Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 8a

"Dallas, duduklah. Emma datang untuk makan siang bersama kita."

Dallas membiarkan tangan Emma meraih lengannya. Ia ingin menepiskan tapi tidak mau mencari gara-gara dengan sang mama. Gelda pasti tidak akan senang kalau anaknya bersikap tidak sopan pada tamu.

"Aunty, aku senang diundang datang," ucap Emma dengan wajah berseri-seri.

Gelda tersenyum. "Aku dari kemarin memang ingin mengajakmu datang ke sini, tapi takut kamu sibuk. Biasanya, aku selalu makan siang sendirian, hari ini untuk ada Dallas yang menemani."

"Bukankah ada Darell?"

"Oh, anak itu suka pergi kalau siang. Entah kemana."

Dallas terdiam, mendengar mereka mengobrol. Tadinya ia pikir Emma datang atas kemaunnya sendiri, rupanya diundang oleh Gelda. Entah apa maksud sang mama melakukan ini semua. Apakah berhubungan dengan undangan orang tua Emma yang ditolaknya?

Satu per satu pelayan masuk membawa hidangan, termasuk Paris yang menyangga nampan berisi makanan pembuka berupa pastry goreng berisi cacahan daging sapi dengan taburan bubuk parsley. Ia meletakkan masing-masing dua biji ke atas piring kecil dan menyorongkan pada Parvati. Dengan segap kepala pelayan itu menghidangkan makanan di hadapan tuan rumah dan sang tamu.

Tatapan mata Paris bertemu dengan Dallas dan ia menunduk seketika. Rambut laki-laki itu masih setengah basah dan sepertinya, memang tidak ada niat mengeringkan. Ia tidak tahu, apakah Dallas mengingat tentang cumbuan mereka tadi malam? Apakah laki-laki itu tahu bagaimana panasnya ciuman mereka? Paris berharap, Dallas melupakan itu semua. Ia tidak ingin ada kecurigaan lain tentang dirinya yang menyelinap ke lantai dua.

"Kak, kenapa kamu diam saja?" Emma berujar setengah merajuk. "Apa kamu masih marah denganku?"

Gelda tersenyum. "Dallas masih setengah mengantuk barangkali. Lagi pula, kenapa dia harus marah denganmu?"

Emma mencebik. "Karena aku sering datang mengganggunya Aunty. Kadang ke klub, atau ke bengkel."

Gelda mengernyit. "Ke bengkel mobil? Untuk apa kamu ke sana, Dallas? Bukankah sudah aku katakan, kamu dilarang ke tempat itu lagi?"

Suara mamanya yang meninggi membuat Dallas menghela napas panjang. Ia meraih gerlas berisi air putih dan meneguknya. Hidangan di depannya berlimpah tapi sama sekali tidak ada niat untuk makan.

"Dallas, apa kamu mendengarku?"

Emma menatap Dallas dengan kuatir. Merasa kalau dirinya sudah salah bicara. "Kak, maaf."

"Untuk apa kamu minta maaf. Semua memang salah Dallas, karena melanggar aturan!" sela Gelda.

Dallas menatap bergantian pada mamanya dan Emma, berdehem dan berucap parau. "Ayo, makan. Aku pusing, ingin cepat naik."

"Dallas, kamuu—"

"Aunty, jangan marah. Kak Dallas benar. Mari, kita makan."

Sepanjang acara makan, Emma dan Gelda mendominasi percakapan. Sementara Dallas hanya mendengarkan dengan malas, sambil sesekali menusuk-nusuk makanan dan memasukkan ke dalam mulutnya. Ia menunggu dengan bosan, acara makan ini berakhir. Lebih masuk akal untuknya, naik ke kamarnya dan berbaring atau pergi untuk melakukan sesuatu yang menyenangkan. Sialnya, ia justru terjebak dalam acara makan malam yang membosankan ini.

"Kak, apa kamu pusing? Semalam mabuk?" tanya Emma.

Dallas menatapnya lalu mengangguk.

"Kenapa nggak makan sup?" Emma menatap Paris lalu berujar keras. "Hei, kamu. Pelayan di dekat pintu, mabilkan sup untuk Tuan Muda."

Bersikap layaknya rumah sendiri, Emma memberi perintah pada Paris yang mengangguk lalu menghilang ke dapar. Paris mengenali gadis itu. Mereka pernah bertemu di klub dan seingatnya, Dallas menolaknya. Ia juga memperhatikan bagaimana Dallas tidak ingin berhubungan dengannya, tapi Emma sepertinya tidak peduli. Dengan dukungan penuh dari Gelda, gadis itu mendekati Dallas tanpa tahu malu.

"Kamu perhatian sekali," puji Gelda.

Emma tersipu-sipu. "Aku lihat, Kak Dallas sepertinya kurang nafsu makan. Jadi aku menebak pasti karena masih pusing. Papa dan mamaku di rumah biasa makan sup saat malamnya minum alkohol. Katanya, ia membuat perut nyaman."

Gelda mengangguk. "Benar sekali. Gadis pintar. Aku ingin ke kamar kecil. Aku tinggalkan kalian mengobrol di sini."

"Iya, Aunty. Tapi, tunggu sebentar aku ada oleh-oleh. Sepertinya aku taruh di sofa." Emma bangkit dari kursi. Tubuhnya oleng saat salah satu sepatunya terpeleset sesuatu, hampir saja jatuh kalau bukan lengannya menyambar Paris yang datang untuk meletakkan sop panas.

Paris menjerit, saat sop panas mengguyur kakinya. Emma memekik ketakutan.

"Pelayan ceroboh! Apa apaan kamu!"

Parvati bergegas maju, untuk memastikan Emma tidak terluka. Paris yang gemetar menahan panas, tidak menolak saat Dallas meraih lengannya. "Ayo, ke pancuran samping! Guyur kakimu!"

Semua orang hanya bisa terdiam, saat Dallas menyeret Paris ke samping dapur. Parvati memanggil pelayan untuk mengelap lantai dan Emma berdiri kebingungan. Ia tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Kenapa Dallas justru lebih memperhatikan pelayan dari pada dirinya?

"Emma, Sayang. Kamu nggak apa-apa?" Gelda mendekat, bertanya kuatir.

Emma menggeleng. "Aku baik-baik saja Aunty. Tapi, siapa pelayan itu?"

Gelda tersenyum, mengusap lengan Emma untuk menenangkan. "Jangan kuatir. Pelayan itu adalah pelayan khusus Dallas. Tidak aneh kalau dia kuatir. Ngomong-ngomong, kamu mau memberiku hadiah apa?"

Emma tergagap. "Ah, ada di sofa ruang tamu."

"Ayo, kita ambil. Nanti Dallas menyusul."

Dengan lengan merangkul pundak Emma, Gelda berjanji dalam hati akan mengintrograsi Dallas dan pelayan itu. Mulai kapan mereka sedekat itu, sampai-sampai Dallas melupakan kedudukanya dan juga Emma. Ia tidak akan membiarkan hal aneh terjadi di rumahnya.

"Bagaimana? Masih panas?" tanya Dallas pada Paris.

Mereka berdiri berdekatan dengan air mengalir, membasahi kaki Paris.

"Sudah baikkan, Tuan."

"Benarkah? Sebaiknya basahi lebih lama. Nanti aku akan memberinya salep untuk luka bakar. Biar nggak berbekas."

Paris mengangguk. "Iya, Tuan terima kasih."

Tidak ada yang menyadari kalau mereka berdiri berdekatan dengan tangan berpegangan. Sampai akhirnya Dallas menyadari sesuatu.

"Tunggu, aku mengenali parfum ini. Apakah tadi malam kamu ke kamarku?"

Paris tercengang lalu meneguk ludah. Ia tercabik antara ingin berbohong atau bicara terus terang. Teringat akan Parvati yang memergokinya, Paris merasa tidak ada jalan keluar selain berterus terang.

"Tadi malam saya memang ke kamar Tuan. Maksud saya, membantu Tuan naik tangga karena Tuan mabuk," ucapnya dengan tergesa.

Dallas mengernyit. "Hanya itu?"

Paris mengangguk. "Hanya itu, Tuan. Oh ya, membersihkan kamar mandi karena Tuan muntah. Ada Mam Parvati yang mengawasi."

Membawa nama kepala pelayan, membuat Dallas yang semula mengernyit, kini terlihat santai. Paris merasa lega, satu kekuatirannya terlewati. Ia tidak mungkin mengatakan pada laki-laki itu kalau semalam mereka bercumbu dengan panas. Cumbuan kedua mereka setelah sebelumnya pernah melakukannya di malam pertemuan pertama. Paris masih merasa, kalau Dallas ahli dalam bercumbu.

Ia hampir tersentak, saat jemari Dallas memijat lembut jemarinya. Laki-laki itu seakan tidak peduli pada pandangan yang akan diarahkan pada mereka. Paris berdiri gugup, menoleh ke belakang karena takut akan ada yang memergoki. Untunglah, tidak ada siapa pun.

"Jemarimu lentik, tidak cocok bekerja kasar sebagai pelayan," ucap Dallas. Satu keinginan aneh timbul di benaknya, rasa ingin mengecup jari jemari Paris. Ia mengutuk diri sendiri, melepaskan pegangannya dan berucap tenang. "Salep aku berikan nanti."

Tanpaberpamitan, meninggalkan Paris berdiri masih dengan air mengucur di ataskakinya.Ia tidak mengerti, apa yang terjadi tapi sikap Dallas yang lembut,menggugahnya.

Berdiri diam di dekat pintu samping, Parvati mengamati Dallas yang baru saja pergi. Ia tidak salah melihat, bagaimana tuan mudanya itu memperlakukan Paris dengan lembut. Dari semenjak ia memergoki Paris keluar dari kamar Dallas tengah malam, ia sudah tahu ada yang tidak beres. Sekarang, yang perlu ia cari tahu adalah, ada hubungan apa mereka. Benarkan hanya sebatas majikan dan pelayan? Kenapa Dallas bisa selembut itu, padahal biasanya sangat dingin dengan orang lain? Parvati merasa kalau sang nyonya perlu tahu apa yang sudah dilihatnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro