Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 7a

"Kamu mendengarnya? Soal anak sulung keluarga Hugo?"

/"Ehm, Anastasia. Dia kembali. Kenapa? Kamu takut?"

"Huh, tidak ada dalam kamusku, takut pada seorang perempuan. Aku hanya tidak ingin merepotkan, karena yang aku dengar, Anastasia ini sangat sayang dengan adiknya."

"Lalu? Bukankah Milan sudah mati?"

"Justru itu masalahnya. Kita tahu kalau Milan mati dan kematiannya sedikit tidak wajar."

Terdengar tawa lirih, laki-laki yang duduk di kursi mengangkat gelas berisi minuman. "Kita semua tahu, kematian Milan memang tidak wajar. Seluruh dunia tahu, kalau pemuda itu ikut campur yang bukan urusannya. Sudah resiko, nyawa melayang."

Satu laki-laki yang semula berdiri di dekat jendela, menatap muram pada lawan bicaranya. Membalikkan tubuh sambil menghela napas panjang dan terlihat tidak puas. Mendekat ke arah meja, ia menyambar gelas kosong, menuang whiskey dan menandaskannya.

"Kamu terlalu santai menangani masalah Milan. Hanya karena polisi bisa kita bungkam, bukan berarti keluarganya akan melakukan hal yang sama."

"Kamu takut apaa? Hugo hanya orang tua, sedangkan istrinya, sama sekali tidak mengerti apa pun? Anak perempuannya, kalau memang ingin melakukan sesuatu, bukankah sekarang sudah bergerak? Kamu lihat bukan? Dia justru sibuk dengan perusahaan, sampai enggan bertemu orang-orang."

Laki-laki yang duduk terdiam. Argumen lawan bicaranya memang benar. Bisa jadi ketakutannya akan keluarga Hugo memang berlebihan, tapi siapa pun harusnya merasa takut. Pembunuhan bukan hal kecil. Ada nyawa melayang, masa depan seorang pemuda yang hilang, juga keluarga yang terberai.

Menatap lampu kristal yang tergantung di langit-langit, ia merasa terhipnotis. Susah payah mengalihkan pandangan, dan tertuju pada temannya yang sekarang bermain ponsel. Rupanya, pembicaraan mereka selesai sampai di sini. Benarkah sudah selesai atau hanya karena mereka yang tidak ingin buang-buang tenaga untuk diskusi? Bagaimana pun, Milan sudah mati.

"Kalau memang kamu takut dengan Anastasia, kenapa kita tidak ketemu langsung dengannya?"

Ia mengerjap. "Bagaimana caranya, bukankah dia menolak semua undangan."

"Ada satu yang tidak bisa dia tolak."

"Apa?"

"Pesta di tempat menteri pedagangan. Kita akan berkenalan dengannya."

Memutar gelas di tangan, ia membenarkan ide sang teman. Pesta dari pejabat memang tidak akan ditolak oleh keluarga Hugo. Berarti, kesempatannya untuk bertemu Anastasia di pesta itu. Ia tidak tahu, apakah perempuan itu memang perlu ditakuti atau tidak.

**

Di bawah tubuh Dallas yang posesif menindihnya, Paris terengah. Ia takut kalau rambut palsu, dan tahi lalatnya akan rusak karena gerakan mereka. Ciuman bukan hal baru untuknya, karena pernah melakukan sebelumnya dengan Dallas. Ia sudah tahu bagaimana rasanya jemarinya menyusuri tubuh Dallas yang kuat. Tapi, tidak dalam penyamaran seperti sekarang.

"Tu-tuan, ingat. Sadaar!" erangnya di sela-sela cumbuan Dallas.

Laki-laki itu menghisap bibirnya kuat, lalu turun ke leher dan menggigit cuping telinganya. Tidak hanya itu, tangan Dallas bahak bergerilya dengan kurang ajar dengan membelai betis dan pahanya. Ia belum bergerak saat Dallas membuka kakinya dan menempatkan diri di tengahnya.

"Puple, kamu wangi sekali," bisik Dallas.

Paris membeku. "Tuan, apa?"

"Purple, kamu purple-ku." Suara Dallas teredam. Bibirnya tertutup leher Paris dan. "Kamu datang dan pergi begitu saja. Aku rindu."

"Tu-tuan, saya bukan Puple." Ia berusaha dengan susah payah untuk menjelaskan.

"Kamu Purple dan kamu hangat."

Paris terbeliak, saat Dallas menggerakkan pinggulnya. Area intim mereka bergesekan dan seolah ada aliran panas yang berbaur di antara tubuh mereka yang menempel satu sama lain. Tidak cukup hanya itu. Dallas juga menaikkan pakaiannya, dan membelai perutnya.

Paris merasa kalau hal ini tidak bisa dibiarkan. Bisa-bisa, ia berbaring telanjang di atas ranjang Dallas. Tugasnya di sini adalah untuk menyelidiki kematian adiknya, bukan untuk bercumbu dengan Dallas. Sekuat tenaga ia mengangkat tubuh Dallas, menekuk lutut dan menahan tubuh laki-laki itu. Sialnya, justru mengenai kejantanan Dallas yang keras. Paris mengumpat dalam hati, terus menaikkan lutut, dan saat Dallas lengah, menggulingkan tubuhnya.

Dengan susah payah, Paris bangkit dari ranjang. Merapikan pakaian, rambut, dan memastikan kalau tahi lalatnya tetap berada di tempatnya. Dallas mengerang di atas ranjang.

"Purple, kenapa kamu pakai gawat gigi."

Paris mendengkus. "Saya bukan Purple, Tuan. Sebaiknya Tuan tidur dan jangan lagi mengacau."

Dallas bangkit, berusaha meraihnya dan Paris mundur. Laki-laki menatapnya dengan bola mata sayu, tersenyum kecil. Dengan jemari perlahan membuka kancing kemeja, Dallas bergumam. "Kamu Paris, pelayan. Bukan Purple. Tapi, kenapa kalian mirip?"

Paris terdiam, mundur selangkah dua langkah. Mencari cara untuk mundur. Ia selalu merasa, berada di dekat Dallas adalah ancaman terbesar untuknya.

"Paris, Purple, dan satu lagi gadis itu. Kalian bertiga, kenapa begitu melekat di kepala."

Langkah Paris terhenti. Gadis itu, yang disebut oleh Dallas. Siapakah?

"Aku berjuang, bertahun-tahun untuk lupa, ternyata tidak. Sialnya, kakiku ini tidak kuat lagi menopang semuanya. Tanganku tidak lagi selincah dulu, sial!"

Dallas terus memaki, bangkit dari ranjang dan melangkah sempoyongan ke kamar mandi. Paris ragu-ragu sesaat lalu mengikutinya. Takut akan terjadi hal yang tidak diinginkan. Di pintu kamar mandi, langkahnya terhenti. Dallas muntah, dengan kepala berada di pinggiran kloset. Paris menunggunya dengan sabar, laki-laki itu bangkit dan kembali ke ranjang. Ia masuk ke kamar mandi, mengguyur lantai dan kloset yang kotor. Saat pekerjaannya selesai, Dallas sudah mendengkur.

Berdiri di dekat ranjang, Paris menatap Dallas lekat-lekat. Menghela napas panjang, dengan berbagai pikiran berkecamuk di otaknya. Anak-anak Harington, tidak ada yang akur satu sama lain. Mereka sangat bertentangan, dan Dallas yang sepertinya kurang mendapat dukungan dari keluarga. Paris tidak tahu kenapa, dan bukan urusannya untuk ikut campur dalam keluarga ini. Ia harus cepat-cepat menemukan petunjuk dan pergi secepatnya.

Setelah memastikan Dallas terlelap, ia keluar dari kamar setelah sebelumnya mematikan lampu. Menuruni tangga, ia dibuat kaget saat melihat sosok Parvati muncul dari keremangan lantai satu. Perempuan itu, seakan tidak pernah tidur. Berkeliaran di dalam rumah, bahkan saat malam hari. Saat itu, sang kepala pelayan sedang bersedekap dan menatapnya dengan tajam.

"Apa yang kamu lakukan di lantai atas malam-malam begini?"

Suara Parvati bagaikan pisau merobek jantung. Tajam, dan penuh tuduhan. Paris menahan napas. "Mam, saya bantu Tuan Muda."

Parvati menyipit. "Tuan Muda yang mana? Jangan ngawur kamu!"

Paris menggeleng. "Nggak, Mam. Baru saja Tuan Muda Dallas pulang dalam keadaan mabuk. Saya membantunya naik, lalu membersihkan kamar mandi kalau dia muntah."

Parvati mengamati bagian depan pakaian Paris yang basah dan juga kaki perempuan itu. Ia menyipit. "Kenapa kamu malam-malam keluar? Biasanya, Tuan Muda yang mengantar ke atas adalah penjaga."

Paris panik sekarang, memikirkan alasan sampai akhirnya ia teringat sesuatu. "Saya mau menyeduh sereal. Kebetulan air di asrama habis! Sereal dan gelas saya ada di dapur, Mam."

"Tunjukkan!"

Paris mengangguk, melangkah cepat ke dapur. Untunglah, saat ia turun memang membawa gelas dan sereal. Berniat membantu Nita menyeduh, siapa sangka kini menjadi alasan kuat untuknya.

"Ini, Mam."

Parvati mengamati sekilas mug plastik putih dan sebungkus sereal. Ia mengamati Paris dari atas ke bawah. Entah kenapa, ia selalu menaruh kecurigaan terhadap Paris. Bisa jadi, karena terlalu cantik untuk ukuran seorang pelayan.

"Kali ini, kamu aku ampuni. Awas saja kalau lain kali diulangi. Pergi!" Parvati mendesis, dan tanpa disuruh dua kali, Paris melesat setelah sebelumnya menyambar mug dan sereal.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro