10 | Luna
"Apa yang kamu rasain waktu kena serangan panik?"
"Takut, Dok. Rasanya kayak mau mati," ucapku lirih, "saya enggak mau ngerasa kayak gitu lagi."
Dokter Martha, psikiaterku, menulis sesuatu di lembar rekam medisku. Wanita berusia akhir tiga puluhan itu bertanya, "Selain itu, ada hal-hal lain yang membuatmu enggak nyaman? Atau ada hal menganggu yang terus kamu pikirkan?"
"Saya masih enggak nyaman kalau beraktivitas di luar. Maunya diam di kamar terus. Saya ini normal enggak sih, Dok?" tanyaku, "berinteraksi sama orang pun rasanya males. Enggak, daripada males .... lebih cenderung takut."
Wanita berambut bob itu mendongak padaku. "Apa yang kamu takutin?"
"Saya bingung gimana jelasinnya. Intinya saya takut ketemu orang lain. Semua orang lebih baik dari saya. Karier bagus, keluarga masih utuh, sehat-sehat enggak sakit kayak saya."
"Apa kamu takut dihakimi? Atau takut merasa tertinggal dari mereka?"
"Dua-duanya, Dok." Aku diam sejenak sambil mendesah. "Saya juga ngerasa gampang capek kalau keluar rumah, ketemu orang lain. Tapi, saya usahain buat pelan-pelan keluar rumah sesuai saran Dokter, kok."
"Dalam kondisi seperti kamu sekarang, sering lelah dan mengisolasi diri itu wajar karena senyawa kimia di otakmu sedang terganggu. Kamu enggak perlu memaksakan diri terlalu keras, dicoba aja pelan-pelan. Ketika kamu udah enggak gampang lelah dan enggak mengisolasi diri lagi, itu tandanya kamu sedang berjalan menuju kesembuhan," terang psikiaterku lembut.
"Tapi, pernah sekali saya enggak ngerasa terlalu capek waktu berinteraksi sama orang."
"Oh ya?" Dokter Martha sepertinya tertarik pada ceritaku.
"Waktu itu saya ketemu sama cowok yang mau bantuin optimasi medsos bisnisnya Bunda. Saya belajar banyak, dan saya lumayan senang bisa dapat ilmu baru, meskipun belum pede buat mengaplikasikannya. Awalnya saya risi karena kesannya dia SKSD, tapi setelah kenal lebih jauh, orangnya baik dan enggak judging, makanya saya ...." Aku melirik ke arah Dokter Martha yang duduk di hadapanku sambil tersenyum. Dari tatapannya ... sepertinya beliau memikirkan sesuatu tentangku. Tiba-tiba saja, kedua pipiku memanas. "T-tapi saya sama dia cuma partner bisnis!"
Psikiaterku itu tertawa kecil. "Rileks, Luna, saya enggak akan nge-judge kamu, kok." Aku mencebik, malu setengah mati. Lalu, Dokter Martha melanjutkan ucapannya. "Tandanya kamu nyaman dan percaya sama dia. Itu hal yang bagus. Saya berharap cowok yang kamu temui adalah orang yang baik."
Aku nyaman dan percaya sama Kak Elio? Masa iya?
Lalu, konseling pun berlanjut untuk beberapa puluh menit ke depan. Di akhir sesi, Dokter Martha menuliskan sesuatu di lembaran resep obat. "Antidepresannya diminum pagi-pagi kayak biasa, ya. Udah enggak ngerasa ngantuk, 'kan? Dosisnya belum saya turunin. Saya mau pantau kondisi kejiwaan kamu dulu untuk beberapa bulan ke depan. Kalau kamu ngerasa cemas banget, susah tidur, atau kena serangan panik lagi, boleh tambah dosis Alprazolam-nya. Setengah tablet aja."
Kepalaku rasanya pusing ketika Dokter Martha membicarakan obat-obatan itu. Setelah sesi konseling selesai, langsung saja aku keluar dari ruangan dan berjalan menuju instalasi farmasi untuk menebus obat. Setelah selesai mengantre di konter obat dan mengambil tiket antrean, tiba-tiba ada yang menepuk pundakku.
"Kak Elio?" Aku terkejut setengah mati ketika berbalik. Sedang apa dia di sini?
"Luna sakit apa? Ngapain di bagian farmasi?" tanyanya.
Aku harus bilang apa? Tidak mungkin aku bilang baru saja dari psikiater, 'kan? Aku pasti dianggap gila sama Kak Elio. Ayo Luna, berpikir! "Saya sering lemas dan pusing, ternyata ... anemia. Enggak seserius itu, kok. Cuma dikasih obat penambah darah."
"Hah?" Kak Elio menggaruk kepalanya, terlihat bingung. "Tapi, tadi kamu ...."
"Saya kenapa?" Aku bertanya balik.
"Enggak jadi," katanya lirih.
Kami berdiri di area tunggu instalasi farmasi dalam keheningan. Kak Elio memalingkan pandangan dariku. Begitu pula aku. Canggung sekali.
"Aku mau ke kafetaria nih. Kamu gimana, Lun?" Akhirnya Kak Elio membuka percakapan.
Aku melihat tiket di tanganku, kemudian ke layar antrean di depan konter obat. Masih ada lima belas nomor lagi. "Masih nungguin obat, Kak."
Kak Elio menunjuk pintu keluar area farmasi dengan jempolnya. "Mau ikut ke kafetaria? Kamu belum makan, 'kan? Aku beliin, ya."
Aku pun jadi gelagapan sendiri. "Eh, enggak usah, Kak—"
"Enggak apa-apa, Lun. Kamu lagi sakit, harus makan banyak!" potongnya. "Yuk!"
Karena cowok itu bersikeras, terpaksa aku ikut dengannya. Di meja prasmanan kafetaria, aku berusaha mencari lauk termurah, tetapi Kak Elio memaksaku untuk mengambil lima tusuk sate sapi dan cah brokoli. Ia menjelaskan, dua makanan itu bagus untuk mengobati anemia. Aku jadi menyesal sudah berbohong padanya.
Di meja makan, Kak Elio duduk di hadapanku sambil mengaduk-aduk nasi timnya. Ia juga membawa pulang tiga porsi nasi tim untuk keluarganya. Pandangannya sejak tadi menuju ke piring dan tidak berkedip sama sekali. Kami menikmati makan malam dalam keheningan. Sesekali, aku melirik ke arahnya, dan baru kusadari area bawah matanya membengkak.
Dia habis nangis?
"Kak?" Aku berusaha menyadarkannya dari lamunan yang panjang.
Cowok berkacamata itu berkedip, lalu mendongak ke arahku. "Iya, Lun?"
"Kakak sakit apa?" tanyaku karena penasaran. Siapa tahu aku bisa mendapat jawaban mengapa ia menangis.
"Enggak. Bapakku yang sakit." Cowok itu meletakkan sendoknya di piring dan mengembuskan napas berat. "Serangan jantung."
Aku spontan membelalak. "Terus, sekarang gimana keadaannya?"
"Udah bisa pulang dari IGD kok. Enggak fatal-fatal amat." Kak Elio tersenyum simpul, terlihat sekali dipaksakan. "Bapak emang suka ngeyel. Disuruh jaga pola makan dan berhenti ngerokok tapi enggak nurut."
"Oh ...." Aku manggut-manggut.
"Kenapa ya, bapak-bapak kalau ngerokok bisa sampai sebungkus sehari?" Cowok itu tiba-tiba mengeluh. "Kalau dipikir-pikir, apa enaknya ngerokok? Enak enggak, bikin penyakit iya."
"Emang Kak Elio enggak ngerokok?" tanyaku sambil mengunyah sate sapi.
Kak Elio tertawa remeh. "Enggak lah, ngapain? Buang-buang duit. Mending uangnya dipakai beli lensa kamera baru."
Zaman sekarang masih ada cowok yang tidak ngerokok? Green flag banget. Eh? Aku mikir apa, sih?
"Berarti sekarang keadaan bapaknya Kakak udah aman, ya?" Aku mengalihkan pembicaraaan.
"Harus rutin minum obat aja sih," jawabnya sambil menunduk dan lanjut mengaduk-aduk nasi timnya. "Aku bingung gimana harus nasihatin Bapak. Ganti pola makan sih oke. Bapak lumayan suka pilih-pilih makanan, tapi kalau di rumah cuma disediain makanan sehat sama Ibu, pasti dimakan juga. Kalau rokok? Susah. Dulu Bapak pernah punya niat berhenti. Sempat ngurangin rokok sedikit demi sedikit, tapi akhirnya sakau, terus balik ngerokok lagi."
"Emang susah, Kak, berhenti merokok tuh." Aku berkomentar.
Alis Kak Elio bertaut. Ia protes. "Tapi kalau dicoba harusnya bisa, 'kan?"
"Kalau udah bertahun-tahun susah. Harus minta bantuan dokter jiwa buat nanganin adiksinya," ujarku.
"Oh iya?"
Aku pun mengangguk. "Nanti dokter jiwa bakalan ngurangin kadar nikotin dalam tubuh sedikit demi sedikit lewat nicotine patch, jadi enggak akan kena efek withdrawal yang terlalu parah. Bapaknya Kak Elio juga bakalan dikasih psikoterapi supaya enggak tergoda buat merokok lagi."
"Kamu tau banyak ya soal dokter jiwa," puji Kak Elio.
Aku pun tersipu. "Gara-gara enggak sengaja googling, sih." Ya, sebelum memutuskan konseling dengan psikiater, aku sempat mencari tahu segalanya tentang dokter jiwa, termasuk ranah penyakit yang ditanganinya.
"Tadi rasanya jantungku mau copot." Kak Elio kembali bercerita. "Hari ini keadaan lagi baik-baik aja, tiba-tiba dapat chat kalau Bapak masuk IGD, dan aku telat tahu kabarnya. Aku sampai enggak konsen nyetir waktu ke rumah sakit dan hampir nabrak orang yang lagi nyebrang. Aku udah mikir ke mana-mana, gimana kalau Bapak enggak selamat? Gimana kalau aku jadi anak yatim? Gimana rasanya hidup tanpa figur seorang ayah? Aku enggak mau bayangin. Aku enggak mau maafin Bapak. Gara-gara Bapak hari ini aku enggak tenang!" cerocos cowok itu.
Gimana rasanya hidup tanpa figur ayah? Biasa aja, sih. Malah bagus kalau ayahmu berengsek, balasku dalam hati.
Selesai makan malam, obatku ternyata belum selesai diproses. Tersisa satu antrean lagi. Kak Elio bilang mau menemaniku. Meskipun aku mendesaknya untuk kembali ke IGD, cowok itu bersikeras untuk tinggal. Kini, kami duduk bersebelahan di kursi panjang area tunggu farmasi. Kak Elio duduk membungkuk. Kedua sikunya bertumpu pada paha. Jemarinya bertaut dan menopang dagu. Ia memandang ke arah lantai tanpa berkedip. Pikirannya seperti sedang tidak di sini.
Malam ini, Kak Elio memang talkative seperti biasanya. Namun, ketika obrolan terhenti, selalu ada keheningan yang panjang meliputi kami. Dengan hati-hati, kulirik wajahnya yang murung. Jelas ia mengkhawatirkan kondisi bapaknya. Mungkin inilah sebab mengapa ia menangis. Dari gaya bahasanya, mungkin ia marah pada bapaknya, tetapi dari lubuk hatinya, aku tahu ia begitu peduli.
Ternyata ... Kak Elio juga bisa rapuh sepertiku ya? Padahal biasanya cowok itu selalu bersikap positif. Kadang aku lupa kalau ia cuma manusia biasa.
Lamunanku buyar ketika mendengar suara bel. Aku melirik layar antrean di dekat konter obat dan tertera nomor atreanku di sana. Refleks, aku beranjak dari kursi kemudian berjalan cepat menuju konter obat.
Setelah mengambil obat, kami keluar dari area farmasi dan menelusuri lorong. Ketika sudah berada di dekat persimpangan IGD, Kak Elio berhenti berjalan dan berkata, "Makasih ya, Lun, udah dengerin aku cerita."
Mengapa cowok itu berterima kasih padaku? Aku merasa tidak melakukan apa-apa untuknya. Alih-alih balik bertanya, aku membalas, "Iya, Kak. Semoga bapaknya Kakak cepat pulih, ya."
"Amin." Kak Elio mengangguk. "Mau kuantar pulang, enggak?" tanyanya.
Aku menolak secara halus. "Enggak usah, Kak. Kasihan bapaknya Kakak nanti pulang sama siapa."
"Pulang sama Ibu dan kakakku. Kakakku tadi ngabarin, mereka udah OTW ke rumah kok," ucapnya santai.
Aku sukses dibuat melotot karenanya. "Eh? Terus, nasi timnya gimana?"
"Ya tinggal dibawa pulang aja. Mobil mereka kalau dibandingin sama motorku, lebih cepat motorku kok. Sampai di rumahnya pasti barengan," balas Kak Elio dengan wajah tanpa dosanya.
Astaga, mereka pasti kesal setengah mati menunggu cowok itu membeli nasi tim, sampai akhirnya pulang duluan. Aku meminta Kak Elio untuk menyampaikan permintaan maafku pada keluarganya karena sudah membuat mereka menunggu. Cowok itu membalas, "Ya elah, santai aja." Akhirnya, kami pun berpisah di parkiran motor.
Aku merutuki diri sendiri. Bukannya aku sudah bertekad untuk tidak berhubungan dekat dengan Kak Elio? Mengapa aku malah bersimpati padanya? Namun, Dokter Martha bilang jika aku nyaman dan percaya pada Kak Elio, itu hal yang bagus. Sebagian kecil dari hatiku memerintahkanku untuk menjauh. Namun, sebagian lagi setuju dengan perkataan Dokter Martha.
Kemudian perang batin ini terus berlanjut, bahkan ketika aku sudah siap memejamkan mata untuk tidur. Alhasil, aku harus menelan setengah tablet Alprazolam lantaran sulit terlelap.
Dukung Serene Night dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟
6 Juli 2024
*****
Di tahun 2027 nanti, psikiater bisa nanganin anemia juga. Keren ga tuh? 😂
In case kalian enggak tahu Alprazolam itu obat apa, biar enggak usah googling. Baik banget kan aku?
Di sini ada yang punya pengalaman minum Alprazolam juga?
Kalau kalian suka nonton film-film barat, Alprazolam ini tenar banget dengan merk dagang Xanax. Biasanya orang-orang barat konsumsi Xanax kalau cemas dan susah tidur. Di sana udah kayak Panadol bisa dibeli di apotek secara bebas😂 Tapi di Indonesia beda ya, harus pakai resep dokter, soalnya rawan disalahgunakan sebagai narkoba dan sangat-sangat bikin kecanduan.
Udah, sekian aja cuap-cuapnya. Sampai ketemu minggu depan!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro