Bab 15b
"Ma-maaf, Tuan. Kaget saya," ucap Paris terbata.
Dallas menggeleng, mengibaskan bagian depan kemejanya yang terpercik air. "Kamu lagi ngelamun apa? Ditegur lembut aja masih kaget."
"Anu, banyak hal, Tuan."
"Banyak hal? Contohnya apa?"
Paris menggigit bibir bawah dan hampir mengucapkan kata 'kamu' tapi untunglah bisa menahan diri. Ia sedang memikirkan strategi untuk dekat dengan Gelda, sekaligus mengawasi Dallas. Teguran dari laki-laki itu tentu saja membuatnya terlonjak.
"Contohnya jenis makan malam, Tuan."
Dallas tersenyum, mengulurkan tangan untuk mengusap bagian depan rambut Paris yang basah.
"Jangan kebanyakan melamun. Nanti kamu jantungan kalau kaget lagi."
Paris mengangguk. "Iya, Tuan."
"Satu lagi. Sebaiknya kamu berganti pakaian. Iar membuat bajumu transparan dan bra hitammu terlihat jelas."
Paris ternganga, buru-buru menutup dada dan melemparkan selang ke bawah. Tapi, karena air memercik ke segala arah, ia menunduk dan mengambil selang kembali. Alhasil, hampir separuh tubuhnya basah. Ia memejam, merasa malu dan tetap menunduk saat terdengar tawa Dallas yang menggelegar.
"Paris, kamu lucu sekali. Lihat, sekarang badan dan pakaianmu basah semua." Dallas mendekat, memegang bahu Paris. "Aku tergoda untuk mengamatimu, pasti menarik melihatmu basah. Sayangnya, ada pekerjaan penting yang menunggu. Bye, Paris."
Paris menatap kepergian Dallas dengan jantung berdetak lebih cepat. Reaksinya selalu sama saat berada dekat dengan laki-laki itu, entah sebagai Anastasi, Purple, maupun pelayan. Dallas membuatnya kikuk, salah tingkah, tapi juga mendamba secara bersamaan. Seandainya, tidak ada kematian Milan, ia mempertimbangkan ingin dekat dan mengenal Dallas lebih jauh. Semoga setelah keluar dari rumah ini, niatnya tercapai. Ia sendiri tidak terlalu yakin, mengingat tembok tinggi yang menghalangi yaitu kematian.
Selesai berganti pakaian, Nita menyuruhnya turun karena Gelda datang. Ia buru-buru ke rumah depan untuk menyambut sang nyonya dan tercengang saat mendengar teriakan Gelda.
"PEREMPUAN BRENGSEK! KURANG AJAR! LIHAT SAJA BAGAIMANA KELAK AKU AKAN MEMBALASMU, AAARRRRGGHHH!"
Paris menutup telinga saat Gelda menjerit keras. Parvati menatap cemas pada majikannya tapi tidak berani beranjak untuk menyapa. Gelda sekarang mengamuk, membuang tas ke atas sofa, mencopot sepatu dan melemparkannya ke ruang tengah. Hampir saja mengenai kepala Paris kalau ia tidak buru-buru berkelit.
Semua pelayan berdiri gemetar di tempatnya. Tidak ada satu pun yang berani menghampiri apalagi bertanya. Semua orang tahu kalau Gelda yang marah sedang mengamuk, imbasnya tidak bagus untuk mereka. Jadi, demi keselamatan, mereka lebih baik menjauh.
"Parvati, ke sini kamu!" teriak Gelda.
Parvati mendekat. "Iya, Nyonya."
"Buatkan aku minuman dingin." Gelda menepuk dadanya dan berujar keras. "Dadaku rasanya panas. Aku ingin yang segar-segar!"
"Baik, Nyonya. Saya persiapkan."
Saat Parvati bergegas masuk, Paris memberanikan diri untuk maju. Berdehem kecil, ia mulai bicara. "Nyonya, mau saya pijat? Pasti kakinya pegal."
Gelda merebahkan diri di atas sofa dan menjulurkan kaki. "Tahu saja kamu. Sini, bantu pijat betisku. Hari ini luar biasa lelah."
Paris duduk di lantai, memijat betis Gelda. Melirik perempuan yang kini memejam.
"Kamu tahu apa yang terjadi di sana, Paris?"
"Ti-tidak, Nyonya."
"Sepatu yang kamu pilihkan memang pas dan cocok, semua orang menyukai dan menyanjungku. Sampai akhirnya perempuan brengsek itu datang! Bisa-bisanya dia mengangguku!"
"Mengganggu Nyonya, berani sekali dia?"
"Itulah, nyalinya memang besar. Kalau aku mau, bisa aku pukul dia. Tapi, sayangnya aku harus menjaga harga diri!"
Parvati datang dengan segelas jus buah dingin di atas nampan dan mengulurkan pada Gelda. "Nyonya, minum dulu. Biar segar."
Gelda meneguk dengan rakus, hingga tersisa setengah gelas dan menyerahkan pada Parvati.
"Saking marahnya aku di sana, sampai-sampai tidak sempat makan. Parvati, tolong beritahu koki untuk siapkan makan malam! Aku ingin makan yang enak!"
"Baik, Nyonya."
Paris berharap Gelda meneruskan ceritanya saat Harold dan Darell datang. Kedua laki-laki itu menatap ruangan yang berantakan lalu pada Gelda yang setengah berbaring di sofa.
"Ma, ada apa, ini?" tanya Harold.
Gelda membuka mata. "Nggak ada apa-apa."
Darell mengangkat sebelah alis. "Mama mengamuk dan menghancurkan ruangan. Pasti ada seseorang yang membuat Mama marah."
Harold duduk di depan sang istri, meletakkan tas di atas meja. "Biasanya, kalau selesai acara pertemuan kamu senang. Kenapa hari ini malah mengamuk?"
Gelda menatap suami dan anaknya bergantian, menuding marah pada mereka berdua. "Ini semua karena kalian! Membiarkan pemuda itu mati di klub dan akhirnya, aku yang harus menerima getahnya. Dicaci maki perempuan sialan itu!"
Tangan Paris terhenti tepat di betis Gelda. Ia menegang, menunggu lanjutan percakapan keluarga ini.
"Mama ketemu Livi pasti," tebak Harold.
"Siapa lagi? Hanya perempuan itu yang bisa seenak jidat menghinaku. Dia secara terang-terangkan kalau kitalah penyebab kematian anaknya. Hukum tumpul, karena kita kaya dan hari ini, aku dipermalukan perempuan sialan itu!"
Darell menghela napas, mengangkat bahu. "Maa, kenapa marah sama kami. Memangnya kami mau Milan mati di klub! Dia mati di sana, malah bikin nama klub kita rusak!"
Deg.
Jantung Paris serasa berhenti berdetak. Ia tidak sanggup mengangkat wajah, karena takut akan kelepasan emosi. Cara Darell mengucapkan nama adiknya, disertai dengan penghinaan dan cibiran. Sungguh keterlaluan.
Gelda menyingkirkan tangan Paris dari betisnya dan bangkit untuk menghampiri Darell. Tangannya mencengkeram krah kemeja anak bungsunya dan berbisik penuh penekanan.
"Kamu masih tida merasa kalau semua karena salahmu? Kalau kamu tidak bergaul dengan pemuda itu, semua kejadian itu tidak akan terjadi!"
Darell berusaha melepaskan diri. "Maaa! Bukan aku yang mencekokinya dengan obat bius!"
"Tapi, kamu yang memperkenalkan obat terlarang itu padanyaaa!"
"Diam! Diam semua!"
Harold berteriak, menghentikan perdebatan. Ia menatap para pelayan yang menunduk, dan juga Paris yang masih bersimpuh di atas karpet dekat sofa.
"Kalian lupa ini di mana?" tanya Harold.
Gelda melepaskan cengkeramannya di leher Darell. "Ini di rumahku. Yang mendengar percakapan kita hanya para pelayan. Kalau mereka berani mencampuri segala sesuatu yang bukan urusannya, aku berjanji akan merobek mulut mereka. Kalian dengar!"
Para pelayan mengangguk ketakutan, wajah mereka pucat. Darell mendengkus, meninggalkan sang mama. "Bukan salahku Milan mati! Siapa suruh dia ceroboh dan ikut campur yang bukan urusanny!"
"Memang bukan kamu, tapi Derick dan juga Dallas terlibat!" desis Gelda.
"Sudah-sudah, aku lelah! Diam semua!"
Harold masuk, diikuti Gelda dan Darell. Paris tetap bersimpuh di karpet dengan keringat dingin membasahi tubuh. Ternyata, dugaannya tidak salah. Orang-orang keluarga Harintong tahu tentang kematian adiknya dan mereka semua bungkam. Tangan Paris mengepal, menahan amarah.
**
Tersedia di google play book
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro