22 | Elio
Aku lagi rebahan di kasur, doomscrolling TikTok sampai bego waktu Luna nelpon. Jantungku rasanya mau copot waktu lihat namanya di layar. Tumben banget dia ngehubungin duluan. Jangan-jangan .... Luna udah mulai ada rasa sama aku? Namun, ketika kuangkat, kudengar ia menangis. Muka cengar-cengirku langsung berubah serius.
Hah? Luna kenapa?
Waktu Luna bilang enggak mau ada di sana—entah di mana, aku langsung inisiatif jemput dia. Aku lompat dari kasur dan berlari menuju gantungan di pintu, mengambil hoodie dan memakainya. Jempol kakiku enggak sengaja menendang kaki meja belajar dan termos stainless steel jatuh ke lantai dengan bunyi nyaring. Ah, bodo amat! Sambil menenangkan Luna di telepon, aku ngambil kunci motor dan langsung tancap gas menuju lokasi.
Sepanjang perjalanan pikiranku udah ke mana-mana. Aku memacu kendaraan secepat yang kubisa. Dulu, waktu dia hangout sama teman-temannya sampai larut malam dan aku enggak bisa jemput, kejadian yang amat buruk terjadi dan aku kehilangan sosoknya untuk selamanya.
Aku enggak mau kejadian buruk menimpa Luna juga.
Singkat cerita, aku udah ketemu Luna dan menjemputnya. Kutanya apa cewek itu mau ke IGD, tetapi ia hanya menggeleng. Kutanya apakah mau kuantar pulang, ia masih juga menggeleng. Dia enggak ngomong sepatah kata pun, udah kayak Ariel yang suaranya dicuri wanita-gendut-setengah-gurita-yang-jahat itu. Entahlah namanya siapa, enggak peduli juga. Intinya, aku enggak tau harus ngapain lagi.
Kami berkendara melewati Jalan Surapati. Pandanganku tertuju pada Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat. Kalau enggak salah di sana ada taman. Mungkin Luna bisa agak tenang jika kuajak ke sana. Akhirnya, aku memarkirkan motor dan Luna pun turun. Ia enggak nanya kenapa aku berhenti di tempat ini. Masih membisu, ia pun mengekoriku.
Aku ingin protes pada siapa pun yang membangun tempat ini. Penerangan di sini amat minim, bahkan ada beberapa pojokan yang benar-benar gelap. Luna enggak akan ngira aku cowok mesum yang sengaja nyulik dia ke tempat remang-remang, 'kan?
Akhirnya, kuajak Luna duduk di bangku taman yang di sekitarnya banyak penerangan. Dengan gontai ia duduk di sebelahku. Sejak tadi ia menunduk dan pandangannya kosong. Matanya terlihat sembap. Luna kayak orang linglung yang baru kena hipnotis.
"Kenapa tadi kamu nangis? Terus, kenapa bisa mual?" kutanya begitu, tetapi ia masih bergeming. "Lun, aku enggak tahu harus apa kalau kamu diem terus."
Tiba-tiba aja Luna ngeluarin reaksi yang enggak terduga. Ia menangis terisak-isak. Aku panik, lalu celingak-celinguk dan melihat semua orang menatapku curiga, seolah-olah aku ini cowok bejat yang abis ngapa-ngapain anak orang. Aku mendesis dan berusaha menenangkan cewek itu, tetapi tangisnya semakin menjadi.
Kampret! Aku harus gimana? Emang sih, aku udah beberapa kali pacaran dan udah pengalaman nenangin cewek yang lagi sedih, tapi kalau reaksinya spontan begini otakku jadi blank. Refleks aku mengulurkan tangan, lalu menepuk-nepuk punggungnya canggung.
Apaan sih, Elio, enggak romantis amat!
Pelan-pelan kuelus pucuk kepalanya, lalu punggungnya. Isakannya memelan. Tiba-tiba saja kepalanya jatuh ke dadaku. Luna menangis di sana. Wajahnya terbenam di hoodie-ku.
OtakElio.exe has stopped working. Jantungku berdebar hebat dan tubuhku mematung di sana. Dadaku rasanya hangat. Aku senang akhirnya kami bisa kontak fisik sedekat ini, tapi enggak gini juga, dong!
Untuk beberapa menit kubiarkan ia menangis sambil kuelus punggungnya. Setelah isakannya mereda, Luna menegakkan tubuh sambil mengusap-usap mata.
"Maaf ya, Kak ...," katanya lirih.
"Iya, enggak apa-apa," kataku sambil menyentuh dada. Jantungku masih bertalu.
Hening untuk sejenak.
"Udah siap cerita?" tanyaku. Walaupun penasaran dan khawatir setengah mati, aku mencoba untuk tenang. Membombardirnya dengan banyak pertanyaan pasti bikin dia enggak nyaman. Salah nanya dikit bisa-bisa dia mewek kejer kayak tadi.
"Tadi waktu reuni sama anak-anak kampus terus ngobrol, tiba-tiba mual gitu. Sekarang udah ilang, kok. Kayaknya gara-gara anxious aja." Luna mulai bercerita. "Aku ... nyesel ikut reuni."
"Oh, tadi kamu reuni? Kenapa nyesel?" tanyaku selembut mungkin.
"Orang-orang tuh sombong dan self-centered, ya? Mereka pamer kerja di BUMN lah, startup lah, jadi penerus perusahaan lah. Emang cuma aku doang yang masih jadi beban negara gara-gara nganggur!" katanya kesal.
"Siapa yang self-centered? Teman-teman kamu?" tanyaku lagi.
Luna mengangguk cepat. "Padahal ya, temanku yang kerja di BUMN dan startup, waktu kuliahnya enggak lebih rajin dari aku. Aku yakin mereka pakai orang dalam." Lalu cewek itu mengembuskan napas berat dan menutup wajah. "Dunia tuh enggak adil! Aku yang murni usaha tanpa orang dalam, setahun penuh cari kerja malah enggak dapet-dapet!" Kemudian ia menyugar rambut. "Capek ... jadi orang yang enggak berguna."
"Lun—"
"Kak, aku lagi enggak mau dengerin ceramah. Bisa dengerin aku curhat aja, enggak?" katanya judes.
Waduh, dia beneran enggak mau dengerin, padahal aku udah siapin jawaban selogis mungkin buat masalahanya. Oke kalau gitu, aku harus validasi dulu perasaannya, 'kan?
"Ya ... aku enggak nyalahin kamu, sih. Cari kerja zaman sekarang emang susah, apalagi perusahaan maunya kandidat yang berpengalaman dua tahun, tapi usia maksimalnya dua puluh lima tahun. Kalau tau bakalan gini sih, mending nyari kerja dari umur enam tahun. Iya, enggak? Apa itu daftar SD? Langsung aja daftar BUMN sekalian!" ujarku bercanda.
"Iya, 'kan?" katanya berapi-api. Lah, dia malah nanggapin serius. "Perusahaan tuh kenapa sih, enggak mau kasih fresh graduate kesempatan buat belajar dulu? Waktu pertama kali masuk kerja, kita juga pasti adaptasi dulu, 'kan? Enggak langsung mahir? Ah, enggak tahu deh! Intinya aku kesel banget sama teman-temanku yang lebih malas dari aku tapi dapet kerjaan enak!"
Kubiarin Luna ngomel-ngomel sendiri, soalnya gemesin. Namun, lama kelamaan dia diam juga dan keheningan panjang meliputi kami.
Waktu cewek itu udah tenang, aku berbicara kembali. "Lun, kamu tau enggak gimana konsep rezeki?"
Luna menoleh padaku, lalu menggeleng.
"Rezeki orang tuh beda-beda. Mungkin temanmu malas-malasan waktu kuliah, tapi ternyata dia diterima di perusahaan bagus, gaji dua digit. Itu rezeki dia. Kita enggak tau apa yang udah Tuhan ambil dari dia buat dapetin rezeki itu. Kamu? Walaupun enggak bisa bayar psikiater sendiri, tapi ada BPJS. Orang-orang se-Indonesia patungan buat bantu kamu berobat. Aku? Mungkin rezekiku dari fee hasil freelance, sebagiannya lagi dari dana pensiunan Bapak.
"Intinya, rezeki itu enggak dari satu sumber aja. Rezeki yang kita kira cuma berupa gaji, ternyata lebih luas dari itu." Aku melanjutkan.
"Kakak mau bilang kalau kesehatan itu rezeki, 'kan? Terus keluarga yang utuh, teman-teman yang baik? Apa kabar aku, Kak? Aku depresi. Orang tuaku cerai. Terus, teman-temanku nyebelin," balasnya sewot.
"Aku enggak bilang gitu, kok." Aku menoleh padanya. "Oke, kalau bagimu rezeki itu berupa gaji bulanan. Aku pun setuju rezeki itu salah satunya adalah harta kekayaan. Tapi kamu sadar enggak, berapa banyak pelanggan yang datang buat beli pastry di Délice akhir-akhir ini?"
Luna tertegun. Aku kembali menjelaskan. "Rezeki yang kamu kira harus datang lewat tangan kamu, siapa tahu datang langsung ke tangan bundamu. Selama ini kamu menganggap kalau rezeki keluargamu hanya bisa diperoleh dari gajimu setelah mendapat pekerjaan. Tapi ... gimana kalau Tuhan ngasih rezekinya langsung lewat Délice?"
Cewek itu diam. Ia berkedip beberapa kali, seperti baru saja menyadari sesuatu.
"Mungkin, jadi budak korporat itu bukan rezekimu saat ini. Gimana kalau seandainya Tuhan mau kamu yang ngurusin media sosialnya Délice? Makanya kamu belum dikasih kerjaan kantoran supaya bisa fokus bantu-bantu bisnis bundamu?"
"Aku ... enggak pernah mikir sampai sana," ujarnya lirih. "Selama ini aku berpikir punya pekerjaan sendiri itu keren. Kalau ada yang nanya, aku bisa dengan bangga ngejawab kalau aku kerja di perusahaan A, gaji sekian, dan sebagainya."
Lalu Luna menoleh padaku dengan binar cerah di matanya. Ia tersenyum tipis. "Kalau gitu ... ketemu Kak Elio juga salah satu rezeki enggak langsung, ya?"
Jantungku kembali bertalu. Kenapa dia harus ngomong dengan tatapan manis kayak gitu, sih?
"Soalnya ...." Cewek itu menjeda perkataannya. "Kalau enggak ketemu Kak Elio, aku enggak akan belajar gimana cara optimasi media sosial supaya bisa bantu-bantu bisnisnya Bunda."
Kalau ini kartun, sebongkah 'batu bata realitas' udah jatuh menimpa kepalaku. Ah, harapanku ketinggian. Kirain Luna mau nyatain cinta.
"Tapi, setelah dipikir-pikir betul juga." Cewek itu tersenyum makin lebar dan manis. Kasian jantung mungilku, enggak kuat liat cewek seimut ini. "Makasih banget ya, Kak, udah ngeluangin waktu buat ngajarin aku soal media sosial, bikin konten, nemenin aku olahraga, dan ... sampai rela jemput cuma gara-gara aku nangis."
Apa ini? Ini bukan ungkapan cinta, tetapi hatiku jadi hangat. Mendengarnya, aku pun turut tersenyum. Aku senang kalau segala yang kulakukan bisa bikin dia ngerasa jauh lebih baik.
Setelah dipikir-pikir, ketemu Luna juga salah satu rezekiku. Sebelum jadi fotografer di pernikahan Mas Dika, aku sering lupa gimana rasanya bahagia. Aku selalu fokus pada kecelakaan itu dan apa yang udah Tuhan rebut dariku. Orang-orang bilang untuk mengikhlaskan kepergiannya supaya dia bisa tidur tenang. Ngomong sih gampang, soalnya bukan mereka yang kehilangan. Aku masih enggak mau nerima kenyataan itu dan tanpa sadar perasaan itulah yang menengelamkanku pelan-pelan.
Namun, kini aku belajar untuk berdamai dengan kehilangan. Karena Tuhan sebaik itu. Tuhan mengambil sesuatu yang berharga bagiku, tetapi rupanya Ia menggantinya dengan hal yang jauh lebih berharga.
Aku juga mau bilang kalau kehadirannya adalah rezeki buatku, tapi entah kenapa aku enggak mau dia tau. Aku simpan sendiri aja.
"Iya, sama-sama, Lun." Aku tersenyum sambil mengangguk. "Aku tuh seneng kalau kamu bisa ngandelin aku. Kalau butuh bantuan apa-apa atau cuma butuh didengerin, jangan segan buat ngehubungin aku, ya."
Cewek itu pun turut tersenyum dan mengangguk. Untuk beberapa saat ke depan, kami asyik mengamati para pengunjung taman dalam diam. Ada yang sedang duduk di bangku dan mengobrol seperti kami, mengasuh anaknya yang berlarian, serta duduk melingkar di atas rumput sintetis sambil makan cuanki.
"Kak ... apa aku enggak akan pernah sembuh, ya?" Tiba-tiba aja Luna bilang gitu dan bikin aku kaget.
"Kenapa kamu mikir gitu?"
"Soalnya ... waktu itu psikiaterku bilang progres pemulihanku bagus banget. Udah bisa beres-beres kamar, terus bisa nekunin hobi lagi kayak dulu. Tapi ... waktu ngeliat teman-temanku yang udah sukses tiba-tiba aku ngerasa worthless. Aku relapse lagi. Obatku juga belum dikurangi dosisnya."
Ah, aku tau persis gimana rasanya. Waktu kamu kira udah baik-baik aja, tiba-tiba trigger datang dan kamu terpuruk lagi. Itu yang kualami waktu datang ke tempat-tempat yang pernah kukunjungi bareng dia, atau enggak sengaja ngehirup parfum yang biasa dia pakai, atau ngelihat segala hal yang ngingetin aku sama dia. Aku kira udah bisa ngelepas kepergiannya, tapi ternyata aku malah ngerasa lebih kehilangan dari sebelumnya. Aku melalui semua up and down itu dua tahun lamanya.
Cewek itu mendesah panjang. "Capek. Aku pengin ngilang aja."
Pengin ngilang aja. Bagi orang depresi, itu sama dengan aku pengin mati aja. Lun, jangan bilang gitu dong. Aku ikut sakit hati dengerin suicidal thought-mu.
Di sini tuh ada orang yang sayang banget sama kamu. Masih banyak orang yang peduli. Kenapa kamu nganggap seisi dunia jahat sama kamu? Kehidupan emang berengsek, tapi bukan berarti enggak ada secercah harapan di hari esok, 'kan?
"Aku enggak pernah depresi, tapi pernah berduka. Satu yang kutahu, proses healing itu enggak linier, Lun," ujarku untuk memecah keheningan.
"Maksudnya?"
Aku menggambar garis di udara dengan telunjuk, dari arah bawah ke atas. "Bisa jadi hari ini kamu baik-baik aja." Lalu jariku meluncur ke bawah. "Tapi trigger datang dan kamu terpuruk lagi." Kugerakkan jari naik turun seperti grafik fungsi sinus dan cosinus yang bikin aku nyaris muntah pas SMA. "Lalu, kamu kembali ceria, eh besoknya sedih lagi, begitu seterusnya. Healing itu prosesnya naik turun, enggak lancar jaya kayak garis lurus gini." Terakhir, kugambar garis diagonal dari kiri ke kanan yang semakin lama semakin tinggi.
"Intinya, it's okay kalau hari ini kamu terpuruk, itu bukan berarti kamu enggak akan pernah sembuh. Luka batin itu enggak sama kayak luka fisik yang bisa kita kira-kira kapan sembuhnya. Luka batin setiap orang tingkat keparahannya macam-macam dan waktu untuk pulihnya pun berbeda-beda. Lagi pula, psikiatermu bilang progresmu bagus. Dia profesional, loh. Masa kamu enggak percaya sama dia?"
"Iya, sih." Luna mengangguk pelan.
Aku tersenyum sambil menatap iris cokelat tuanya cukup lama. Luna salah tingkah dan buang muka. Duh, makin gemes aja dia.
"Jangan terlalu keras sama diri sendiri. Kita enggak harus selalu ngerasa baik-baik aja. Yang terpenting kita enggak menyerah buat sembuh. Oke?" kataku lembut.
"Iya, Kak." Cewek itu menunduk sambil mengangguk.
Luna tuh sama persis kayak aku yang dulu. Aku pernah ngerasa serapuh ini meskipun enggak sampai suicidal. Kurang lebih aku tau gimana rasanya.
Aku ... harus mengembalikan senyum Luna, sebagaimana ia berhasil mengembalikan kebahagiaanku yang telah lama hilang.
Dukung Serene Night dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟
24 Agustus 2024
*****
PIlih 1 pil buat kamu minum!
Pil merah: Jadi Luna dan punya caregiver kayak Elio yang sayang banget sama kamu, tapi kamu harus depresi dulu
Pil biru: Isekai ke Serene Night jadi dirimu sendiri, sehat walafiat tanpa mental illness, tapi kamu harus rebut sendiri Elio dari Luna.
Hayo, pilih yang mana?
Kalau aku sih tinggal neguk pil biru. Aku kan authornya, tinggal bikin aja Elio suka sama aku. Seru kali ya jadi orang ketiga di cerita sendiri?🤣
Part ini panjang bangetttt nyaris 2000 words. Enggak bisa dipotong lagi soalnya takut feel-nya enggak berasa. Hope you enjoy it!
See you very soon, readers kesayanganku, apalagi yang rutin kasih vote dan comment💓
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro