Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 14b

Saat Gelda melenggang meninggalkan rumah menuju tempat pertemuan, Parvati mendekati Paris dan berbisik. "Hei, anak baru. Kerja bagus."

Paris menoleh. "Semua karena didikan Mam. Kalau tidak ada Mam di sisiku, mana berani aku?"

"Ehm, penjilat!"

Paris terkikik. "Mam, aku kemarin dapat kiriman syal cantik. Mau nggak?"

Mata Parvati melebar. "Kiriman dari mana?"

"Biasa, dari teman yang menjual harga miring. Bukannya Mam mau ada libur minggu depan?"

"Benar."

"Pasti butuh syal. Aku ada."

"Luar biasa, Paris. Kamu memang hebat."

Satu syal mereka terkenal berpindah tangan dari Paris ke Parvati. Ia mengamati dalam diam, saat kepala pelayan itu meraba syal dan memakai di leher. Tidak masalah kalau ia harus membuang uang dan barang berharga demi menyenangkan hati Parvati. Yang terpenting, keinginannya tercapai.

Menjelang siang, Dallas menemuinya yang sedang mengelap kaca jendela ruang tamu. Laki-laki itu memanggil. "Paris, aku membutuhkan bantuan di perpustakaan."

"Sekarang, Tuan?"

"Iya, aku sudah ijin dengan Parvati. Ayo, cepat!"

Paris meninggalkan pekerjaannya mengikuti Dallas. Di perpustakaan, laki-laki itu menyuruhnya mencari buku apa pun tentang otomotif. Baik bisnis maupun pengetahuan dan menumpuknya di meja. Total yang didapatkan ada tujuh buku.

"Tuan, sedang mempelajari otomotif?"

Dallas mengangguk. "Iya, sedikit."

"Mau bukan bisnis otomotif?"

"Kok tamu tahu?"

"Hanya menebak."

Dallas tersenyum. "Paris memang pintar. Terima kasih sudah dibantu. Kamu boleh pergi." Ia menuju ke stereo yang ada di atas buffet dan mulai menyetel musik. Paris yang baru menutup pintu, mematung saat mendengar musik dari dalam ruangan. Tubuhnya bergetar, bersandar pada pintu. Ia mengenali musik itu, karya Beethoven Symphony No.9. Napasnya tercekat, kenangan membanjirinya. Tentang sore beraroma roti panggang, daun yang berguguran karena angin, dan lembayung senja. Tawa seorang anak laki-laki dengan jemari menari di atas tuts piano, sementara dirinya bersandar pada jendela. Melamun dan berkhayal tentang pesta, kencan romantis, bersama anak laki-laki di depannya.

"Suatu saat aku akan mengajakmu ke museum dan teater." Anak laki-laki itu tersenyum.

"Kita mau apa ke sana?"

"Kencan tentu saja."

"Ta-tapi, aku masih kecil."

"Kalau begitu, aku menunggumu dewasa."

Paris menuruni tangga dengan tubuh lunglai, tak bertenaga. Ia berusaha mengingat bagaimana wajah anak laki-laki itu tapi tidak berhasil. Ia hanya ingat kalau mereka sering bertemu di ruang musik asrama sekolahnya. Mereka berteman tanpa ada seorang pun yang tahu, hingga sesuatu terjadi dan mereka terpisah. Sampai sekarang ia lupa, kenapa bisa terpisah dan apa penyebabnya. Lalu, di mana anak laki-laki itu? Bukankah mereka berjanji untuk pergi ke teater bersama?

Dengan napas tersengal, Paris merasakan kesedihan menyelusup masuk melalui ujung kaki dan menyebar ke seluruh tubuh. Tidak mengerti kenapa mendadak begitu sedih, seolah telah kehilangan sesuatu. Terduduk di bangku taman teras samping, Paris menangisi sesuatu yang tidak ia mengerti.

**

Gelda tersenyum di antara kerumuman. Tidak dapat menahan kegembiraan dalam dada. Bagaimana tidak, tebakan Paris berhasil. Outfitnya memang tabrak warna tapi itu justru membuat teman-temannya terkesan. Terlebih dengan sepatu yang dipakainya.

"Limited edition. Aku bahkan cari sampai ke negeri asalnya tapi kehabisan."

"Gelda, kamu hebaat dan keren. Mau dijual berapa sepatu itu?"

Gelda membalasa pujian teman-temannya dengan ramah. Mengatakan pada mereka kalau ini adalah hadiah ulang tahun dari suaminya. Padahal, yang sebenarnya ia membeli sendiri. Suaminya sama sekali tidak tahu menahu tentang fashion.

Ia memang disegani di perkumpulan ini, dianggap sebagai salah satu perempuan paling berpengaruh dan paling kaya. Tapi, tidak pernah menjadi pusat perhatian seperti sekarang. Orang hanya menyapa lalu pergi, dan kali ini berbeda. Gelda cukup menikmati perhatian orang-orang padanya.

"Selamat siang, maaf terlambat."

Semua mata tertuju pada perempuan yang baru datang. Berambut hitam panjang, dengan riasaN tipis. Perempuan itu dan memakai gaun menutupi mata kaki, sepatu, serta tas warna hitam. Kesan muram dan berkabung seolah melekat padanya. Semua terdiam menatapnya.

"Ah, Livi. Apa kabar? Akhirnya kamu keluar juga."

Salah seorang perempuan tersadar dan menyapa ramah. Livi mengangguk kecil ke arahnya. Kerumunan menyibak dan tanpa malu-malu, Livi duduk di sebelah Gelda. Kedua perempuan itu terlihat sangat kontras saat berdampingan, Gelda begitu hidup dalam balutan warna-warna cerah sedangkan Livi sebaliknya. Terlihat muram dengan pakaian serba hitam membalut tubuh.

Gelda menyembunyikan senyum, melirik perempuan di sampingnya. Tidak menyangka kalau Livi juga akan datang hari ini. Orang-orang yang semula memuji dan mengaguminya, kini berubah Haluan. Bertanya kabar pada Livi dan juga mengatakan kesedihan mereka. Perhatian yang teralihkan membuat Gelda geram.

"Bagaimana kabarmu, Nyonya Gelda?" tanya Livi saat orang-orang berhenti bicara dengannya.

Gelda tersenyum. "Baik, Nyonya Livi. Anda sehat?"

Levi menggeleng. "Tidak terlalu."

"Oh, begitu."

Livi menatap Gelda tajam, seolah ingin menguliti perempuan itu dengan sinar matanya. "Anda tidak tanya kenapa aku tidak sehat?"

Gelda sedikit kaget tapi berusaha untuk tetap tenang. "Oh, saya tipe orang yang tidak suka mencampuri urusan orang lain. Meski begitu saya harus tanya, kenapa Anda kurang sehat?"

"Karena ulah keluarga Harington," jawab Livi tajam.

"Apa?"

"Jangan puar-pura tidak tahu Gelda. Kamu jelas tahu anakku meninggal di mana? Kamu pikir, kami akan diam saja dan melupakan urusan itu?"

Mereka bertukar pandang penuh permusuhan, di antara hiruk pikuk para perempuan. Tidak ada yang ingin mengalah dan pergi lebih dulu, baik Gelda maupun Livi bertahan dengan sikap mereka.

"Tuduhan yang gegabah," desis Gelda.

Livi tersenyum sinis. "Benarkah? Jangan-jangan memang kalian merasa?"

Gelda meremas tas di tangan, berusaha menahan amarah untuk tidak beranjak pergi atau memukul perempuan bergaun hitam di sampingnya. Ia harus tetap tenang, tidak akan membiarkan dirinya diintimidasi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro