s e r e n a d e 0 4 | o m b a k
s e r e n a d e 0 4 | o m b a k
Tiupan angin sore ini menerbangkan rambut panjangmu, lalu memperlihatkan leher putihmu itu padaku. Kamu datang tanpa dandanan berlebih, hanya balutan kaos merah muda berenda dengan celana bahan denim. Setelan yang biasa kamu kenakan.
“Genta, kamu harus dengerin aku kali ini.” Ucapmu terdengar setengah memaksa. Seperti biasa, lengkap dengan lesung pipi yang menghiasi senyumanmu itu.
“Emang kapan aku nyuekin kamu?” Tanyaku yang kini sudah mengejarmu berjalan menelusuri pinggir pantai ini.
Kamu menghentikan langkahmu, lalu sedikit menoleh padaku. Beberapa detik berlalu untukmu melihatku dengan senyuman, lalu sedikit demi sedikit berubah menjadi air muka sendu. Tanpa suara, kamu seolah memintaku pertolongan.
“Iya, iya. Kamu pasti mau cerita soal pacarmu lagi kan? Dia jahatin kamu lagi?” Tanyaku berusaha santai.
“Kita kemarin putus.” Ucapmu tersenyum. Kamu tampak tepaksa melekukkan bibir. Kamu mungkin tak mau aku lagi-lagi memarahimu. Kamu mungkin tak mau aku melihat pacarmu lebih buruk.
“Yakin gak akan balikan lagi? Biasanya juga gitu. Dia nyakitin kamu, kamu nangis. Dia minta maaf, kamu senyum lagi.” Ucapku panjang lebar sambil mengikutimu yang kini sudah duduk mendekati ombak yang menyentuh pasir.
Matamu terpejam. Kamu menengadahkan wajahmu, membiarkan angin lebih menyentuhnya. Kamu seolah meresapi kesunyian. Kamu seolah menjemput kedamaian.
“Aku gak butuh dia lagi.” Ucapmu tenang seraya menghirup udara kuat-kuat. “Aku mau menyerah.”
Mataku menyipit. Menunggu penjelasan.
Kamu membuka matamu, lalu menoleh padaku. “Kok gak tanya kenapa?”
Senyumku membuatmu berhenti mengerutkan kening.
“Ya, ya. Kamu pasti sok tahu lagi tentang perasaanku.” Ucapmu mencibir.
“Kalau mau nangis gak usah sok ditahan, keluarin aja semua.” Aku duduk lebih mendekatimu. “Atau mau aku pinjemin lagi bahu?” Tanyaku dengan tepukan kecil di bahuku.
Kamu tersenyum, lalu menggeleng dengan cepat. “Gak perlu.” Jawabmu.
Kembali kamu meluruskan dudukmu. Padahal pantulan senja sore ini sangat indah, tapi lagi-lagi kamu lebih memilih menutup kedua mata dan menengadahkan wajah. Seolah kamu hanya ingin terus merasakan sentuhan angin sore ini.
“Entah kenapa kali ini aku ngerasa ada yang kamu sembunyiin.” Ucapku mendelik.
Beberapa saat kamu hanya diam. Diam, diam, dan terus saja diam. Butuh waktu yang lama untukku menunggu kamu mengeluarkan suara. Menunggumu bercerita sepenuhnya. Menunggumu menangis, bahkan menunggumu mengeluarkan amarahmu padaku.
Tetesan air mengalir ke samping matamu. Kamu mengerutkan kening untuk menahan segala emosimu. “Kamu seperti orang yang selalu ngertiin aku..., padahal kamu sendiri gak pernah tahu apapun.” Ucapmu bergetar, masih dengan menutup mata.
Aku berpikir cukup lama. “Maksudmu?”
Kamu membuka kedua matamu, kembali menoleh padaku. “Aku gak pernah pacaran sama dia. Dia cuma teman kamuflaseku untuk bikin kamu cemburu.”
Kamu sudah pasti melihatku yang lagi-lagi menyipitkan mata. Menunggu penjelasan.
“Tiap ada masalah sama dia, aku lari ke kamu. Cuma saat itu kamu bisa jadi orang yang selalu ada buatku. Cuma dengan itu aku dapet perhatian kamu. Tapi aku gak pernah liat kamu cemburu.” Kamu menghela nafas panjang, memejamkan mata, lalu menatapku serius. “Kamu gak pernah tahu kan kalau orang yang aku sayang itu sebenernya kamu?”
Kamu tersenyum lemah, sebelum akhirnya terbangun dan berlari kecil menikmati ombak seolah tak melihat aku yang hanya bisa terpaku.
End.
[Maret 2015]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro