Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 6a

"Apa perempuan itu pulang karena adiknya meninggal?" tanya Gelda.

Derick mengangguk. "Sepertinya, iya. Bisa jadi Hugo memanggilnya pulang."

"Ada kabar angin, dia tidak akur dengan mama tirinya."

Perkataan sang mama di tanggapi dengkusan geli oleh Darell. "Kalian para wanita, suka sekali gosip seperti itu. Hubungan keluarga orang lain, bagaimana mungkin kalian bisa tahu dengan begitu detil?"

Gelda menatap Darell sambil mengernyit. "Bukan rahasia lagi, sesekali kami di klub bertemu dengan si mama tiri dan pembicaraan tentang mereka merebak kemana-mana. Kasihan, pasti mama tiri itu sedih karena anaknya mati. Berharap akan mewarisi harta Hugo, tapi kenyataan ternyata pahit."

"Dan si Anastasia akan mendapatkan semuanya," gumam Derick. "Aku penasaran, bagaimana tampang perempuan itu. Cantik atau tidak."

Darell tertawa lirih. "Apa kamu berniat untuk berkenalan dengannya?"

"Inginku, sayangnya dia tidak mau ditemui siapa pun."

"Mungkin karena buruk rupa!"

Tawa Derick beradu dengan Darell, sementara Dallas tidak memberikan tanggapan apa pun. Menyantap makan malamnya dalam diam. Ia tidak pernah tertarik urusan bisnis siapa pun, termasuk kali ini. Namun, makin lama pembicaraan di antara keluarga, makin terasa aneh terdengar di telinganya. Mendesah keras, ia meletakkan sendok dan garpu, menatap bergantian pada dua saudaranya.

"Kalau aku jadi kalian, tidak akan pernah tertawa seperti itu. Ingat, adik Anastasia terbunuh di klub kita. Bisa jadi, perempuan itu pulang untuk merencanakan sesuatu," sela Dallas.

Tawa menghilang dari bibir Derick dan Darell. Keduanya tidak melanjutkan percakapan dan kembali sibuk dengan makanan. Dallas meneguk anggur merah, melirik para pelayan yang berdiri tidak jauh dari pintu. Ia mengenali punggung Paris tapi tidak bisa melihat wajahnya karena pelayan itu menghadap ke dapur.

"Mana mungkin perempuan itu punya pikiran aneh sepertimu, Dallas. Kalau aku jadi dia, justru senang. Karena tidak ada lagi yang mengganggu perebutan warisan." Darell menukas dengan kata-kata jahat.

Dallas mengernyit ke arah adiknya. "Tidak semua orang punya pikiran picik sepertimu."

"Oh, jadi menurutmu aku picik? Lalu, kamu apa? Laki-laki lemah yang gagal move on?"

"Apa katamu?"

"Laki-laki lemah!"

Dallas bangkit dari kursi, begitu pula Darell. Keduanya berhadapan dengan penuh permusuhan. Tak lama terdengar suara hardikan.

"Stop kalian! Merusak selera makanku saja!" Harold menengahi. "Dallas, Darell, duduk!"

Dallas mendengkus, menarik kursinya. "Sudah kenyang!" Tanpa berpamitan, melangkah ke pintu dan sosoknya menghilang.

"Lihat kelakuannya, tidak berubah," gumam Gelda.

"Diamlah! Jangan menambah masalah," hardik Harold. Sebagai kepala rumah tangga, ia selalu dibuat sakit kepala oleh ketiga anaknya yang tidak pernah akur satu sama lain. Tidak ada satu haripun, mereka bisa makan bersama dengan tenang.

Paris yang berdiri di dekat pintu terdiam, berusaha menahan agar tubuhnya tidak goyah. Kemarahan dan kekesalan seperti membakar raga dan sanubarinya. Kebencian membuncah dalam dada, pada orang-orang yang sedang membicarakan keluarganya. Ia mengerjap, saat merasa matanya mendadak panas. Menyentuh lengan Nita, ia berbisik ingin ke toilet dan pergi meninggalkan dapur.

Naik ke kamarnya, ia terduduk di lantai dan menangis. Kali ini ingin menumpahkan semua kesedihan dalam dada. Ternyata, pandangan orang-orang padanya sangat buruk. Hanya karena hubungannya dengan Livi tidak akur, bukan berarti ia membenci Milan. Ia sangat mencintai adiknya, lebih dari apa pun. Ia bahkan rela menyerahkan semua harta dan aset dari Hugo, asalkan Milan kembali hidup.

"Milaan! Milaan! Kakak rinduuu!"

Paris menelungkup dan tersengal. Ia sangat membenci keluarga Harington dan berniat akan menghancurkan mereka satu per satu.

**

Edric Hugo, terkenal sebagai seorang pengusaha sukses. Bisnisnya merambah dari makanan, kebutuhan sehari-hari, sampai hotel dan property. Selain itu, dia juga dikenal sebagai ayah yang baik bagi dua anaknya. Tidak pernah ada skandal dalam keluarganya, kedua anaknya akur satu sama lain meskipun berbeda ibu. Semua orang kagum dengan caranya menangani keluarga dan sukses di bisnis, hingga kematian Milan menghancurkan semuanya.

Ternyata, kebersamaan, keharmonisan, dan kebersamaan keluarga Hugo hanya di atas kertas. Di dalam keluarga mereka ada satu titik hitam yang mengerikan, yaitu sang anak yang ternyata seorang pecandu dan penikmat pesta. Milan Hugo, tak lebih dari pemuda manja yang suka berfoya-foya. Sedangkan anak tertua, tidak pernah pulang karena diindikasikan tidak akur dengan mama tirinya. Keluarga Hugo, memoles semua kebobrokan dengan keharmonisan yang penuh fatamorgana. Sungguh, serial drama keluarga yang sangat bagus untuk dinikmati masyarakat umum. Sayangnya, si anak tidak mau bekerja sama dan menunjukkan sifat asli keluarga ini.

Edric menutup laptop dengan keras. Suaranya terdengar nyaring di dalam ruang kerja yang sepi. Ia baru saja selesai membaca ulasan seorang jurnalis tentang keluarganya dan merasa sangat terhina. Semua yang tertulis di sana, benar-benar membuatnya marah dan malu. Ia tetap terdiam, saat mendengar pintu dibuka dan suara istrinya terdengar lirih.

"Sayang, kenapa tidak menyalakan lampu?"

Edric tersadar dari lamunan dan tersenyum. "Lupa."

Ruangan terang benderang saat Livi menyalakan lampu. Melangkah perlahan mendekati suaminya, ia mengusap punggung laki-laki itu. "Apa yang kamu lakukan dalam gelap? Melamun? Memikirkan anak-anakmu?"

Edric mengangguk, kelelahan melandanya, baik fisik maupun psikis. Entah mulai kapan, ia merasa sangat jenuh dengan kehidupan. Barangkali, memang sudah terjadi selama ini, hanya saja ia tidak merasakan. Saat istri pertamanya meninggal, saat Paris memutuskan hengkang dari rumah ini, dan terakhir kematian Milan. Kebahagiaan dicabut secara paksa dan bertubi-tubi dari dalam dirinya. Ia ingin mengumpat Tuhan, tapi tidak punya daya. Sebagai manusia, ia hanya bisa pasrah dengan jalannya takdir.

"Rumah ini terasa sangat sepi semenjak tidak ada Milan. Paris pun sangat sibuk, dan bahkan susah untuk ditemui. Tertinggal kita berdua, kesepian di rumah besar ini," gumamnya dengan suara yang berat, sarat kesedihan.

Livi menyandarkan kepalanya di bahu sang suami. Ikut merasakan kesedihan yang menguar dari kisi-kisi udara di rumah ini, dan menyebar bagaikan udara yang terus menerus mereka hisap.

"Aku pun merindukan Milan dan sepertinya, kita akan terus dihantui anak itu."

"Milan anak yang baik, periang, dan mereka sekarang menyebutnya pecandu!" geram Edric.

"Para jurnalis sampah itu, hanya tahu bagaimana membuat orang lain merasa malu dan sedih. Mereka tidak tahu kebenarannya."

Edric merengkuh bahu istrinya, berdiri dalam diam menghadap jendela. Saling menyandarkan kepala, dan berharap dengan begitu luka batin mereka akan terbagi.

"Kalau kamu merasa sangat kesepian, kenapa tidak mengundang Paris datang? Tidak peduli betapa sibuknya anakmu itu, harusnya bisa melewatkan satu dua jam bersama papanya."

Edric terdiam lalu mengangguk. "Aku akan mengubungi asistennya, karena entah kenapa ponsel Paris tidak dapat dihubungi. Aku akan memintanya datang, akhir minggu ini."

Di rumah besar keluarga Harington, Paris terbeliak saat membaca pesan dari Beck. Asistennya menyampaikan pesan dari sang papa yang ingin bertemu dengannya. Sedangkan ia bekerja di rumah ini tidak lebih dari dua minggu. Bagaimana caranya bisa mendapatkan cuti?

Ia mematikan ponsel dan menyimpannya kembali. Pintu kamar membuka dan Nita masuk dengan sepiring pastel goreng.

"Paris, aku dapat ini dari koki. Katanya buat kita!" Nita meletakkan piring di atas lantai. "Ayo, makan!"

Paris mengangguk, mengambil selembar tisu untuk membungkus pastel dan memakannya perlahan.

Nita mengamati sahabatnya yang makan tanpa suara. "Kamu tahu, nggak? Kalau sikap dan pembawaanmu tidak cocok jadi pelayan."

Paris mendongak. "Benarkah?"

"Iya, aku merasa setiap kali melihatmu, seolah sedang melihat Nyonya Gelda, versi muda. Gaya bicara, sikap, dan cara bertutur kalian sama, khas orang kelas atas."

Paris tertawa lirih. "Kamu terlalu berlebihan."

"Nggak, aku mengamati kamu akhir-akhir ini. Koki juga bilang, kamu menatap makanan dengan sangat baik. Bagaimana kamu belajar?"

**

Di Karya Karsa sudah bab 14

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro