Bab 15a
Paris membuka ponsel, menggunakan kesempatan sedang berada di kebun bunga sendirian, ingin menelepon Beck. Gelda belum kembali dari pertemuan, Parvati sedang belanja dengan membawa Nita dan yang lain. Anak-anak keluarga Harington sedang tidak ada di tempat, hanya ada Dallas dan laki-laki itu mengurung diri di kamar. Waktu yang tepat untuk berdiskusi tentang pekerjaan.
"Nona, produk timah kita diluncurkan dan mendapat respon yang bagus dari konsumen. Beberapa kritik kita dapat, tentang kualitas barang, dan kita memberikan alternatif harga yang lebih tinggi untuk kualitas barang yang lebih baik."
"Bagus. Gebrakan kita berhasil."
"Nona, sepertinya Anda harus datang ke pabrik untuk review produk baru."
"Oke, akan aku cari waktu. Apa Papa mencariku?"
"Iya, Nona. Saya katakan pada beliau, Nona sedang kunjungan kerja."
Paris menghela napas panjang, mengedarkan pandangan ke sekeliling. "Beck, sepertinya aku tidak bisa berlama-lama di rumah ini. Tidak banyak informasi yang bisa aku dapatkan di sini. Awal bulan, aku akan keluar dari sini dan kita ganti penyelidikan di klub."
Terdengar helaan napas panjang, lalu Beck berujar keras. "Saya gembira mendengarnya. Memang itulah yang terbaik. Nona, sebaiknya tinggalkan rumah besar itu secepatnya. Kita akan menyelidiki dengan cara lain. Ada banyak undangan pertemuan dan pesta yang harus dihadiri."
Paris memijat pelipis, bicara tentang pertemuan dan pesta membuatnya sakit kepala. Ia kurang menyukai pergaulan sosial semacam itu. Menurutnya hanya buang-buang waktu, tapi demi keberlangsungan bisnis harus dihadiri.
"Bisakah kamu meminta Elina membelikanku gaun dan aksesoris ungu?"
"Nona akan menyamar lagi menjadi Purple?"
"Kemungkinan begitu. Satu-satunya cara untuk meneruskan penyelidikan pada keluarga Harington. Sebagai Anastasia, aku kurang leluasa bergerak. Lagi pula, seorang pewaris perusahaan bukan perempuan yang tepat untuk mendampingi Dallas."
Teringat akan musik yang dimainkan Dallas di dalam perpustakaan, pikiran Paris sedikit kacau.
"Nona tidak takut kalau Dallas tahu?"
"Nanti saja kita pikirkan itu. Sekarang aku pikirkan cara untuk keluar dari rumah ini."
Selesai menelepon dan memeriksa pekerjaan, Paris mendapati kalau Parvati sudah kembali. Ia menyembunyikan ponsel dan bergegas membantu perempuan itu merapikan barang-barang ke gudang. Ia melirik Nita, dan sang pelayan mengabaikannya. Sayang sekali, gadis sebaik dan selugu Nita harus jatuh dalam perangkap Darell. Semoga saja, tidak ada hal buruk terjadi.
**
Ruang arisan ramai oleh suara canda dan tawa dari para perempuan. Masing-masing dari mereka sibuk bercerita. Gelda yang semula bersikap angkuh karena merasa paling berkuasa, mau tidak mau menahan lidah. Livi tidak beranjak dari sisinya, mendengarkan setiap perkataan, dan memperhatikannya dengan tatapan tajam. Membuatnya merasa risih.
Ia mengambil sepotong kue dan memakannya. Yang menbuat jengkel, Livi pun melakukan hal yang sama. Tidak dapat menahan kesal, Gelda mendengkus.
"Kenapa Nyonya Hugo harus tetap di sini. Tidak berbaur bersama yang lain?"
Livi mengunyah lembut. "Saya sudah di sini."
"Oh, ternyata nyaman berada di samping saya." Gelda tersenyum kecil. "Tidak aneh, banyak yang merasa begitu. Bagiamana pun juga, bagi sebagian orang saya membawa aura positif."
"Mungkin, tapi bagi banyak orang Nyonya Harington juga cukup menyebalkan," tukas Livi lembut. "Apa Anda tahu kabar burung dan bisik-bisik yang beredar? Katanya, keluarga Harington terlalu memuja Pak Menteri. Kalau seandainya anak Pak Menteri perempuan, bisa jadi kalian ingin menjadi besan. Sayang sekali bukan?"
Gelda mengangkat dagu. "Kami tidak terlalu menginginkan kehormatan seperti itu. Untuk apa? Keluarga Harington bisa mencapai semua sendiri tanpa harus menebeng pada orang lain."
Livi mengangguk. "Saya setuju. Kalian memang berkuasa, bahkan menghabisi nyawa pemuda yang tidak berdosa pun, kalian bisa."
"Jangan sembarangan menuduh. Sebaiknya, Anda urus anak sulung suamimu, sebelum bertingkah macam-macam," gumam Gelda.
Livi mengibaskan rambut, menahan senyuman. "Oh, Anastasia? Muncul di pesta dan merebut perhatian semua orang? Jangan bilang, kalian merasa tersaingi."
Gelda tertawa lirih. "Tersaingi oleh anak tiri? Bukankah itu Anda yang harusnya merasa? Bagaimana rasanya kehilangan anak kandung tercinta, dan semua harta jatuh pada anak tiri? Pasti amat menyakitkan!"
Tawa Gelda lebih lebar dan terang-terangan. Semakin puas saat melihat wajah Livi memucat. Ia merasa kesal karena perempuan itu terus menerus menekannya. Sesekali harus membuat perhitungan agar Livi tahu sedang berhadapan dengan siapa.
Semenjak kasus kematian Milan di klub, semua tuduhan tertuju pada keluarga Harington. Memang tidak ada bukti, tapi kasak kusuk terdengar di belakang mereka. Orang-orang bergumam, dan menuduh, tidak peduli meskipu kepolisian mengatakan mereka tidak bersalah. Banyak masyarakat umum mengatakan kalau keluarga Harington membeli hukum dan itu sangat menjengkelkan.
Harus diakui, bisnis keluarga Harington memang tidak semuanya murni. Beberapa menyerempet hukum dan bahaya. Tapi, mereka tidak akan bertindak gegabah dengan menghilangkan nyawa orang lain. Kematian Milan, adalah duka bagi Hugo tapi bencana bagi Harington.
Livi menghela napas panjang, menepuk lembut lengan Gelda dan mengabaikan jengit kaget perempuan itu. "Ah, satu kabar yang saya dengar, katanya Anda adalah kekasih gelap Tuan Harold sebelum menjadi istri sah seperti sekarang. Bagaimana rasanya? Berhasil merebut posisi dari istri sah? Pasti menyenangkan bukan? Bisa mendapatkan semua harta?"
Livi bangkit dari sofa, menuju sekumpulan para wanita yang berdiri di jendela. Meninggalkan Gelda yang duduk dengan tubuh menegang dan wajah memucat. Gelda memang perempuan bermulut tajam, tapi ia tidak akan menyerah saat dihina.
**
Dallas menatap hamparan buku dan majalah yang terbuka di atas ranjang. Ia sudah selesai mencatat dan membuat rangkumana satu per satu. Mencari referensi bukan hal mudah, terlebih untuk bidang usaha yang tidak terlalu dimengertinya. Namun, bukan berarti tidak bisa.
Orang-orang di rumahnya menganggap dirinya tidak bisa bekerja dengan serius. Mereka tidak tahu, apa yang menarik minatnya. Bukan karena ia tidak suka bekerja tapi bidang usaha yang tidak membuatnya suka. Sedikit lagi, ia akan mewujudkan apa yang menjadi cita-citanya selama ini.
Kedua orang tuanya selalu membandingkannya dengan Derick. Terus terang, ia tidak peduli. Mereka bisa mengatakan apa pun soal dirinya, bahkan tentang hidupnya yang dirasa tidak ada kemajuan. Ia akan menjalani hidup dengan bebas, tidak tunduk pada tekanan orang lain, bahkan orang tuanya sendiri.
"Jangan sampai kamu mati karena menyesal, kalaun kelak harta warisan dan perusahaan semua jatuh ke tangan Derick. Semua karena kamu jadi anak sama sekali tidak bisa diandalkan!" Harold sering berucap hal yang sama. "Coba, kamu punya kemampuan dan kemauan sepuluh persen dari Derick! Kamu dan Darell sama saja!"
Ia melihat jam di tangan, sudah sore. Waktunya bertemu seseorang. Merapikan semua majalah dan buku, berganti pakaian. Di teras rumah, ia bertemu Paris yang sedang menyiram bunga. Wajah gadis itu basah karena keringat dan cipratan air. Sore ini Paris memakai seragam pelayan dengan atas putih tanpa celemek hitam. Wajahnya terlihat bersinar di bawah siraman cahaya matahari sore. Dallas merasa aneh, karena dadanya berdebar saat melihat seorang pelayan. Hal yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.
Paris, dengan kacamata dan tatanan rambut aneh, sangat menggelikan. Tapi, lekuk tubuhnya menggoda. Tanpa sadar Dallas meneguk ludah, teringat akan seorang perempuan yang selalu bercokol di otaknya.
"Paris!"
Paris berjengit kaget, selang lepas dari tangannya dan air memercik ke segala arah. Hampir menciprati Dallas seandainya laki-laki itu tidak bergegas mundur.
**
Tersedia di google Playbook.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro