Bab 9a
"Apakah kamu Anastasia?" tanya sang menteri, seorang laki-laki berumur setengah abad dengan tubuh kurus dan rambut yang tersisir rapi. Memakai jas hitam, dengan seorang perempuan cantik berada di sampingnya.
Paris mengangguk. "Selamat malam, Pak Menteri. Saya datang untuk mewakili papa. Kebetulan, beliau kurang sehat."
Sang menteri mengangguk. "Bisa dimengerti. Apa yang terjadi dengan keluarga kalian, memang tragedy yang tidak hanya mengejutkan tapi juga menyedihkan. Kamu terlihat cantik, Anastasia."
Paris tersenyum ramah. "Terima kasih, Pak. Tapi, masih kalah cantik dengan Madam." Ia berkata dengan mulut semanis madu. "Siapa pun yang berada di dekat Madam, akan merasa kurang percaya diri. Karena beliau amat sangat cantik."
"Ah, kamu. Kenapa bisa merayu sedemikian manis?" Istri sang menteri tertawa malu-malu, mendengar pujian Paris.
"Bukan pujian, ini adalah apa yang saya lihat. Seandainya kulit saya sebagus Madam."
"Namaku Miranda, lain kali kita bisa saling bicara lebih akrab."
Setelah berbasa-basi, Paris pamit untuk membaur. Istri sang menteri dengan segera mengatakan ingin lebih banyak mengobrol dengannya lain waktu. Sebelum Paris beranjak, perempuan itu memanggil seorang laki-laki muda berjas merah marun. Seumuran dengan Milan, Paris tersenyum saat diperkenalkan dengannya.
"Anakku, namanya Alfredo. Kalian bisa berkenalan."
Paris menjabat tangan Alfredo, dan sama seperti sang mama, pemuda itu sangat ramah.
"Sebelum semua laki-laki di sini ingin mengajakmu berdansa, bagaimana kalau aku menjadi patner pertamamu?"
Permintaan Alfredo tentu saja tidak dapat ditolak oleh Paris. Ini adalah kesempatan bagus baginya untuk menonjolkan diri dan berdansa dengan anak menteri adalah jalan pembuka yang bagus. Ia tersenyum, menyambut uluran tangan Alfredo.
"Tentu saja, dengan senang hati."
Sebelum mereka beranjak, asisten sang menteri meminta nomor ponsel Paris, dan mengatakan akan menghubungi dalam waktu dekat untuk bicara masalah bisnis. Pandangan orang-orang seketika tertuju pada Paris. Ada banyak tanya dalam benak mereka, kenapa Paris yang bukan siapa-siapa justru mendapatkan perhatian dari sang menteri.
"Dia anak baru, datang dan langsung melesat."
"Jangan lupa, dia anak Hugo."
"Tetap saja, masih banyak keluarga lain yang lebih dari Hugo. Kenapa harus dia?"
"Dia cantik, dan orang-orang yang terlahir rupawan, mendapatkan jauh lebih banyak keberuntungan dari pada kita, orang biasa."
Beck yang berdiri tidak jauh dari orang-orang itu, tidak dapat menahan senyum. Dadanya mengembang dalam rasa bangga, karena sang nona berhasil menonjolkan diri. Ia menatap dengan senyum terkulum, saat kerumunan menyebar dengan Paris berdansa bersama Alfredo. Ia bergerak diam-diam, membaur bersama yang lain, dan mengamati Paris lebih dekat.
Di sudut ruangan, Dallas menatap tak berkedip pada pasangan yang sedang berdansa. Di sampingnya, ada Derick yang malam ini menggandeng seorang model terkenal. Ia sendiri, tidak ingin repot-repot mencari pasangan. Datang sendiri ke pesta sudah biasa untuknya.
Saat sang model berambut pirang ijin ke toilet, Derick berdiri sejajar dengan Dallas. "Bagaimana menurutmu, Anastasia."
"Cantik," jawabnya singkat.
Derick tertawa kecil. "Bukan hanya cantik tapi sangaat cantik, kita semua tahu itu. Maksudku adalah, manuvernya malam ini yang sangat tepat. Aku sama sekali tidak menduga, dia akan mendekati keluarga menteri, sampai Alfredo mengajaknya berdansa."
Dallas melirik kakaknya. "Memangnya kenapa kalau mereka berdansa?"
"Ckckck, Dallas, kamu seharusnya lebih banyak bergaul dengan para pebisnis dan pengusaha. Biar kamu tahu kalau Alfredo, termasuk salah satu orang yang susah untuk didekati. Pemuda itu seperti membentengi dirinya dari orang-orang dan tidak ingin terlibat dalam lingkaran pergaulan sang papa. Tapi, malam ini dia mengajak dansa Anastasia. Bukankah itu sesuatu yang tidak biasa?"
Dallas berpikir sesaat sebelum menjawab perkataan kakaknya. Ia punya banyak teori di kepalanya, tapi tidak ingin terlalu berterus terang dengan Derick. Bisa jadi, apa yang ia pikirkan salah.
"Barangkali, Alfredo tahu kalau banyak orang mendekatinya karena maksud tertentu."
Derick mengernyit. "Masuk akal. Bagaimana dengan Anastasia."
"Bukahkan sebuah kecantikan bisa menjadi satu alasan lain?"
Mau tidak mau Derick sepakat dengan perkataan adiknya. Betapa banyak kekuasaan jatuh, atau naiknya jabatan seseorang hanya karena cantik. Itulah kenyataan, ketika semua dinilai pertama kali dari tampilan fisik.
"Aku merasa beruntung malam ini," ucap Alfredo. "Menjadi orang pertama yang mengajakmu berdansa."
Paris membalas senyumnya dengan tak kalah ramah. "Aku merasa beruntung, bisa berkenalan dengan pemuda hebat sepertimu."
Dansa mereka telah berakhir, sepanjang mereka menggerakkan tubuh, percakapan mengalir tanpa beban. Alfredo adalah pemuda yang ramah dan Paris menyukainya.
"Aku melihatmu seperti melihat adikku."
Alfreo mengangguk. "Milan Hugo."
Mata Paris terbeliak. "Kamu mengenal adikku?"
"Tentu saja, kami berada di klub yang sama. Kamu tidak tahu?"
Paris menggeleng bingung. "Klub apa? Milan tidak bercerita."
Alfredo mendekat, membisikkan sesuatu. "Suatu saat, kalau kita bertemu lagi, aku akan bercerita tentang klub kami. Milan adalah salah satu anggota istimewa."
"Apa nama klubnya?"
"Ehm, belum saatnya kamu tahu Anastasia. Selama malam."
Alfredo meninggalkan Paris di tengah kerumunan. Paris yang tertegun, tersadar saat beberapa orang datang untuk menyapanya. Ia tidak mengenal mereka dan hanya menjawab keramahan biasa selayaknya orang-orang yang baru berkenalan. Beck menyelamatkannya dengan membawanya ke pinggir ruangan, dekat dengan jendela.
"Sebaiknya Nona tunggu di sini. Aku akan mengambil minuman."
Paris mengangguk. "Jangan alkohol."
"Tentu."
Belum sampai sepuluh langkah Beck pergi, dua orang laki-laki menghampiri Paris. Mereka adalah Dallas dan Derick. Keduanya mengulurkan minuman padanya dan ia menggeleng tegas.
"Maaf, tidak minum alkohol."
"Wow, langka sekali, di jaman sekarang ada orang yang tidak minum alkohol. Nona Anastasia memang sangat istimewa."
Paris menatap keduanya, berusaha untuk tidak sikap tidak peduli. Nyatanya, Derick terus mengganggunya.
"Tidak menyangka bukan, seorang nona yang baru debut, ternyata langsung menarik perhatian anak menteri. Apakah Anastasia bersedia berdansa denganku? Pastinya aku akan sangat tersanjung kalau kamu mau."
Derick mengulurkan tangan dan Paris mengabaikannya. Menatap dingin pada laki-laki itu, ia berujar ketus. "Jangan berpura-pura baik padaku. Kalian anak-anak keluarga Harington, sudah seharusnya mengenalku."
Derick berpandangan dengan Dallas lalu tertawa. "Wah-wah, ternyata kita dikenali."
Paris mendengkus. "Menurut kalian, aku akan diam saja setelah adikku mati di klub kalian? Tentu saja aku mencari tahu, profil orang-orang yang terlibat malam itu. Mudah saja mengenali kalian sebagai Derick dan Dallas. Sayang sekali, si bungsu tidak datang malam ini."
Perkataan Paris yang terus terang dan penuh provokasi, membuat Derick mengernyit. "Kamu mencurigai kami terlibat dalam pembunuhan adikmu?"
Paris menatap Derick tajam. "Ah, Derick. Kamu mengerti dengan cepat. Sayangnya, kamu salah. Aku tidak menyebut kalau kematian Milan adalah pembunuhan, tapi kamu yang mengatakannya."
Ketegangan menguar di antara mereka dengan Derick mengepalkan tangan di kedua sisi tubuhnya. Awalnya ia mengira, kalau anak Hugo adalah perempuan lemah. Nyatanya, ia salah. Perempuan itu pandai bersilat lidah, dan membuatnya terjebak
**
Di Karya Karsa bab 26
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro