Bab 1b
Ia dituntun masuk, dengan tangan laki-laki itu berada di pinggulnya. Sapaan terdengar dari berbagai penjuru ruangan. Paris didudukkan di sebelah laki-laki itu. Ia masih diam, mencoba mencerna keadaan dan situasi yang menimpanya.
Laki-laki yang membimbingnya tadi, menuang minuman ke dalam gelas-gelas kecil lalu membagi-bagikan. Satu gelas diberikan pada Paris yang menerima dengan ragu-ragu.
"Minumlah, kakakku belum datang. Harusnya dia yang menginterviewmu sekarang."
Perkataan laki-laki itu ditanggapi dengan anggukan kepala oleh Paris. Ia berusaha seminim mungkin untuk bicara. Soal siapa si kakak, interview tentang apa, ia akan menyelidiki perlahan.
Gelas mereka dibenturkan dan masing masing meneguk bagiannya. Paris tidak menghabiskan minumannya, hanya meneguk sedikit. Cukup untuk membasahi bibir. Ia datang untuk menyelidiki sesuatu. Bukan untuk bermabuk-mabukan.
Paris mengernyit, saat laki-laki itu kembali duduk di sebelahnya. Satu tangan berada di atas lutut Paris dan meremas dengan posesif.
Pintu kembali terbuka, masuk lebih banyak orang. Tiga laki-laki dan dua perempuan. Paris menahan kernyitan karena mengenal beberapa orang di antaranya. Seorang perempuan berambut pirang, sepertinya artis. Ia pernah melihat sekelebat wajanya di media.
"Dallas, beri kami minuman, Bro!" Seorang laki-laki yang baru saja datang, berteriak.
"Ambil sendiri!"
Paris menghela napas, rupanya laki-laki di sebelahnya bernama Dallas. Tangan laki-laki itu makin kurang ajar dengan naik makin ke atas pahanya, hingga nyaris mencapai ujung gaun.
Seorang laki-laki berambut pirang pendek, menghampiri mereka. Matanya menatap Paris yang memainkan gelas di tangan lalu pada Dallas yang sibuk mengobrol dengan orang lain.
"Dallas, makluk sampingmu ini lumayan cantik. Bisa aku pinjam malam ini?" Laki-laki itu nyengir.
Paris bergidik, siap beranjak saat terdengar suara Dallas. "Dia milik club, Bro. yang berarti milikku juga." Tanpa disangka, Dallas mengecup pipi Paris dan membuat perempuan itu kaget.
"Ah, dari dulu kamu nggak berubah. Barang bagus dikeep sendiri."
Dallas tersenyum, mengayunkan tangan. Menyuruh laki-laki itu pergi. "Gadis ini bukan barang. Kamu salah!"
"Ya-ya, bilang saja mau disimpan sendiri!"
Setelah laki-laki itu pergi ke sofa ujung, orang-orang yang baru datang membaur bersama yang lain, minuman beralkohol kembali dihidangkan.
Paris menatap tangan Dallas yang sedang meremas dengkulnya. Mencoba menyingkirkan tangan itu dari tubuhnya.
"Kenapa? Kamu nggak suka disentuh?"
Paris tersenyum. "Suka, Tuan. Hanya saja."
"Kenapa?"
"Di sini, agak—"
"Di sini kenapa?"
Napas Dallas terasa hangat di pipi Paris saat laki-laki itu menggesekkan hidungnya ke lekukan lehernya. Bukan hanya itu, lengan Dallas melingkari tubuhnya dan aroma alkohol tercium kuat dari mulutnya. Paris mendesah, memutar otak untuk melawan orang mabuk.
"Banyak orang." Ia menjawab asal.
"Jadi, kalau sendiri kamu mau?" Dallas berbisik di telinganya, menggigir kecil dan membuat tubuh Paris bergidik. "Aku ingin tahu, apa yang terlihat di balik gaun mini dan stoking jaring. Rambut ungu, tubuh sexy, kamu persis seperti yang digambarkan kakakku. Beruntungnya, dia belum datang. Jadi aku bisa menemuimu."
Bibir Dallas kini mendarat di pundaknya yang tidak tertutup kain. Menggigit lembut di sana dan memeluk erat.
"Kamu wangii," desah Dallas.
"Di mana kakakmu?"
"Derick?"
"Iya." Paris tersenyum, merasa beruntung sudah menghapal nama nama anak Danfort. Berarti, yang sekarang sedang memeluknya adalah anak kedua, Dallas.
"Derick pasti sedang berada di club lain. Siapa yang tahu dia ada di mana. Ah, sebaiknya kamu jangan mencarinya apa lagi menunggu, lebih baik bersamaku."
"Apa club kalian banyak?"
"Ehm, ada beberapa. Kenapa kamu ingin tahu?"
"Nggak ada, Tuan. Siapa tahu ada kesempatan ke sana."
"Jangan kuatir, aku yang akan membawamu pergi ke sana kalau kamu mau."
Paris menatap mata Dallas yang sayu. Terlihat jelas laki-laki itu sedang mabuk. Senyum kecil, pandangan meremehkan, Paris menahan diri untuk tidak mendorong Dallas hingga jatuh. Orang lain mabuk marah, atau mengamuk. Beberapa di antaranya berteriak tak tahu malu tapi Dallas berbeda. Bisa jadi karena playboy atau entah apa, Dallas lebih suka merayu. Membuat Paris tak habis pikir.
Jemari laki-laki itu kini mengusap punggungnya. Bibir mengecup pipi dan pada satu kesempatan, mengecup bibirnya. Paris memikirkan cara untuk menjauh dari Dallas. Ia takut penyamarannya akan terbongkar jika terus menerus berdekatan dengan laki-laki yang berbahaya ini.
"Sexy, aku suka caramu menyimpan ponsel." Bisik Dallas, menyentuh ringan pahanya yang tersemat ponsel.
Paris tersenyum. "Praktis."
"Memang, tapi kenapa hanya ponsel? Di mana dompetmu? Bukankah para perempuan suka membawa tas?"
Jantung Paris serasa dipompa, bukan hanya karena sentuhan Dallas di sekujur tubuhnya tapi juga pertanyaan-pertanyaan yang terlontar dari laki-laki itu. Meneguk ludah, ia menyingkirkan bibir Dallas dari pipinya.
"Dibawa teman."
"Di mana temanmu?"
"Di depan."
"Apakah dia secantik kamu? Kalau, iya, bisa kamu minta dia masuk."
"Eh, dia nggak mau. Hanya aku yang mau ketemu kakakmu."
Dallas mencengkeram rahang Paris, mengusap bibir dengan ibu jarinya. Mereka berpandangan di dalam ruangan yang hingar bingar. Pikiran Paris bergumul, membuat sejuta rencana. Ia datang untuk melakukan penyelidikan, bukan untuk dijamah dan dicium sembarangan. Ia tidak suka Dallas. Laki-laki pemaksa yang merasa dirinya tampan dan kaya. Pasti Dallas mudah mendapatkan perempuan manapun yang dimau. Dalam pertemuan pertama sudah berani menyentuhnya.
"Tuan, bisa tidak kamu lepaskan aku?"
Dallas menggeleng. "Tidak."
"Kenapa?"
"Aku takut kamu pergi. Kamu mungkin tidak percaya tapi, saat melihatmu aku seperti menemukan seseorang yang hilang dari hidupku."
Paris tertegun, jempol Dallas mengusap lembut. Mereka bicara dengan intim di antara ruangan yang hingar bingar. Pintu kembali membuka, kali ini masuk seorang gadis muda sangat cantik berambut pirang. Gadis itu mengedarkan pandangan ke sekeliling dan tatapannya tertuju pada Dallas dan Paris.
"Apa-apaan, kalian? Kak, siapa Jalang ini!"
Gadis itu menghentakkan kaki ke lantai, menunjuk Paris dan bertanya lantang. Dallas menghela napas panjang, seolah jenuh dengan gangguan yang didapatnya. Tangannya merangkul Paris. Berucap tanpa senyum.
"Jangan bicara sembarang, dia kekasihku."
Gadis itu melotot. "Apa?"
"Kamu nggak salah dengar, dia memang kekasihku."
Paris menatap gadis berambut pirang di depannya. Ia menduga, gadis itu marah karena mendapati Dallas bermesraan dengan perempuan lain. Bisa jadi, hubungan mereka memang dekat dan Dallas mematahkan hatinya. Sorak sorai terdengar dari sofa ujung, saat seorang gadis mulai membuka pakaian satu per satu dan menari di atas meja dengan botol alkohol di tangan.
"Kak, kamu jelas tahu. Aku—"
Dallas melambaikan tangan. "Pulanglah. Jangan membuat keributan."
"Kak Dallas!"
"Emma! Jangan membuatku kesal. Pergilah!"
"Tapi ...." Emma sepertinya akan menolak tapi melihat Dallas mengusir tegas, mau tidak mau dia pergi. Melontarkan tatapan tajam penuh permusuhan dan juga mengacungkan jari tengah pada Paris, gadis itu berbalik dan membanting pintu.
"Penggemarmu?" tanya Paris setelah pulih dari kekagetan.
"Bukan, hanya teman."
"Teman yang posesif."
Perhatian Paris teralihkan saat seorang perempuan yang tadi melucuti pakaian dan hanya memakai celana dalam dan bra, dengan langkah sempoyongan menuju meja. Tangannya menyingkirkan botol-botol dan gelas. Dibantu beberapa orang, meja itu bersih dan si perempuan naik ke atas meja dengan botol di tangan.
"Hei, para perempuan yang mengaku sexy dan pemberani. Aku tantang kalian menari di sini!"
Para perempuan yang semula duduk di sofa, satu per satu menaiki meja dan menari di atasnya. Paris tersenyum saat salah satu dari mereka memberinya tanda untuk naik.
"Hei, purple girl! Come on!"
Paris ragu-ragu sejenak, menyingkirkan tangan Dallas yang melingkari bahunya dan melangkah ke atas meja lalu naik dan mulai menari. Sorak sorai terdengar membahana. Paris mengikuti irama musik, membiarkan dirinya lepas. Nuansa tempat ini mengingatkannya akan Milan. Setiap kali mereka bertemu, sang adik akan mengajaknya ke club berdua dan mereka menari tiada henti. Kesedihan kembali menyentak dalam diri Paris. Ia menggerakkan tubuh, meliuk, hingga gaunnya terangkat.
Dallas menatap perempuan berambut ungu dengan pakaian sexy di depannya. Perempuan itu menari di atas meja dengan sepatu hak tinggi yang runcing. Hatinya bergetar, melihat bagaimana perempuan itu meliuk seperti ular. Terlihat memukau dan menggairahkan. Ia bangkit dan menangkap di saat yang tepat, sebelum perumpuan itu jatuh dari meja.
"Terima kasih." Perempuan itu berucap serak.
Dallas tidak melepaskan pelukannya meski perempuan itu menggeliat.
"Apa kamu tahu bahayanya, menari di atas meja dengan pakaian seperti itu?"
Perempuan itu tersenyum, mata mereka terpancang satu sama lain dalam keremangan ruangan. Entah kenapa, tubuh Dallas menegang karena sentuhan mereka yang begitu intim. Mereka baru bertemu dan keinginannya untuk mencumbu perempuan berambut ungu sangat membara.
"Jatuh?"
Dallas menggeleng. "Bukan, tapi kamu membuat kami para laki-laki bagaikan binatang buas melihat mangsa."
Dallas tidak dapat menahan jemarinya yang menyusuri tulang selangka, punggung, dan leher perempuan itu. Aroma tubuhnya mengingatkan akan musim penghujan dengan daun-daun berguguran. Menyegarkan tapi berbahaya untuk pikiran. Saat berdempetan di sofa, ia memang mengendus aroma itu tapi tidak memeluk dengan intim seperti sekarang.
"Terima kasih, tapi lepaskan aku. Tugasku sudah selesai."
Dallas menaikkan sebelah alis. "Menarimu sudah tapi tidak dengan ini." Dengan berani Dallas meraih bagian belakang pinggul perempuan itu, menangkup dan menggesekkan di area intimnya yang menegang. "Kamu membuatku bergairah. Bisakah kita pergi dari sini? Hanya berdua?"
Paris terkesiap oleh tindakan Dallas yang provokatif dan mesum. Ia mendorong tubuh laki-laki itu menjauh sambil tersenyum manis.
"Jaga sikap, Tuan!"
Pelukan Dallas terlepas, Paris berbalik dan setengah berlari meninggalkan ruangan.
"Hei, mau ke mana kamu?"
Paris mendengar Dallas berteriak dan ia mengabaikannya. Ia melangkah cepat, menyelinap dengan gesit di antara para pengunjun club dan setengah berlari menuju pintu depan. Untunglah, Dallas tidak mengejarnya. Di dekat parkiran, seorang laki-laki menyongsongnya dan membantu membuka pintu mobil.
"Bagaimana Miss?"
"Kita pulang dulu. Ada salah satu anak Harington yang datang malam ini."
"Siapa?"
"Dallas."
"Si anak kedua?"
"Benar, dan juga tersangka paling besar."
Paris menyandarkan tubuh ke mobil, membuka wig ungu yang menutupi kepalanya. Kendaraan melaju kencang di jalanan dengan pikirannya mengelana pada laki-laki kurang ajar yang baru saja merayunya.
"Dallas, kita akan bertemu tak lama lagi. Kita lihat, apakah kekayaan keluargamu mampu menolongmu dari jeratan hukum? Karena aku pastikan, kamu akan masuk penjara karena membunuh adikku."
***
Kisah ini akan menjadi salah satu cerita yang rumit, panjang, dan berliku. Selamat membaca, nggak usah takut akan pindah ke aplikasi lain. Mungkin tamat akan di buku atau ebook nanti.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro