Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

16 | Elio

"Bapak udah capek belum?" tanyaku setengah berteriak.

"Capek sih enggak terlalu, tapi laper!" balas Bapak yang sedang mengayuh pedal sepeda di sampingku.

Aku ngecek smartwatch di tangan kiriku. Hampir empat puluh lima menit kami sepedaan keliling komplek. Badan kami udah ngebakar lebih dari tiga ratus kalori, pantesan rasanya capek banget.

Lalu aku menoleh pada Bapak. "Kita sarapan dulu, yuk! Bapak mau apa?"

"Bubur ayam Mang Ujang yang di depan komplek aja," balasnya.

Kami bersepeda menuju depan komplek. Di depan jajaran ruko-ruko, banyak pedagang kaki lima yang membuka lapak, salah satunya Mang Ujang, tukang bubur langganan keluargaku. Kalau Ibu atau Bapak sakit, pasti langganan beli bubur di sini. Kami pun berhenti dan memarkirkan sepeda lipat di sebelah gerobak Mang Ujang. Matahari mulai merangkak naik. Sekarang masih jam sembilan pagi tetapi panasnya udah mulai menusuk kulit.

Bapak mengelap keringat di dahinya dengan handuk kecil, lalu masuk ke dalam tenda. Aku mengikutinya.

"Mang," sapa Bapak sambil menepuk pundak lawan bicaranya.

Pria paruh baya berusia sekitar lima puluh tahunan itu menoleh. Wajahnya mendadak cerah. "Eh, Pak Haji! Mangga calik (silakan duduk)!" balas Mang Ujang.

"Meser bubur ayam komplit weh dua. Hiji entong make ati ampela (beli bubur ayam komplit dua. Satu jangan pakai ati ampela)," kata Bapak.

Setelah Mang Ujang mengangguk, kami duduk di bangku kayu panjang yang kosong. Di samping kami, ada sepasang suami istri dan anak balitanya yang sedang asyik makan bubur, sedangkan meja satunya lagi masih kosong.

"Tumben sepi," ujar Bapak sambil celingak-celinguk.

"Sekarang 'kan hari Selasa, orang-orang pada kerja," balasku.

Bapak menegakkan tubuh dan mengatur napas. Salah satu tangannya ditopangkan ke kursi kayu panjang, satunya lagi diletakkan di perutnya yang naik turun. Mukanya berkerut kayak jeruk nipis yang habis diperas. "Capek juga ternyata. Lain kali sepedaannya setengah jam aja!" katanya sambil terengah-engah.

"Padahal kita enggak ngebut, loh. Ya udah, minggu depan setengah jam aja dulu, tapi harus rutin! Biar jantung Bapak terbiasa," balasku.

"Kamu sih enak masih muda, staminanya masih bagus. Lah, Bapak udah bau tanah," sinis pria itu.

"Tom Cruise yang sedikit lebih muda dari Bapak aja masih bisa syuting adegan ekstrim. Kuat-kuat aja, tuh. Makanya berhenti ngerokok!" sindirku.

Bapak membuka mulut, tapi enggak jadi membalas ucapanku gara-gara Mang Ujang datang bawa dua mangkuk bubur ayam. Satu yang komplit diletakkan di depanku dan satu yang enggak ada ati ampelanya diletakkan di hadapan Bapak.

Asap tipis mengepul dari atas piring. Wanginya menggoda, apalagi energi kami udah terkuras sehabis olahraga dan perut kami meronta-ronta minta diisi. Suwiran ayam, telur rebus, potongan cakwe, dan kerupuk menggunung di atas bubur. Enggak lupa taburan daun bawang, bawang goreng, dan kacang. Aku mengambil botol kecap dan sambal, menuangkannya ke piring dan mengaduk isinya sampai rata.

Iya, aku tim bubur diaduk. Tim bubur enggak diaduk pergi jauh-jauh. Kalian enggak diajak!

Kami menyantap sarapan dalam keheningan. Waktu bubur ayamku udah nyisa setengah, aku bertanya, "Kapan Bapak kontrol ke dokter lagi?"

"Kalau enggak salah minggu depan. Hari Rabu. Kenapa?" Bapak balik bertanya.

"Biar Elio bisa ngosongin jadwal." Aku menyuap sesendok penuh bubur ayam, lalu kukunyah sampai halus dan kutelan. "Teh Nadya 'kan lagi sibuk nyiapin launching produk baru. Biar Elio aja yang nganter."

"Studio fotomu aja kosong terus, El, ya pasti bisa lah nganter Bapak," kata Bapak santai.

Aku mendongak dan mengerutkan dahi. Ini maksudnya Bapak nyindir bisnisku yang krik-krik gitu? Mau marah, tapi kata-kata Bapak ada benarnya. Job lagi kosong banget akhir-akhir ini. Mana jomlo ngenes. Kebanyakan waktu luang, rebahan terus sampai membusuk di atas kasur.

"Atau ... kamu mau pacaran, ya?" goda Bapak tiba-tiba.

Aku berdecak. "Punya pacar aja enggak."

"Loh? Kata Ibu kamu punya cewek baru?"

"Dianya aja belum tentu mau sama Elio, Pak," balasku pahit.

Mendengarnya, Bapak terbahak. "Kamu harus belajar sama Bapak. Kamu tau 'kan kalau dulu Ibu tuh primadona di kampusnya? Eh, tapi Bapak berhasil dapetin ibumu. Padahal, saingan Bapak dulu ganteng-ganteng."

Resek. Bapak malah narsis. "Beda, Pak. Cewek ini kayaknya enggak gampang dideketin."

"Emang kenapa? Dia cantik banget? Kaya banget? Anak pejabat?"

Dia depresi, Pak. Cinta diri sendiri aja enggak, apalagi cinta orang lain, batinku.

Bapak lanjut makan sambil bicara, "Kamu jangan neko-neko kalau mau deketin cewek. Cewek itu cuma butuh disentuh sisi emosionalnya. Kalau dia lagi sedih atau marah, dengerin ceritanya, jangan malah ngasih saran. Cewek enggak butuh saran, mereka butuh divalidasi perasaannya. Ganteng sama kaya itu bonus. Kalau udah cinta mati, cewek mau nerima kamu apa adanya, El, yang penting selalu usaha buat bahagiain dia."

"Hmmm." Aku menjawab singkat sambil minum teh tawar.

"Tapi jangan ngajak cewek hidup susah juga. Kasihan anak orang, udah dibahagiain mati-matian sama ayahnya, eh malah kamu ajak hidup susah," lanjut Bapak.

Lah, Luna aja enggak ngakuin ayahnya, batinku lagi.

"Kamu jangan macarin anak orang dulu kalau belum mapan!" Bapak melotot sambil menunjukku dengan sendok.

"Iya, Pak. Ya ampun ...." Aku mencebik sambil mencomot kerupuk. Kumasukkan ke dalam mulut.

Tawa Bapak membahana. "Kalau gini keadaannya sih, sampai Bapak umur delapan puluh tahun kamu masih jadi bujang lapuk. Percuma ganteng tapi enggak bisa ngedeketin cewek."

"Elio enggak sengenes itu ya!" Aku melotot saking kesalnya, tapi Bapak malah lanjut ketawa. Awas aja kalau aku berhasil macarin Luna. Aku bawa ke rumah biar Bapak cengo anak bontotnya bisa dapetin cewek cakep.

Tapi kayaknya Bapak enggak akan kaget sih. Luna sama dia kan level cantiknya setara. Orang wajahnya aja plek-ketiplek. Waktu aku ngenalin dia ke Bapak, doi ekspresinya biasa aja.

Selesai sarapan, Bapak memberikan sejumlah uang pada Mang Ujang, sekalian pesan satu porsi lagi buat Ibu. Di-take away. Setelahnya, kami keluar tenda. Refleks, aku mengernyit sambil melindungi mata dengan telapak tangan. Matahari paginya silau banget, beda sama waktu masih di dalam tenda.

Aku menurunkan standar dan mendorong sepeda mengarah ke jalan raya. Sebelum menaiki sadel, terdengar suara Bapak. "El."

"Iya?"

"Banyak-banyak ngobrol lah sama Nadya. Kakakmu itu waktu awal merintis bisnis sama susahnya kayak kamu. Mana yang jualan kerudung udah banyak. Eh, sekarang udah lumayan besar. Reseller-nya banyak dan punya toko sendiri di mal."

"'Kan ada suntikan dana dari A Rafi," balasku. Enggak adil dong nyama-nyamain bisnis home photo studio-ku sama bisnis fashion punya Teh Nadya yang udah lumayan sukses. Teh Nadya aja merintis bisnis lebih dulu dariku. Garis start kami beda dan aku enggak punya privilege. Aku enggak punya investor kayak A Rafi.

"Terlepas dari modal, tapi strategi bisnis yang dilakuin kakakmu itu bagus. Dia juga rajin ikut pelatihan bisnis. Punya banyak modal tapi enggak punya strategi sama aja bohong."

Aku mendesah pelan. "Iya, deh."

"Jangan berantem mulu sama Nadya. Sekali-kali akur dong kalian tuh, ngobrolin bisnis bareng-bareng."

"Iyaaa!" Aku mulai naik pitam karena ocehan Bapak yang enggak berhenti-berhenti.

Ketika menoleh dan pandangan kami bertemu, Bapak justru menunjukkan ekspresi santai. Perlahan, senyumnya pun terbit. Rahangku yang awalnya tegang kini melunak. Alisku yang bertaut kini terpisah kembali. Otot-otot di wajahku ikut rileks dan emosi yang tadinya meluap-luap pun perlahan hilang. Ngelihat wajah Bapak ... enggak tau kenapa rasanya damai aja gitu.

Masih tersenyum, Bapak menepuk-nepuk pundakku, kemudian meremasnya lembut. "Pokoknya semangat ngembangin studio fotomu. Jangan gampang nyerah. Pengusaha harus punya mental baja. Bapak pasti dukung dan bantu doa, kok."

Setelahnya, Bapak berbalik menuju sepedanya. Beliau menurunkan standar dan menaiki sadel, lalu mengayuh pedal agar sepedanya berada sejajar dengan milikku. "Yuk! Takut kesiangan, kasihan Ibu belum sarapan," ujarnya.

Bapak mengayuh sepedanya menyeberangi jalan raya. Aku naik ke atas sadel dan mulai mengayuh untuk menyusul Bapak, enggak lupa lihat kanan-kiri sebelum nyeberang.

Sepanjang perjalanan pulang aku natap punggung Bapak yang mengayuh sepeda di depanku. Senyumku pun mengembang. Dadaku menghangat. Kadang-kadang Bapak emang nyebelin banget. Kekanak-kanakan pula. Kentara banget kalau Bapak enggak tau gimana cara ngungkapin dukungan dan rasa cinta buat anak-anaknya. Alih-alih ngomong dengan tutur kata lembut kayak Ibu, doi malah hobi ngata-ngatain anaknya. Mungkin ia kira kami bisa jadi lebih akrab kalau ngobrol santai, padahal enggak. Malah jadi ngeselin.

Namun, dari kata-kata terakhirnya, aku tau kalau Bapak care sama aku. Beliau peduli sama anak-anaknya, cuma enggak tahu aja gimana cara ngungkapinnya.

Aku juga baru sadar, punya orang tua lengkap yang selalu support apa pun yang sedang kuusahakan adalah sebuah privilege. Enggak semua orang punya. Aku emang enggak punya investor kayak A Rafi. Namun, doa dan dukungan dari kedua orang tuaku aja rasanya udah cukup.

Sesulit apa pun hari yang akan kujalani nanti, asal ada Bapak dan Ibu di sisiku, itu semua udah lebih dari cukup.

Dukung Serene Night dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟

6 Agustus 2024

*****

What do you think about bapaknya Elio?

Kalian punya orang tua yang love language-nya beda banget sama kalian ga sih? Atau misalnya cara mereka nunjukin kasih sayang tuh aneh, kayak bapaknya Elio gini?

Oh iya, aku mau ngabarin kalau prekuel cerita ini, Kapan Lulus, terpilih masuk ke reading list Spotlight Romance of August 2024🥹

Buat yang nganggur nungguin cerita ini update atau pengin baca yang ringan-ringan, bisa mampir ke Kapan Lulus ya, soalnya masih satu universe sama Serene Night. Biar kenal sama Mika dan Dika juga.

Makasih buat yang udah mampir ngasih vote dan comment banyak-banyak! See you very soon!💙

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro