Bab 5b
Dallas memiringkan kepala, tersenyum simpul. "Kenapa wajahmu memerah?"
Paris menggeleng. "Tuan, lepaskan. Ini sangat tidak pantas."
"Memangnya aku melakukan apa, Paris?"
Penyebutan namanya yang begitu lembut oleh Dallas, membuat Paris tergagap. "Tuan, tolong, pakai bajunya."
Dallas dengan kurang ajar, justru menarik pinggang Paris lebih dekat dan membuat paha mereka bergesekan. Dada laki-laki itu menyentuh dada Paris dan napasnya menyapu hangat tengkuk serta leher Paris. Seketika, ingatan tentang malam yang liar di klub kembali menguar. Paris merasa napasnya berat. Ia bergidik saat Dallas mendadak mengecup lehernya, sebelum melepaskan tubuhnya.
"Pergilah! Kamu membuatku gila!"
Tanpa disuruh dua kali, Paris bergegas pergi. Hampir melupakan peralatan pembersih yang berserak di lantai. Dengan tubuh menegang, ia memunguti semua dan keluar dari kamar dengan tergesa-gesa. Di lorong, ia hampir menubruk Darella yang mendadak muncul di tikungan.
"Ups, apa ini? Kamu jalan nggak lihat-lihat, hah!"
Paris menunduk. "Maaf, Tuan."
Darell mengernyit, mengamati perempuan berkawat gigi di depannya. Pelayan paling cantik yang pernah dilihatnya. Meskipun dengan gaya rambut aneh, tahi lalat yang mencolok, serta kawat gigi, tidak mengurangi kecantikan perempuan itu.
"Siapa namamu?"
"Paris."
"Wow, nama yang keren. Memangnya orang tuamu pernah ke Paris?"
Paris menggeleng. "Tidak, Tuan. Itu nama pendek. Nama panjangnya, Paristantia."
"Oh, kirain. Tapi, tetap saja keren."
Darell dengan kurang ajar mengulurkan tangan, ingin menyentuh Dagu Paris tapi ditepiskan oleh perempuan itu.
"Wow, galak sekali kamu, Paris."
Paris menggeleng. "Maaf, Tuan. Reflek."
"Ckckck, aku peringatkan kamu. Jangan macam-macam, ini rumahku. Baik-baik kerja, Paris dan juga, baik-baik padaku. Ingat, aku bukan kakak-kakakku. Kamu jaga sikap, kalau tidak mau berakhir tragis di rumah ini."
Dengan perkataan yang ambigu, Darell meninggalkan Paris di lorong. Mengerjap untuk mengusir rasa heran, Paris menatap tangga di mana punggung Darell menghilang. Selama ini, ia selalu melihat Darell tak ubahnya tuan muda kaya dan manja, ternyata laki-laki itu juga suka bersikap kejam dengan kata-kata. Entah benar atau tidak, tapi firasatnya mengatakan harus hati-hati dengan Darell.
Di dalam kamar, Dallas yang sedang mengguyur tubuhnya dengan air hangat, dibuat tercengang. Bagaimana tidak, di bawah guyuran air, kejantanannya menegang. Ia tidak habis pikir, bagaimana tubuh seorang pelayan bisa membuatnya terangsang. Sudah lama sekali, hal ini tidak terjadi padanya. Merasa begitu bergairah, hanya karena seorang perempuan.
Ia mendesah, mengusap rambutnya yang basah. Membayangkan bisa menelanjangi Paris dan menyatukan tubuh mereka. Sayangnya, ia tidak akan melakukan hal bejat seperti itu. Ia tidak pernah memaksa seorang perempuan untuk menuruti kehendaknya. Menyelesaikan mandi dalam keadaan terangsang, ia memakai pakaian dan bersiap untuk berolah raga. Barangkali, mengeluarkan keringat akan membuatnya keluar dari kegilaan.
"Siapa pelayan itu? Kenapa harum tubuhnya begitu menggugah?"
Pikiran Dallas tidak pernah terlepas dari Paris, hingga kedatangan sang papa ke ruang orang raga, memaksanya memusatkan pikiran.
"Tumben, Pa. Jam segini sudah pulang." Dallas mematikan mesin treadmill. Meraih handuk dan membasuh keringat.
Harold mendatangi Dallas dengan air muka terlihat tidak senang. "Apa yang kamu lakukan pada Emma?"
Dallas mengerang dalam hati, merasa akan membuat waktu sia-sia demi membahas gadis itu. "Nggak ada apa-apa."
"Nggak ada apa-apa? Emma menelepon kami dengan histeris, mengatakan kalau kamu sudah bersikap kejam!"
"Kami, siapa?"
"Tentu saja, aku dan mamamu. Saat itu, kami justru sedang bertemu dengan beberapa relasi, termasuk papanya Emma. Bayangkan betapa malunya kami saat tahu, Emma menangis karena kamu!"
Dallas tertawa lirih, menatap papanya sambil mengangkat bahu. "Emma, menangis? Yang benar saja, Pa. Dia bukan gadis cengeng seperti itu. Kalian termakan umpannya!"
"Dallas! Jaga bicaramu! Jelas-jelas kamu tahu siapa Emma?"
"Aku memang mengenal Emma, tapi aku bukan pengasuhnya. Perlu Papa tahu, jangan memaksaku berbuat baik pada orang yang tidak aku suka!"
Dallas melenggang pergi diiringi teriakan papanya. "Dia hanya ingin mengundanmu makan malam, Dallas! Kamu harus pergi!"
Dallas melambaikan tangan. "Sorry, nggak minat!"
Penolakan Dallas pada Emma berbuntut panjang. Setelah Harold menegur di ruang olah raga, giliran sang mama yang bicara saat makan malam. Dallas hanya terdiam, mendengar mamanya mengomel. Di sebelahnya, Derick makan dengan sikap tidak peduli, sementara Darell tidak hentinya tersenyum. Mendengar mamanya mengomeli Dallas, adalah hiburan untuknya.
"Bisa-bisanya kamu mempermalukan kami di depan banyak orang," desis Gelda.
Dallas menatap mamanya sambil mengulum senyum. "Aku nggak ada di sana. Bagaimana bisa dikatakan mempermalukan kalian."
"Dallas! Kasihan, Emma!"
"Ma, kalau semua gadis yang merengek aku harus merasa kasihan. Bisa kupastikan kalau rumah ini akan penuh dengan para perempuan!"
Tidak ada yang bisa membantah ucapan Dallas. Meskipun terkenal paling malas dan tidak suka diatur, dengan mata hijau dan rahang kokoh, Dallas memang paling tampan di antara saudaranya yang lain. Semua orang mengakui itu.
"Aku tidak peduli, apa pun yang terjadi kamu harus datang ke acara makan malam mereka."
Dallas menatap mamanya tajam. "Kalian tidak bisa memaksaku."
"Kami ini orang tuamu!"
"Memang, tapi bukan Tuhan yang sabdanya harus aku turuti. Mama juga, sebenarnya siapa yang anakmu, aku atau Emma? Kenapa lebih membela dia?"
Suasana di meja makin tegang, Paris yang berdiri di dekat pintu, membuka telinganya lebar-lebar. Ia selalu suka melayani mereka makan, karena itu satu-satunya kesempatan untuknya mendengar setiap percakapan mereka tanpa takut dicurigai.
"Ehm, apa kita harus terjebak dalam percakapan aneh begini?" Suara Derick menyela perdebatan panas Gelda dan Dallas.
Gelda tersenyum. "Derick, Sayang. Kamu makan terlalu sedikit. Nambah lagi?"
Derick menggeleng. "Sudah kenyang, Ma. Lagipula, aku jarang makan banyak saat malam." Melirik Dallas yang menunduk, ia mengucapkan sesuatu yang membuat tubuh semua orang menegang. "Sudah tahu kabar terakhir keluarga Hugo?"
Tangan Dallas yang sedang memegang sendok, menegang. Begitu pula, yang lain. Mereka menatap Derick bersamaan.
"Pemuda brengsek itu mati bukan?" ucap Gelda.
"Iya, tapi bukan itu yang ingin aku katakan pada kalian. Tentu kita semua tahu kalau anak sulung Hugi adalah perempuan. Selama ini ada di luar negeri, dari yang aku dengar, perempuan itu kembali dan sekarang, mengendalikan perusahaan Hugo."
"Kamu pernah bertemu dengannya?" tanya Harold.
Derick menggeleng. "Belum. Dia menolak undangan orang-orang dengan alasan masih berduka."
"Siapa namanya?" tanya Darell.
"Anastasia."
"Nama yang cantik." Darell meraih gelas berusi anggur merah dan mengamatinya. "Tidak sabar bertemu dengan Nona Anastasia Hugo."
Tubuh Paris menegang di dekat pintu. Orang-orang itu sedang membicarakan dirinya. Mereka tidak tahu kalau nama lengkapnya adalah Paris Anastasia. Nama Paris tidak banyak yang tahu, kecuali keluarganya. Semua orang memanggilnya Anastasia. Kenapa orang-orang itu membicarakan dirinya? Apakah mereka menyimpan sesuatu? Paris menatap Derick yang kali ini bicara serius dengan Gelda, tentang dirinya. Rupanya, laki-laki itu tahu banyak tentang bisnis keluarga Hugo. Menarik dan mencurigakan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro