salah satu kios dan ngambil novel bersampul merah muda dari rak. Senyumnya mengembang. "Tapi paling suka new adult sama misteri, apalagi yang plot twist-nya keren."

"Kalau romance biasa suka?" tanyaku lagi.

"Aku kurang suka novel yang murni romance." Luna ngebaca blurb di sampul belakang novel, terus ngembaliin benda itu tempatnya. Kami lanjut jalan di sepanjang lorong. "Kalau romance-nya sebagai subgenre masih oke. Atau ... alurnya harus menarik dan antimainstream, baru aku baca. Lebih bagus lagi kalau banyak kutipan yang Instagram-able." Lalu cewek itu mendongak padaku. "Kak Elio suka baca novel juga?"

Aku menggeleng. "Aku enggak baca fiksi, tapi pernah baca buku self improvement."

Kedua manik Luna membola. "Beneran? Wah, berat banget bacaannya!"

"Halah, aku baca pun gara-gara FOMO doang!" Aku tertawa getir. "Waktu itu di circle kampusku lagi hype baca buku self improvement. Aku ikut-ikutan aja. Ilmunya masuk ke otak sih, tapi buat baca buku lain enggak dulu deh. Kalau buat belajar hal baru, aku lebih suka lewat Youtube. Buat nikmatin cerita fiksi, aku juga lebih suka nonton film."

Luna mengangguk-angguk. Enggak kerasa kami udah keliling lebih dari satu setengah jam. Setelah ngejelajahin Toko Buku Palasari, kami makan siang di restoran Padang keluarga. Kadang, Luna emang masih kelihatan canggung sama ayahnya, tapi aku enggak ngelihat tatapan benci di matanya. Beda banget pas waktu mereka cekcok di depan kafe. Enggak seakrab hubunganku sama Bapak, tetapi hubungan keduanya termasuk oke, mengingat keluarga mereka pernah retak.

Abis makan, ayah Luna pamit pulang duluan gara-gara mendadak harus ke kantor lagi, sedangkan aku dan Luna setuju buat diam sebentar di restoran. Lambung kami butuh waktu buat mencerna makanan.

"Gimana, Lun? Seneng nyari-nyari buku bareng ayah kamu?" tanyaku.

"Lumayan sih." Cewek itu menyeruput teh manisnya. "Aku jadi nostalgia ke masa kecil dulu waktu sering ke Palasari sama Ayah."

Aku pun tersenyum. "Syukurlah. Aku tuh seneng liat kamu ceria kayak gini."

"Emang biasanya gimana?" tanyanya polos.

Aku mengubah ekspresi wajah menjadi semuram mungkin, meniru Luna waktu masih depresi berat. Mataku pun kubuat sayu dan bibirku kutekuk. "Biasanya wajahmu kayak gini."

Luna pun kaget. "Eh? Beneran sesuram itu?" Lah? Emangnya sehari-hari dia enggak ngaca?

Kuubah wajahku menjadi normal kembali dan tertawa. "Beneran. Tapi ya udahlah, enggak usah dipikirin. Sekarang kamu udah jauh lebih baik, kok."

Luna lanjut cerita. "Aku juga inget waktu pergi ke akuarium sama Ayah. Udah lama banget, kayaknya waktu SD. Waktu itu aku liat pertunjukan mermaid sama lumba-lumba gitu. Jadi kangen. Kalau Ayah kuajak ke Jakarta lagi mau enggak, ya? Ayah 'kan sibuk."

"Jakarta Aquarium, ya?"

"Bukan. Yang di Ancol itu loh, Kak."

"Oh, kalau yang di Ancol juga dulu aku pernah, tapi yang di Jakarta Aquarium belum." Tiba-tiba saja terpikirkan ide yang begitu cemerlang. Wajahku langsung cerah. "Kita ke sana, yuk!"

Cewek itu mengangkat kedua alis. "Eh?"

"Refreshing lah sesekali. Capek 'kan hidup jadi orang dewasa yang tiap hari cuma mikirin duit, kerja, duit lagi?"

"Yuk!" seru cewek itu tanpa ba-bi-bu. "Aku capek banget liat kue basah dan pastry tiap hari. Aku mau liat-liat ikan buat nyegerin mata!"

Melihat tingkahnya yang menggemaskan aku pun tertawa. "Oke. Minggu depan kita berangkat, ya?"

Dukung Serene Night dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟

5 Oktober 2024

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro