Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 3b

Setelah perut terisi, Paris kembali bekerja. Kali ini bersama Nita mereka menyiangi kebun bunga di lantai paling atas. Paris merasa telapaknya makin lama makin kapalan karena pekerajaan rumah yang seakan tidak pernah berhenti.

"Nenek sihir itu menghukummu. Pasti kamu lapar sekali sekarang," bisik Nita.

Paris memotong daun kering dan menggeleng. "Tidak juga. Anggap diet."

Nita menatap heran. "Mana boleh diet. Pekerjaan kita berat!"

Gadis itu mendekat, menatap sekeliling yang sepi dan berbisik. "Aku menyisakan satu roti untukmu. Ada di kamar kita, begiti ada waktu kamu makan."

Paris menatap Nita dan tersenyum. Merasa terharu karena perhatian gadis itu. Di rumah besar ini, di mana mereka hanya dianggap pelayan rendahan tak berharga, ia menemukan teman. Ini adalah hal paling berharga dalam hidup.

Malam itu, pertama kalinya ia bertatap muka dan bicara dengan Derick, si anak sulung. Laki-laki itu pulang lebih cepat dari hari biasa dan memergoki Paris yang sedang merapikan vas berisi bunga di atas meja. Paris mengangguk dan menyapa sopan.

"Selamat malam, Tuan."

Derick menatapnya sekilas lalu melambaikan tangan. "Pergi! Aku tidak ingin diganggu!"

Paris mengangguk dan bergegas meninggalkan kamar. Di depan pintu, suara Derick menahannya.

"Pelayan, sini. Aku ingin meminta tolong padamu!"

Ia berbalik, menatap Derick. Masih dengan senyum di bibir. "Iya, Tuan."

"Ambilkan aku gelas dan es batu."

Tanpa kata Paris menganggguk dan bergegas turun. Kembali dengan gelas tinggi berisi es batu. Di depan pintu kamar Derick, langkahnya terhenti. Ia tertegun, saat samar-samar terdengar alunan musik klasik. Ia mengenali irama ini, Moonlight Sonata, first movement, hasil karya Beethoven. Tubuhnya gemetar seketika, seolah ada aliran listrik yang menyentuh dada dan menyebar getar ke dalam pembuluh darah. Sensasi menyakitkan sekaligus menyenangkan menyerangnya. Kilasan masa lalu, senyum manis seorang anak laki-laki dan tawa mereka berdua, bergumul dalam ingatanya dan membuatnt susah untuk bernapas.

Ada apa ini? Kenapa Derick menyetel musik ini? Apakah laki-laki itu juga menyukai Beethoven? Saat irama mencapai third movement, hati Paris bagai digedor. Irama yang menghentak, seolah merobek rasa tenang dalam dadanya menjadi serpihan kecil. Kenangan muncul satu per satu dan menyeretnya dalam ragu.

"Paris, sedang apa kamu?"

Paris berjengit jaget, menatap Nita. Berusaha tersenyum meskipun hatinya terkoyak masa lalu. "Tolong, berikan ini pada Tuan Derick. Aku mendadak ingin ke toilet."

Nita tidak keberatan, menerima nampan dari Paris lalu mengetuk pintu. Paris setengah berlari menuruni tangga, mencoba untuk tetap bernapas sementara beribu pertanyaan menghujam dirinya. Kenapa Derick menyetel musik Beethove, sekadar suka atau benar-benar suka? Paris yang penasaran akan sosok Derick, berniat akan mencari tahu lebih jelas, dimulai dari hobi laki-laki itu. Ia masuk ke tpilet khusus pelayan. Terduduk lama di sana dan merenung. Sebuan ingatan terasa mendada dan membuat otaknya tumpul. Ia mencuci muka, merapikan kembali tahi lalat buatan sebelum keluar dan mencoba bersikap tenang.

Sesuatu yang tidak biasanya terjadi. Kelurga Harington berkumpul lengkap. Termasuk dengan ketiga anak mereka. Harold tidak dapat menyembunyikan senyum bahagianya, saat melihat ketiga anaknya.

"Apakah malam ini bintang jatuh dari langit, atau ada sesuatu yang lain? Kalian bisa berkumpul di sini."

Gelda melirik tajam pada suaminya yang tersenyum. "Pa, bukankah memang sudah seharusnya mereka di sini? Kamu berkata seperti itu, seolah-olah tidak pernah melihat mereka bersama."

"Memamg, Ma. Sulit sekali menyatukan mereka di satu meja makan yang sama." Harold terkekeh gembira.

Paris membawa nampah berisi air putih dalam gelas tinggi. Meletakkan satu per satu di samping piring mereka. Saat mencapai piring Dallas, tanpa sengaja ujung jemarinya menyentuh kelingking laki-laki itu yang dihiasi cincin. Reflek ia menarik tangan, dan bersyukur Dallas tidak menyadarinya.

Derick berdehem. "Papa dan Mama tahu, kalau aku sibuk. Ini saja aku sempatkan pulang, karena kalian yang memintaku. Jam segini, biasanya aku masih lembur."

Gelda tersenyum, menatap anak bungsunya. "Kamu bekerja terlalu keras, Sayang. Harusnya, juga memperhatikan kondisimu."

Derick mengangkat bahu. "Terlalu banyak yang harus dikerjakan. Kalau bukan akun yang membantu Papa. Siapa lagi yang akan melakukannya?"

"Akuu!" celetuk Darell. Matanya bersinar jenaka. "Aku bisa membantumu, Derick. Sayangnya, kamu yang tidak percaya padaku."

Derick mendengkus, berdecak geli tanpa ditutup-tutupi. "Apa yang bisa kamu lakukan adik kecil? Selain berfoya-foya yang mengencani setiap perempuan di kota ini."

Darell sama sekali tidak marah dengan sindiran kakakanya. Malah tertawa kecil. "Senang rasanya, semua orang mengerti bagaimana aku menjalani hidup. Sebenarnya, aku juga tidak mau mengencani mereka. Tapi, bagaimana, ya? Mereka yang melompat langsung ke pelukanku."

"Itu karena kamu memberi mereka uang!"

"Uangku sendiri, bukan urusanmu!"

"Diam! Berisik!" teguran dari Gelda menghentikan perdebatan Derick dan Darell. Gelda menatap kedua anaknya bergantian. "Apa-apaan, ini. Nggak bisa kita makan dengan tenang, hah?"

Parvati muncul dengan seorang pelayan yang menbawa ayam panggang. Aromanya menggiurkan, sepertinya campuran antara rempah dan anggur merah. Saat diirus, dagingnya yang kembut mengeluarkan minyak dengan aroma yang membuat perut berkriuk lapar.

Dallas memberi tanda pada pelayan untuk memberinya satu potong. Menggunakan garpu untuk mencicipi dan meminta lebih banyak lagi.

Harold memperhatikan anak keduanya yang sedari tadi sibuk makan. Bersikap masa bodoh dengan perdebatan saudara-saudaranya.

"Dallas, apa yang kamu lakukan akhir-akhir ini?"

Dallas mengangkat wajah dari piring berisi ayam panggang. "Aku? Kenapa pertanyaan ini jadi ke aku?"

"Kenapa? Kamu nggak mau bilang sama papa, apa kegiatanmu?"

Dallas mengangkat bahu. "Tidak banyak yang harus diceritakan. Sedikit ini dan itu di klub."

"Apa semua berjalan lancar?"

"Cukup lancar. Kami sedang mempertimbangkan untuk membangun lantai tiga."

"Apakah menurutmu pembanguann itu tidak akan mempengaruhi jalannya bisnis di klub?" tanya Derick.

Dallas menggeleng. "Harusnya tidak. Aku sudah membuat rencana dengan arsitek. Dia membantuku."

"Apa kamu sudah ijin pada Derick untuk membangun?" sela Gelda keras.

Kali ini Dallas mengalihkan pandangan ke arah mamanya. "Kenapa harus ijin? Klub itu juga milikku."

Gelda tersenyum kecil. "Milikmu? Bukan, Dallas. Tapi milik keluarga. Sama seperti Derick dan Darell, kamu hanya mengelola tapi tidak untuk memiliki. Membangun tanpa ijin, sama saja seperti memiliki."

Dallas meletakkan garpu dan piasu ke atas piring, meraih tisu untuk membasuh mulut. "Milik keluarga tapi harus ijin pada Derick. Apa maksudnya, Ma? Seingatku, tidak ada peraturan ini sebelumnya."

Derick mengusap lengan adiknya. "Jangan marah. Mama bisa menjelaskan semua."

"Nggak ada yang harus dijelaskan. Memang begitu aturannya!" sergah Gelda.

Dallas kehabisan rasa sabar. Bangkit dari kursi, ia mengedarkan pandangan ke sekeliling meja. "Aku bekerja di klub itu siang dan malam, dan begini balasan yang aku dapatkan? Hebat sekali keluargaku."

"Dallas, mau ke mana kamu?" teriak Harold saat Dallas tanpa berpamitan meninggalkan ruang makan. Sekali lagi, keluarga ini jatuh dalam keretakan karena argument tidak masuk akal di meja makan. Harold melirik istrinya dan menggeleng kecil.

Sore, sebelum menyiapkan makan malam, Parvati mengumpulkan para pelayan. Perempuan itu memberikan beberapa pengumuman tentang pembagian tugas.

"Mendapat mandate dari Nyonya, untuk membuat jadwal kalian bergantian. Dua Minggu sekali, kalian berganti lantai dan jenis pekerjaan. Dengan begitu, diharapkan semua pelayan akan menguasai semuanya." Parvati menatap para pelayan satu per satu 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro