Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

25 | Luna

Sebagai anak tunggal, aku tidak pernah punya seseorang untuk diajak bermain. Orang lain biasa menceritakan segala hal dengan saudara-saudaranya, tetapi tempatku berbagi keluh kesah hanyalah Ayah. Bagaimana hariku di sekolah bersama teman-teman, bagaimana sulitnya mengejar pelajaran di sekolah, bagaimana cerita dari kartun favorit yang ada di televisi, semuanya kuceritakan pada Ayah.

Bisa dibilang, Ayah adalah sahabatku.

Waktu salah satu temanku menginjak usia delapan tahun, aku mendatangi pesta ulang tahunnya. Acara itu begitu mewah dan kue ulang tahunnya matcha cheesecake, besar pula, panjang dan lebarnya sekitar setengah meter! Setelah dewasa dan berkecimpung di bisnis kuliner, aku jauh lebih kagum lagi karena baru tahu berapa kisaran harganya. Tidak murah, tentu saja.

Aku menceritakan segalanya pada Ayah tentang hari itu. Game-game seru, badut-badut lucu, dekorasi balon warna-warni, serta betapa enaknya kue ulang tahun temanku itu. Aku mencicipi matcha cheesecake untuk yang pertama kali di sana dan langsung jatuh cinta. Sebenarnya, aku tidak berharap untuk dibelikan. Bunda juga pernah mencoba membuatnya, tetapi rasanya tidak seenak itu. Keahlian baking kami memang bukan di kue-kue seperti cheesecake, melainkan lebih ke kue-kue basah dan pastry.

Ketika berusia sembilan tahun, tiba-tiba saja Ayah membelikanku matcha cheesecake meskipun tidak sampai setengah meter, dan hal itu terus berulang setiap tahun. Sejak saat itulah matcha cheesecake menjadi kue yang wajib ada di setiap ulang tahunku. Aku tidak terlalu ingat bagaimana rasa cheesecake di ulang tahun temanku. Tentu saja enak, tetapi bagiku saat itu, cheesecake yang dibeli Ayah masih jauh lebih enak.

Dulu, aku juga pernah membuat perjanjian dengan Ayah. Jika ranking-ku di akhir semester mencapai tiga besar, Ayah akan membelikanku roller blade yang amat kuinginkan. Namun, sayangnya saat itu aku hanya mampu meraih ranking lima di kelas. Meskipun begitu, Ayah tetap membelikannya.

"Ini hadiah dari Ayah karena Luna udah berusaha keras meskipun belum mencapai target. Enggak apa-apa, kita coba lagi semester depan, ya." Ayah berkata dengan senyum sehangat mentari pagi.

Aku yang saat itu masih berusia sepuluh tahun tentu amat bahagia. Liburan akhir semester menjadi hal yang kutunggu-tunggu karena bisa seharian berlatih roller blade dengan Ayah. Kami berlatih di jalanan dekat rumah yang aspalnya bagus. Pertama, Ayah mengajariku pelan-pelan sambil menuntun kedua tanganku dari depan.

Percobaan selanjutnya, aku harus mencoba roller blade-nya sendirian. Lima meter pertama aku bisa meluncur dengan lancar. Namun, setelahnya aku kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Ayah terkejut. Ia pun berlari kecil menghampiriku dan membantuku untuk bangun.

"Kamu enggak apa-apa, Sayang?" tanyanya khawatir.

Aku mengangguk pelan, sedikit meringis. Kemudian kusingkirkan debu dan kerikil di kedua tanganku. "Enggak apa-apa, Yah, tapi lututku sakit ...."

"Coba Ayah liat." Ayah berjongkok dan menyingkap celana jeans yang kukenakan agar lututku terekspos. "Oh ... celananya bolong sedikit, terus lututnya berdarah ternyata."

"Celananya bolong?" tanyaku heboh, kemudian merengut. "Yaaah ... ini jeans yang waktu itu Ayah beliin ...."

Ayah pun tertawa kecil. "Tenang, nanti Ayah beliin lagi. Sekarang, obatin lukanya dulu, yuk!"

Sambil menahan perih, aku berjalan sedikit pincang untuk kembali ke rumah. Ayah menggandeng tanganku dan menenteng roller blade-ku dengan tangannya yang lain. Sesampainya di depan pintu, Bunda yang tahu aku terjatuh langsung ikut heboh.

"Astaghfirullah, Luna, kok bisa jatuh? Haduh, tuh 'kan! Udah Bunda bilang kalau roller blade itu bahaya—"

"Udah, Bun. Anaknya enggak apa-apa, kok." Ayah menghentikan ucapan Bunda sambil tersenyum. Suaranya begitu lembut. "Ayah mau obatin Luna dulu, ya."

Aku duduk selonjoran di sofa ruang keluarga. Bunda membawakan P3K untuk Ayah dan pria itu pun menerimanya. Pria itu mulai meneteskan obat di sekitar lukaku. Ternyata kulitku sampai terkelupas. Pantas saja rasanya perih sekali.

Sekuat apa pun aku menahan sakit karena terjatuh, akhirnya gagal juga karena sensasi perih yang dihasilkan obat luka jauh lebih parah. Akhirnya, aku menangis tersedu-sedu ketika Ayah mengobatiku. Mau bagaimanapun, kala itu aku hanyalah seorang gadis kecil.

"Perih ...," rengekku.

"Sabar ya, biar cepet sembuh. Nangis aja enggak apa-apa," jawab Ayah.

"Aku enggak boleh nangis .... Aku kuat .... Tadi waktu jatuh aja aku enggak nangis, 'kan?" kataku sambil terisak.

Ayah mendongak, menatapku dengan bingung. "Loh, siapa yang bilang Luna enggak boleh nangis?"

"Kata ... Bunda ...."

Pria itu mendesah pelan. Ia tersenyum, lalu elusan yang amat lembut menyapa pucuk kepalaku. "Luna, nangis itu bukan tanda kelemahan, tetapi bentuk ungkapan emosi kita. Sama kayak senang atau marah, sedih juga harus diekspresikan. Kalau mau nangis, nangis aja. Orang paling kuat kayak Superman sekali pun boleh nangis kok."

"Jadi ... aku boleh nangis?"

"Kalau lagi sedih atau sakit ya boleh. Kamu boleh ngadu apa pun sama Ayah."

Kuusap air mataku sambil mengangguk pelan. Setelah Ayah menempelkan plester di lututku, barulah tangisku sedikit mereda.

Ya, Ayah adalah pahlawanku.

Di depan Ayah, aku lebih bebas mengekspresikan perasaanku. Berbeda dengan Bunda yang terkadang mengomeliku ketika berbuat salah. Maka karena itu, aku harus kuat dan jadi putri yang sempurna di hadapannya agar tidak dimarahi. Namun, di depan Ayah, aku bebas merengek selayaknya anak kecil. Tidak apa-apa menjadi tidak sempurna, karena aku tahu Ayah akan selalu mencintaiku.

*****

"Buka matamu!" perintah Dokter Martha lembut.

Ketika kegelapan memudar, tiba-tiba saja sudah ada sekotak tisu di hadapanku. Kuambil selembar tisu untuk mengelap air mataku yang jatuh. Kini, aku kembali ke ruang praktik.

Sekeras apa pun aku mencoba, aku ... tidak bisa membenci ayahku. Dia tempat terhangat untuk pulang, tempat teraman untuk berbagi cerita. Dia sahabat, pahlawan, sekaligus figur ayah yang ideal untukku.

"Saya ... punya masa kecil yang indah banget. Semuanya sempurna. Saya adalah gadis kecil yang paling bahagia di dunia .... Ayah kabulin semua keinginanku walaupun mahal .... Ayah juga selalu beliin cake spesial setiap saya ulang tahun .... Kalau Bunda marahin saya karena bandel, Ayah enggak pernah marah, tapi nasihatin saya dengan lembut .... Setiap saya kebingungan ngerjain soal matematika, Ayah selalu ngajarin pelan-pelan sampai bisa. Hingga suatu hari ... Ayah kepergok selingkuh dan hati saya hancur berkeping-keping ...," kataku sambil terisak-isak.

"Oke. Mungkin dia suami yang buruk, tapi dia bukan ayah yang buruk, 'kan?" tanya Dokter Martha.

Aku mengangguk, masih sesenggukan sambil mengusap air mata dengan tisu. "Iya, Dok. Dia ... ayah paling baik yang pernah saya kenal."

"Jadi ... maukah kamu maafin ayahmu? Mungkin dia enggak pantas mendapat maaf dari kamu, tapi maukah kamu maafin dia demi kedamaian hatimu?" pinta wanita berambut bob itu.

Aku tidak bisa langsung menjawab dan Dokter Martha memaklumi. Beliau paham aku membutuhkan banyak waktu untuk berpikir. Sesi konsultasi pun berakhir. Aku keluar dari ruang praktik dan berjalan menuju kasir untuk membayar jasa konsultasi. Aku tidak diberi obat tambahan karena stoknya masih tersisa banyak di rumah. Namun, ketika hendak mengeluarkan dompet, wanita di meja kasir menghentikanku.

"Biaya konsultasi hari udah di-cover sama Dokter Martha."

Spontan aku mengernyit. "Maksudnya?"

"Gratis ya, enggak perlu bayar." Wanita itu tersenyum ramah. "Nanti dua minggu lagi langsung aja datang ke sini ya, konsultasi dengan BPJS kayak biasa."

Aku menganga, kehilangan kata-kata. Mengapa Dokter Martha melakukan itu? Aku kembali ke ruang praktik, tetapi ruangan itu sudah kosong. Akhirnya saat perjalanan pulang naik ojek online, aku bertanya lewat WhatsApp. Balasannya datang beberapa menit kemudian.

Dokter Martha
Anggap saja ini hadiah dari saya karena kamu sudah jadi gadis yang berani
Berani mempertimbangkan untuk memaafkan orang yang pernah menyakiti kamu dan bundamu di masa lalu

Jawaban Dokter Martha membuat senyumku melebar. Aku mengunci ponsel dan menerawang jauh ke arah jalanan yang padat merayap. Rupanya ketika aku bersujud dan menangis, Tuhan menolongku sekali lagi. Aku dipertemukan oleh Dokter Martha malam ini untuk mendapatkan jawaban atas kegelisahanku. Rasa syukur dan bahagia menjalar di seluruh tubuh, membuatku merasakan sensasi hangat meskipun udara malam Bandung sedang dingin-dinginnya.

Ah, kapan terakhir kali aku merasa sesenang ini, ya?

Dukung Serene Night dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟

14 September 2024

*****

Happy long weekend!! Aaaaa aku seneng banget bisa ngebut nulis Serene Night tanpa harus mikirin kerjaan kantor. Moga-moga aku bisa nabung beberapa chapter ke depan. Bisa baca novel yang udah lama nganggur juga.

Kalau kalian long weekend ini punya rencana apa nih?

Anyway, aku berkaca-kaca pas ngedit bab ini, padahal aku sebel banget sama ayahnya Luna🥹

Moga-moga kesan heartwarming-nya dapet ya! See you in the next chapter~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro