Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

happy birthday, Sei!

Badai salju turun menghantam permukaan bumi. Malam yang sepi terasa makin sunyi kala udara dingin turut menemani. Suhu yang rendah terasa menusuk kulit sampai ke tulang-tulang. Bulan bersembunyi di balik awan gelap, seolah-olah tidak ingin melihat kelaraan seorang Akashi Seijuro.

Tangan Akashi yang kurus memegang tangan lainnya, yang lebih pucat dan bangsai dari tangan milik pemuda itu sendiri. Kedua manik merah Akashi menatap sendu tubuh ringkih gadis yang sekarang terbaring tak berdaya dengan berbagai alat medis yang terpasang di tubuhnya—mendukung jantung gadis itu untuk tetap bekerja.

Rasa perih kembali muncul saat Akashi menatap gadis yang masih berstatus sebagai kekasihnya itu jatuh tak sadarkan diri untuk yang ketiga hari. Seakan tidak mau bangun sampai Akashi mendapatkan balasan setimpal.

"Maafkan aku, [name]," tuturnya melontarkan permintaan maaf yang diikuti deretan permintaan maaf lainnya yang kembali diucapkan, seolah tak puas hanya dengan satu permintaan maaf. Karena sejatinya pemuda ini tahu bahwa dirinya tak pantas untuk dimaafkan. Bahwa semua perbuatannya, semua kesalahannya, tak mungkin bisa dilupakan begitu saja oleh [name].

"Aku tahu ... aku tak pantas dimaafkan."

Akashi menutup kedua matanya, seakan rasa perih di hatinya makin terasa saat dirinya akan meminta maaf. Saat dirinya ingin mengungkap semua kesalahannya, saat dirinya merasa menyesal. Seolah harga dirinya masih lebih tinggi daripada hubungannya dengan sosok gadis yang berbaring lemah sekarang ini.

"Tapi setidaknya, kumohon, bangunlah. Walau ... nantinya kita tidak dapat kembali lagi seperti dulu," sambung Akashi.

Ah, ia tahu dirinya lemah. Ia tahu dirinya yang lain sangat marah sekarang. Bahkan dirinya sendiri tahu, bahwa dirinya yang lain lebih baik dari sosok aslinya yang lemah dengan yang namanya cinta.

"Jika saja saat itu aku tidak bersamanya, jika saja saat itu aku merasa cukup denganmu, jika saja—"

Akashi mengembuskan napas berat, tangannya mengacak rambut merahnya kasar.

×

17th December.

[name] bersenandung riang, berjalan dengan lompatan-lompatan kecil seakan kurang bahagia masa kecilnya. Pandangannya beredar ke arah etalase-etalase toko yang dilewatinya, mencari sesuatu yang tampaknya menarik untuk dijadikan hadiah. Hadiah untuk Akashi sang kekasih tersayang.

Sampai saat dirinya melewati toko boneka, sepasang boneka burung kecil yang masing-masing berwarna merah dan [favourite color] yang dipamerkan di rak terdepan etalase.

Seulas senyum lebar muncul di wajah manisnya. Langsung saja gadis itu melangkahkan kakinya masuk ke dalam toko, ingin segera mendapatkan barang incarannya.

Suara bel kecil terdengar saat [name] membuka pintu, diiringi sebuah sambutan. "Irasshaimase, apa yang bisa saya bantu?" sambut pelayan ramah.

"Ah, aku me—are, Akane-chan? Kau bekerja di sini?" tanya [name] balik pada gadis berambut hitam sebahu itu.

Akane tersenyum tipis, tetapi berbeda dengan suaranya yang mengecam. "Ah, iya. Jadi, jangan beritahu siapapun, ya," ucap gadis itu dengan nada rendah.

[name] tersenyum canggung dan mengangguk-angguk. Ah, dirinya harus fokus! Ingat, hadiah untuk Akashi!

"Ano, Akane-chan. Aku menginginkan sepasang boneka burung yang ada di etalase. Itu terlihat sangat imut!"

Akane mengangguk, "Baiklah, akan kuambilkan. Apa hanya itu yang anda perlukan?" tanya Akane dengan sopan.

[name] mengangguk dan memperhatikan Akane yang tengah mengambilkan boneka incarannya.

"Akane-chan yang sekarang sangat berbeda dengan yang biasa kulihat," tutur [name] yang hanya ditanggapi Akane dengan deheman.

"Tentu saja. Aku harus ramah dan sopan kepada pelangganku." Akane membalas secukupnya. Akane membawa boneka yang diinginkan [name] ke meja kasir. "Lagipula aku tidak bisa bertindak seenaknya saja jika melayani seseorang. Dan, apa ada lagi yang anda perlukan?"

[name] menimang-nimang, dan mengangguk. "Tolong bungkuskan boneka itu. Aku ingin memberikannya kepada seseorang sebagai hadiah." [name] tersenyum tulus.

Akane menatapnya bingung. "Akashi?"

[name] tersentak, dan tersenyum kikuk. "Y-ya, begitulah ...."

Mendengar balasan [name], kedua alis Akane bertaut-bingung. "Kau baik sekali. Ah, aku lupa memberitahumu. Kemarin aku melihat Akashi bersama Momoi di taman sepulang kerja." Akane berucap, walau fokusnya tak berkurang saat membungkus boneka tadi.

"Tadi juga Akashi dan Momoi ke sini dan tampaknya mereka terkejut dengan kehadiranku."

[name] tersentak—sangat terkejut dengan perkataan Akane. Akashi, kekasihnya bersama dengan Momoi, yang berstatus sebagai sahabatnya?

"Ah, Akane-chan, terima kasih. Aku pergi dulu."

"Ya, terima kasih atas kunjungannya."

Setelah mengambil tas kertas berisi bingkisan miliknya, [name] langsung melangkah keluar. Dirinya masih terkejut akan ucapan Akane. Ingin tidak percaya, tapi ia harus, karena tahu Akane tidak akan berbohong apabila hal itu tidak menguntungkan dirinya sendiri.

Air matanya sudah mau keluar, sesak dirasa dada, walau belum satupun pernyataan Akane terbukti. Tapi diri teringat, sikap Akashi memang sudah berubah sejak beberapa minggu yang lalu, tepat sepulangnya Momoi dari London.

[name] berjalan lesu, tubuhnya terasa lunglai. Semangatnya hilang entah ke mana. Belum lagi udara dingin yang terasa, berhubung salju-salju kecil mulai turun. Gadis itu mengembuskan napasnya, lelah dengan drama yang terjadi di hidupnya akhir-akhir ini.

Sampai dirinya dibuat terkejut saat melihat Akashi di toko roti. Tapi, bukan kekasihnya yang membuatnya terkejut, melainkan keberadaan sahabat gulalinya di sebelah Akashi, bergelayutan manja di lengan pemuda itu.

[name] berlari masuk ke toko roti tersebut, menghampiri Akashi dan Momoi. "Sei! Apa yang kalian berdua lakukan di sini? Bersama?" pekik [name] sesampainya di dalam.

Momoi tampak gelagapan, sedang Akashi menatap [name] sinis, seakan [name]lah yang bersalah di sini.

"Kami? Membeli roti, tentu saja. Apa kau buta, hingga tak bisa melihatnya?" tanya Akashi sarkas.

[name] makin terkejut. Seorang oreshi membentaknya seperti ini? Lidahnya kelu, tak dapat membalas. Matanya sudah panas, ingin meloloskan butiran-butiran air mata. Tapi gadis ini tak ingin terlihat lemah. "Y-ya, aku bisa melihatnya. Maafkan aku, aku pergi." Dengan suara bergetar, [name] berucap. Lantas pergi saat tahu dirinya tak dipedulikan.

"Sei-kun, kenapa kau membiarkan [name] tahu?"

Akashi menatap Momoi lembut, "Agar dia tahu kalau aku mencintaimu, bukan dia. Karena yang tertarik kepadanya bukan aku, tetapi diriku yang lain," jelas Akashi, lalu mengecup dahi Momoi.

×

'Bodoh.'

'Aku tidak bodoh. Aku tidak mencintainya, itu saja.'

'Kau bodoh. Kau harus sadar itu, Oreshi. Kau bilang aku yang tertarik kepadanya, bukannya kau sama saja? Menjadikannya pelarian sampai Satsuki kembali. Seberapa bodohnya kau sampai membiarkan [name] yang begitu mencintaimu—tidak, kau tidak pantas untuknya.'

'...terserah kau bilang apa, Bokushi.'

'Cih, kau akan menyesal, lihat saja! Sekarang biarkan aku bangun. Aku ingin mengejar [name].'

Mata Akashi yang semula sewarna kini berganti menjadi dwiwarna. Akashi melepaskan tautan tangan Momoi yang tampak kebingungan dan berlari keluar.

Tidak memperdulikan tubuhnya yang merasa dingin, Akashi terus berlari, berlari mencari [name].

Dan semuanya terjadi dengan cepat. Saat [name] tertabrak oleh sebuah truk yang melaju cepat. Sepertinya sang sopir tak melihat [name] yang berjalan lesu karena salju yang menghalangi penglihatan.

Bola mata Akashi melebar. Akashi terkejut, begitupun dengan Momoi yang sempat menyusul pemuda itu.

"[NAME]-CHAN!" teriak Momoi sambil menghampiri tubuh [name] yang bersimbah darah, sedang sang sopir langsung turun dan tampak kebingungan.

Rahang Akashi mengeras. Dibawanya [name] ke dalam pelukannya,l dan segera berlari menuju rumah sakit, mengabaikan keberadaan Momoi dan sopir yang tampaknya masih dilanda kebingungan dan menunggu kedatangan pihak berwajib.

Bingkisan merah muda dengan pita putih yang terhempas di pinggir jalan menarik perhatian Momoi. Didekatinya bingkisan itu dan diambilnya sepucuk surat di sebelahnya.

Seketika Momoi menangis setelahnya, dipeluknya erat surat itu. "Maafkan aku, [name]-chan."

×

18th December

'Lihat apa yang kau perbuat.'

Oreshi yang sudah kembali menjadi sisi dominan mengusap kasar wajahnya.

'Karenamu, dia celaka. Kau memang tidak pantas untuknya.'

Pundak Akashi ditepuk seseorang. Pemuda itu mendongak dan mendapati Midorima tengah membetulkan letak kacamatanya.

"Kau beruntung dia baik-baik saja sekarang, Akashi. Dia sudah melewati masa kritisnya, nodayo." Midorima memilih duduk di sebelah Akashi.

"Aku tidak tahu masalah kalian, tapi sangat bagus bila kau meminta maaf, nodayo. Dia sempat menangis saat tak sadarkan diri dan mengigaukan namamu."

Akashi tersentak, menatap Midorima tak percaya. Midorima berdiri dan melangkah masuk ke ruang rawat [name] yang tak sadarkan diri sekarang.

Akashi belum siap untuk melihat keadaan [name].

Tapi, semua orang tahu.

Akashi menyesal.

×

19th December---

Akashi berjalan mondar-mandir di dalam ruang rawat [name], masih menunggu bangunnya sang gadis yang telah ia sakiti hatinya.

Akashi mendekati kasur [name], lalu duduk di pinggiran kasur. Tangannya menggenggam erat tangan [name] yang memakai infus.

Tok tok tok

Tiga ketukan pintu terdengar, cara yang sopan untuk meminta izin masuk. Akashi diam, enggan merespon. Pintu dibuka, menampilkan sosok gadis berambut merah muda dengan sebuah bingkisan dan buket bunga tulip di tangannya.

Momoi mendekati nakas dan meletakkan buket bunga yang dibawanya di sana. Lalu kakinya melangkah mendekati Akashi. Agak ragu, Momoi menyerahkan bingkisan yang juga dibawanya.

"Sei-kun, terimalah ini."

Akashi bungkam, diam tak berkutik. Momoi tampak menghela napas. "Ini bingkisan milik [name]-chan. Dan ya, ada sebuah surat di dalamnya. Sepertinya dia membelikan ini untukmu, begitu juga suratnya."

Pemuda itu langsung menoleh. Dengan buru-buru bingkisan itu diambilnya. Dibukanya, diambilnya surat dengan kertas dasar berwarna merah muda itu. Netranya bergulir membaca isi pesan yang hendak disampaikan [name] kepadanya.

[ Sei, selamat ulang tahun!

Aku tidak tahu ingin memberikan apa, jadi aku membelikanmu sebuah boneka (。'▽'。) Sepasang boneka, tepatnya. Dan itu terlihat seperti kita, loh~

Akashi langsung melihat boneka di dalam kotak. Sepasang boneka burung yang berpelukan dengan lambang hati di belakang mereka. Masing-masing burung itu memiliki warna merah dan warna kesukaan [name].

Kuharap kau suka. Dan Sei, aku minta maaf apabila aku memiliki salah kepadamu, ya? Soalnya Sei sudah berubah, tidak lagi seperti dulu. Malahan, Sei yang satu lagi terlihat lebih baik di mataku.

Tak sadar, setetes cairan bening telah lolos dari pelupuk mata Akashi. Momoi yang melihatnya hanya diam, tak bergeming. Sebenarnya merasa sangat bersalah, telah berniat mengkhianati sahabatnya sendiri.

Tapi, aku sayang kalian berdua! Maksudku, Sei yang Oreshi dan yang Bokushi, aku menyayangi kalian berdua. Kalian sangat imut, sebenarnya. Jadi, happy birthday, Sei! Aku harap kau tidak menemukan ini sebelum tanggal ulang tahunmu.

Kekasihmu, [full name]. ]

"Apa yang selama ini ingin kulakukan?"

×

Tangan [name] yang digenggam Akashi bergerak perlahan. Terkejut sekaligus senang dirasa Akashi. Langsung dipanggilnya Midorima untuk memeriksa keadaan [name].

Terdengar lenguhan kecil dari gadis itu, yang masih belum sadar sepenuhnya. Mata gadis itu terbuka, menampilkan sepasang [eyes color] yang indah.

"Kau bangun, [name]!" seru Akashi senang.

"Tunggulah sebentar, Midorima akan datang dan memeriksa keadaanmu."

[name] diam, pandangan kosongnya menatap Akashi dingin. Telunjuknya diarahkan ke Akashi—membuat pemuda bernetra dwiwarna itu kebingungan.

"Kau ... siapa?"

"Eh?"

happy birthday, Sei!

Hai, Mayu di sini! Um, sebelumnya aku minta maaf atas kelencengan alur yang kubuat di sini. Seharusnya, serendipity sendiri bertema kebahagiaan, tetapi aku malah buat alur yang bertolak belakang dengan itu :D

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro