Bab 16b
Darell menggeliat di atas ranjang. Mengerjap saat sinar matahari menerobos masuk ke kamar. Ia mengucek mata, meraih ponsel dan melihat sudah pukul 12 siang. Waktunya bangun dan makan siang. Kalau ia tidak bangun sekarang, kuatir teriakan sang mama akan terdengar dan menembus lantai. Ketukan pelan di pintu membuatnya duduk tegak.
"Masuk!"
Pelayan bernama Nita datang dan membungkuk hormat. "Tuan, sudah bangun. Nyonya sudah menunggu untuk makan siang."
Darell mengamati gadis itu dan tersenyum kecil. "Kamu kemari!"
Nita tersenyum. "Iya, Tuan."
"Tutup pintunya dulu dan kemari, ada yang ingin aku katakan."
Nita menutup pintu, lalu menghampiri ranjang dengan ragu-ragu. Ia melihat dada Darell yang telanjang, dan tidak tahu apakah bagian bawah tubuh laki-laki itu yang tertutup selimut juga telanjang. Pikirannya menjadi liar dengan jantung berdetak tak karuan.
"Iya, Tuan. Ada apa?" tanyanya saat lututnya menyentuh ujung ranjang.
Nita memekik, saat lengan Darell menarik lengannya. Dalam sekejap, ia dibanting ke atas ranjang dengan tubuh Darell menindihnya. Laki-laki itu telanjang bulat, membuat Nita kebingungan.
"Tu-tuan, apa-apaan ini?"
Darell berbisik. "Ssst, jangan takut. Aku hanya ingin mengajarimu satu hal."
Nita meneguk ludah. "Ajarin apa, Tuan?"
"Ini."
Darell dengan cekatan mengangkat rok Nita, memosisikan diri di tengah gadis itu dan melancarkan cumbuan di leher serta bahu si pelayan. Nita yang tidak pernah disentuh sebelumnya, merasa sangat bingung dan memekik saat Darell membuka seragam dan bra lalu mengulum putingnya. Ia menegang, sementara kejantanan Darell terasa keras di selangkangannya.
"Tuan, ada Nyonya," ucap Nita dengan terengah. Mencoba untuk tetap waras, meskipun tubuhnya panas mendamba.
Darell bergumam tidak jelas, melanjutkan aksinya. Mengulum dan meremas buah dada Nita bergantian. Membalikkan tubuh sang pelayan, dan ia mencumbu punggung Nita.
"Kamu basah," bisik Darell dengan tangan menyapu celana dalam Nita.
"Tu-tuan, jangan."
"Ehm, tenang saja. Aku tidak akan kelewat batas."
Nita tidak tahan untuk tidak mengerang saat jemari Darell bermain di area intimnya. Ia menggigit bantal, berusaha menahan teriakan. Ia memang sangat menyukai Darell, memuja ketampanan dan sikap ramah laki-laki itu. Seumur hidupnya, baru kali ini ia sangat menyukai laki-laki, itu karena Darell memperlakukannya dengan ramah.
Ia memang bermimpi ingin dipeluk dan dicium Darell, tapi bukan seperti ini. Mereka sama sekali tidak berciuman tapi mereka telanjang dengan jemari dan bibir Darell bermain-main di tubuhnya. Semua perasaan yang terpendam, keluar bersama sentuhan dan Nita, melupakan kalau di bawah sedang ada Gelda yang menunggu. Ia menjerit kecil saat Darell menarik jemarinya dan membuat tubuhnya lemas, menelungkul di atas kasur.
"Ayo, bangun dan rapikan pakaianmu. Jangan sampai mamaku melihatmu begini."
Nita bangkit dengan lutut gemetar. Merapikan pakaian dan rambutnya yang kusut.
"Tu-tuan, saya turun."
Darell melambaikan tangan, memberinya tanda untuk pergi. Nita bergegas membuka pintu dan langkahnya terhenti di dekat tangga saat berpapasan dengan Paris yang memeluk setumpuk majalan. Pandangan keduanya bertemu, dan Nita menunduk.
"Nita, dari mana?" tanya Paris. Ia mengamati rambut dan pakaian Nita yang kusut. Kalau tidak salah lihat, temannya itu baru keluar dari kamar Darell.
"Ehm, perpustakaan," jawab Nita sambil menunduk.
"Benarkah?" jawab Paris tenang. "Aku baru saja dari sana untuk mengambil majalah dan tidak ada kamu."
"Itu, aku—"
"Jangan bohong. Kamu dari kamar Tuan Darell bukan?"
Nita mengangkat wajah. "Memang. Lalu, apa masalahmu?"
Paris menggeleng, menatap prihatin pada sahabatnya. "Nggak ada, Nita. Aku hanya ingin kamu hati-hati."
"Aku bisa jaga diri. Lebih baik kalau kamu nggak ikut campur sama hidupku. Minggir!"
Nita mendorong Paris ke pinggir dan menuruni tangga dengan langkah cepat. Paris menatap nanar pada gadis muda yang menjadi korban rayuan Darell. Ia tidak tahu lagi harus bagaimana mengatakan padsa Nita, kalau Darell adalah laki-laki yang akan tidur dengan siapa pun yang dimau. Nita gadis baik dan lugu, akan sangat menyedihkan kalau sampai jatuh dalam janji plasu dan rayuan maut Darell.
Paris membawa tumpukan majalah ke kamar Gelda. Selesai makan siang, perempuan itu ingin mencari sesuatu dari majalah.
"Kemana Darell. Kenapa belum muncul?" tanya Gelda.
"Mungkin sebentar lagi, Nyonya," jawab Parvati. "Sepertinya Tuan Darell kelelahan karena pulang kerja pagi buta."
Gelda mendengkus. "Kerja apa? Yang dilakukan anakku itu setiap haru hanya foya-foya."
Paris yang berdiri di dekat meja makan, melihat Nita datang. Gadis itu sudah mengganti seragamnya yang kusut.
"Di mana Dallas?"
"Pergi, Nyonya."
"Hah, ke mana?"
"Kurang tahu. Tidak pamitan!"
Gelda membanting sendok dan garpu ke piring lalu menggumam keras. "Satu tukang tidur, satu lagi tukang kelayapan. Entah mau jadi apa mereka!" Ia menatap Paris lalu melambai. "Kamu, coba buka laci kedua dari kiri di meja riasku. Ambilkan aku bedak dengan kotak hitam. Bawa kemari, setelah itu kamu berganti pakaian. Ikut aku belanja!"
Paris mengangguk. "Iya, Nyonya."
Ia bergegas ke kamar Gelda, menuju meja rias dan membuka laci. Menemukan bedak dengan kotak hitam. Tanpa sengaja, tangannya menyentuh sesuatu dan ia melihat kertas merah muda, yang pernah ditemukan di kamar Derick. Rupanya, Gelda juga memiliknya. Jemari kembali mencari dan tidak menemukan hal lain yang mencurigakan. Ia membuka laci satu per satu, setelah menyimpan kertas merah muda di saku. Ia ingin mencocokan sidika jari yang ada di kertas itu.
"Kenapa lama sekali. Cari apa kamu?"
Parvati muncul di pintu dan hampir membuat Paris terkena serangan jantung. Ia memperlihatkan gumpalan tisu dan berucap sambil tersenyum.
"Mam, ada serangga kecil masuk. Sepertinya terbang saat Nyonya membuka jendela."
Parvati terbeliak. "Sudah kamu matikan?"
Paris mengangguk. "Sudah."
"Sana, buang yang jauh. Jangan sampai Nyonya tahu dan menghukum kita."
"Iya, Mam."
Paris setengah berlari menuju tempat sampah belakang dan membuang tisu dalam genggaman. Ia bergegas ke kamar dan mengganti pakaian. Memakai celana panjang hitam dan blus biru, Paris merapikan wig, kacamata, serta behelnya. Merasa semua sudah rapi, ia turun menemui Gelda.
"Ayo, naik ke mobil."
Paris duduk di depan bersama sopir, sementara Gelda di jok belakang. Ia tidak tahu akan dibawa ke mana, hingga kendaraan memasuki sebuah hotel. Ia mengikuti langkah Gelda yang menyeberangi lobi, menuju lounge hotel. Di sana, sudah ada beberapa perempuan yang menunggu, termasuk Emma. Paris mengeluh dalam hati, karena terjebak dalam pertemuan para perempuan yang pasti akan sangat membosankan.
"Emma, kamu makin cantik," puji Gelda.
"Ah, Aunty bisa saja."
Keduanya berpelukan dan cipaka-cipiki. Paris berdiri dengan salah tingkah. Matanya menangkap serombongan laki-laki memasuki lounge dan ia terbeliak kaget saat melihat sang papa melangkah bersisihan bersama beberapa laki-laki dan juga Beck. Asistennya itu mengenali dirinya dan sempat tercengang sebelum membuang muka.
Hugo makin mendekat, hingga akhirnya berdiri tak jauh dari Paris yang menunduk. "Nyonya Harington," sapa Hugo pada Gelda.
Perempuan itu mengangguk. "Tuan Hugo."
Keduanya berpandangan dengan binar penuh permusuhan. Hugo memalingkan wajah, melirik Paris dan mengernyit. "Kamu?"
"Tuan, tamu kita sudah menunggu." Beck menyela cepat.
"Ah, ya."
Hugo meninggalkan Paris yang mematung, menuju meja di bagian lain lounge. Paris menghela napas panjang, berusaha menahan gemetar. Untung ada Beck, entah apa yang akan terjadi kalau sampai sang papa mengenalinya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro