Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 16a

"Kak, kamu mau punya suami seperti apa?"

"Hush, masih kecil bahas suami."

"Cuma tanya!"

Paris mencubit hidung sang adik. Mereka berdua duduk di halaman asrama yang teduh. Ia baru saja menyelesaikan jam pelajaran sore saat Milan datang menjenguk. Entah apa yang dipikirkan adiknya yang baru berusia 10 tahun, tapi bersikap sok dewasa. Milan bukan menanyakan kabar atau pelajaran tapi justru bicara soal pernikahan. Memang adiknya sangat aneh.

"Ayo, jawab, Kak. Kamu pasti ingin nikah sama dia'kan?" Milan kecil tertawa terbahak-bahak, membuat wajah Paris keheranan.

"Dia siapa?"

"Itu, yang sekarang berdiri di jendela. Dari tadi, dia lihatin kita terus. Pacarmu, ya, Kak."

Paris mengangkat wajah, memandang seorang pemuda tampan. Meski dari kejauhan, tapi wajah pemuda itu seolah terlihat jelas. Rahang kokoh, senyum manis, dan juga bentuk wajah yang persegi, semua sepakat kalau pemuda itu memang sangat menawan. Banyak gadis-gadis yang tergila-gila padanya. Paris beruntung bisa menjadi temannya.

Paris berdehem. "Ehm, dia hanya teman."

"Ciee, yang temannya tampan."

"Eh, anak kecil. Udah pintar, ya, meledek orang. Ayo, beli es krim. Mau nggak?"

"Mauuu!"

Pemuda yang berada di dalam ruang musik melambai, Paris membalas lambaiannya dan tak lama, pemuda itu berlari keluar menghampiri mereka.

"Kalian mau ke mana?"

"Makan es krim di seberang."

"Oh, aku mau juga."

Milan tidak mengatakan apa-apa, hanya mengangguk dengan wajah berbinar. Pemuda itu tinggi, langkahnya lebih cepat dari yang lain. Tiba di troatoar, mereka menunggu di pinggir hingga lampu berubah warna.

"Kak, aku juga mau belajar piano," ucap Milan pada pemuda di sampingnya. Berkata dengan penuh harap.

Pemuda tampan itu mengangguk. "Baiklah, kapan-kapan kalau kamu datang lagi, aku akan mengajarimu."

Lampu berubah merah, Milan berjalan berdampingan dengan pemuda itu sementara Paris berjongkok untuk menali sepatunya yang longgar. Saat itulah, sebuah kendaraan melaju sangat kencang dan nyaris menghantam Milan dan pemuda itu. Tanpa pikir panjang, Paris melemparkan dirinya dan mendorong keduanya. Naas, kendaraan itu menghantam tubuhnya dan membuatnya terkapar di atas aspal dengan tubuh berlumuran darah.

"Kakaak!"

"Pariiis!"

Tersengal dengan tubuh banjir keringat, Paris terbangun dengan kaget. Mimpi yang sama kembali terulang, kali ini lebih jelas dari sebelumnya. Tabrakan mobil, jeritan Milan, dan juga wajah pemuda yang sampai sekarang ia ingat samar-samar. Meraih botol berisi air putih dari samping tempat tidur, Paris meneguk perlahan. Di sampingnya, Nita masih terlelap.

Paris membasuh tubuhnya yang penuh keringat dengan handuk kecil. Malam ini cuaca cukup hangat dan nyala kipas angin tidak mampu mengusir panas. Ia merindukan pendingin ruangan di kamarnya, setidaknya setiap kali terserang mimpi buruk, tubuhnya tidak perlu kepanasan karena keringat.

Melangkah tertatih ke kamar mandi, Paris buang air kecil dan membasuh wajah. Selesai semua, ia berniat kembali tidur tapi ternyata waktu sudah menunjukkan pukul empat pagi. Tidak ada gunanya berbaring, karena sebentar lagi waktunya bekerja.

Bercelana pendek dengan kaos, Paris menuruni tangga. Bila di kamarnya panas, tapi di halaman hawa cukup dingin dan membuatnya sedikit menggigil. Ia memutari halaman, sambil menggerakkan tubuh.

"Siapa pemuda itu? Apakah teman sekolah sewaktu di asrama?" Paris bergumam pada diri sendiri. "Kenapa aku nggak ingat nama dan wajah? Kenapa semua terasa kabur? Lalu, sampai tahun berapa aku di asrama?"

Ia berdiri di tengah halaman dan memukul jidat. Ada banyak hal dari masa lalunya yang terlupakan, dan ia tidak mengerti kenapa bisa begitu. Sering kali kilasan-kilasan datang lalu pergi begitu saja. Saat memaksakan diri untuk mengingat semuanya, kepalanya akan berdenyut menyakitkan. Apakah ia begini karena kecelakaan?

Paris menghela napas panjang, dan berniat masuk ke rumah induk. Berniat menemui koki yang selalu bangun lebih pagi dari siapa pun. Ia berharap mendapatkan sarapan hangat, jauh lebih cepat dari yang lain. Namun, bukan koki yang ia temui melainkan Dallsa yang baru saja kembali, entah dari mana.

Pandangan mereka bertemu di dapur. Dallas menatap Paris yang memakai kaos dan celana pendek. Lalu tersenyum.

"Pagi sekali kamu bangun?" ucap laki-laki itu.

Paris tidak menjawab, menatap Dallas tak berkedip. Kembali teringat perkataan Gelda yang membuatnya berpikir seribu kali sebelum mendekati Dallas. Tuan rumah di sini, tidak terkecuali anak-anak mereka, terlibat dalam kematian Milan. Paris tidak akan pernah melupakan fakta itu.

"Paris? Kenapa bengong?"

Paris tersadar. "Tuan Dallas, baru pulang. Saya nggak akan ganggu." Ia membalikkan tubuh, berniat keluar.

"Tunggu! Aku belum selesai bicara!"

Paris menghela napas panjang dan kembali menghadap Dallas. Berusaha menyunggingkan senyum meski enggan. "Iya, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?"

Dallas mendekat, Paris menahan diri untuk tidak membuka pintu dan berlari keluar. Aroma laki-laki itu campuran antara parfum, tembakau, dan juga alkohol. Sekilas orang akan tahu, kalau Dallas baru saja pulang dari tempat hiburan.

"Kenapa kamu menghindar?" tanya Dallas.

Paris menggigit bibir. "Tuan, ada CCTV. Nggak enaka kalau kita berdiri terlalu dekat."

Dallas tidak mengindahkan protesnya. Makin merapat dan nyaris mengurung tubuhnya dengan pintu.

"Kalau begitu, kita bicara di luar."

Paris hampir terpelanting saat pintu membuka. Dallas menyambar bahunya dan membawa ke teras samping, tepat di bawah pohon besar. Tempat yang bagus untuk bicara, dan blind spot. Tidak terdeteksi CCTV.

Dallas menghimpitnya di pohon. Tubuh mereka berdirib rapat dan berbagi rasa panas.

"Ada apa, Tuan?" tanya Paris, berusaha untuk tenang. Jemari Dallas dengan kurang ajar membelai pahanya yang terbuka. "Ingat, sebentar lagi koki bangun."

"Iya, iya, dari tadi kamu terus memberiku peringatan tentang ini dan itu. Apa kamu tahu, Paris? Aku merindukanmu."

"Apa?"

Keduanya bertatapan dengan tangan Dallas berpindah dari paha menuju pinggang Paris dan meremas lembut.

"Kamu mungkin bingung, kenapa aku bisa bilang rindu. Tapi, semenjak kamu tidak lagi membersihakn kamarku, seperti ada yang hilang dari hidupku. Paris, oh, Paris. Kenapa kamu nggak pindah lagi ke lantai atas."

"Tuan, saya—"

"Aku rindu kita mengobrol. Hanya kamu pelayan satu-satunya yang cerdas dan bisa diajak bicara apapun juga. Denganmu, aku merasa bicara dengan teman, bukan dengan pelayan."

Paris tersenyum, berusaha menghindar tapi tangan Dallas mencengkeram bahunya. "Tuan, itu hanya perasaan saja. Yang Anda butuhkan adalah teman."

"Aku punya banyak teman."

"Mungkin kurang terbuka satu sama lain. Karena itu, bertemu saya, Anda merasa—"

Paris tidak menyelesaikan perkataannya karean Dallas menyarangkan kecupan. Laki-laki itu tersenyum, dan meninggalkannya begitu saja di bawah pohon. Paris meraba bibirnya, merasa bingung dan aneh dengan sikap Dallas. Sosok Dallas menghilang ke dalam rumah dan ia berniat untuk kembali ke kamar saat sang koki menampakkan wujud dan melambai riang padanya.

"Paris! Ayo, sarapan!"

Panekuk hangat, dengan kopi hitam yang panas, adalah kombinasi sempurna. Paris merasa mampu menghadapi apa pun dengan kondisi perut kenyang.

**

Tersedia di google playbook.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro