Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 14a

Paris mengamati Dallas yang makan dengan lahap. Laki-laki itu menyantap mie dan menikmati setiap kunyahan. Paris berdiri di dekat balkon, menunggu dalam diam sampai Dallas menandaskan mienya. Ada yang aneh dengan laki-laki itu, entah hanya perasaan atau benar adanya, tapi Paris merasa kalau Dallas tahu sesuatu. Apakah laki-laki itu mengetahui identitas dirinya?

"Kenapa kamu berdiri di sana?" tegur Dallas.

"Tuan, saya harus kembali ke kamar. Nggak enak kalau Nyonya tahu, saya di sini."

Dallas mengernyit. "Seingatku, kamu adalah pelayan di rumah ini. Jadi, di mana pun kamu bekerja harusnya tidak masalah."

"Tapi, saya nggak mau ada perdebatan antara Nyonya dan Tuan. Saya merasa nggak enak hati. Dan juga, pelayan yang lain merasa iri, menganggap saya hanya penjilat makanya—"

Paris menutup mulut, merasa sudah terlalu banyak bicara dengan Dallas. Laki-laki itu menatapnya tanpa kata dan ia menunduk. Sepertinya, sebagian dari dirinya ada yang lupa kalau Dallas adalah majikannya. Untuk sesaat ia memperlakukan laki-laki itu sama seperti saat dirinya menjadi Anastasia atau Purple. Ia berdehem, merapikan bekas makan Dallas dalam diam.

"Paris ...."

"Iya, Tuan."

Dallas meraih pergelangan tangannya dan mencengkeram lembut. Pandangan mereka bertemu dan Paris merasa kalau mata hijau Dallas seperti menembus jantungnya.

"Nggak ada yang salah kalau kamu jadi pelayan favorit. Kamu memang hebat dan pintar. Apa kamu mau tahu tips bagaimana menaklukan hati mamaku?"

"Hah, maksudnya, Tuan?"

"Biar kamu bisa bebas keluar masuk kamarnya. Coba, kamu cari tahu tentang sepatu yang unik. Kamu pernah masuk kamar dan satu tempat terkunci yang nggak boleh sembarang dibuka?"

Paris mengangguk. "Iya, Tuan.

"Itu adalah ruang khusus koleksi sepatu mamaku. Ada sekitar 2000 pasang. Kalau kamu bisa menemukan satu saja yang khusus, dan keren pastinya, mamaku akan semakin menyukaimu."

Paris terdiam, menatap Dallas tak berkedip. Ia tidak salah dengar, laki-laki itu sedang mengajarinya mencuri hati sang mama. Apakah Dallas hanya ingin sekedar membantu atau ada pikiran lain? Paris dibuat tidak mengerti. Ia meninggalkan Dallas dengan pikiran berkecamuk.

Di ujung tanggal lantai bawah, ia hampir menatap Darell. Laki-laki itu mengernyit saat menatapnya. "Bukankahnya kamu tidak lagi bekerja di area atas?"

Paris mengangguk. "Iya, Tuan. Hanya mengantar mie untuk Tuan Dallas."

"Ckckck, kakakki itu memang manja. Banyak pelayan lain di sini dan hanya kamu yang disukainya." Darell tersenyum, menatap Paris dari atas ke bawah. Sudah malam, Paris mencopot pakaian pelayan dan menggantinya dengan rok dan blus. "Kamu cantik juga. Bukan ding, tapi cantik banget."

Paris menghela napas panjang, teringat tindakan Darell dengan Nita. "Maaf, Tuan. Saya harus ke belakang."

"Eit, tunggu dulu. Di sini sedang sepi, ngapain buru-buru." Darell merentangkan tangan, memblokir langkah Paris. "Bersikap yang manis padaku, kalau kamu ingin bekerja lebih lama di sini. Kamu tahu bukan? Bagaimana cara mengambil hatiku? Aku jamin, kamu akan lebih bahagia."

Paris tersenyum dan menggeleng. Lalu mengarahkan pandangan ke belakang. "Mam Parvati, saya di sini!"

Darell menjatuhkan lengannya dan Paris bergegas melewatinya. Ia tidak ingin berurusan dengan anak manja tukang foya-foya itu. Tidak bagus untuk masa depan dan penyelesaian masalahnya. Ia tidak akan membuang-buang waktu dengan orang yang tidak berguna. Kalau nanti Darell terbukti bersalah, ia punya cara untuk menghabisi laki-laki itu, tapi sementara dalam penyelidikan, tidak akan menghabiskan waktunya.

Kembali ke kamar, ia mendapati Nita masih belum tidur. Ragu-ragu sesaat, ia menghampiri sahabatnya dan menepuk pundak Nita lembut.

"Hei, boleh nggak aku ngomong sesuatu yang serius?"

Nita mengangguk. "Ada apa? Tentang pekerjaan?"

Paris menggeleng. "Bukan, tapi tentang Tuan Darell. Kamu hati-hati sama dia."

Nita mengerjap bingung. "Kenapa?"

"Karena takut dia akan mempermainkanmu. Mulutnya memang manis, tapi ingat Nita. Dia bukan untuk kita."

Paris memperhatikan bagaimana sahabatnya menunduk malu-malu. Rona merah menjalari pipinya dan Paris merasa kuatir saat melihatnya. Ia was-was, pikiran buruk berkelebat dan berharap apa yang yang dipikirkannya tidak terjadi.

"Nita?"

Nita mengangguk, menahan senyum. "Jangan kuatir, Paris. Aku bisa menjaga diriku. Lagi pula, Tuan Darell sangat baik. Dia sering memberiku hadiah, kayak coklat, kue-kue. Kemarin malah ngasih aku dompet. Tapi, jangan ngomong sama siapa-siapa, ya?"

Paris menggeleng pelan. "Nita, jangan terlena. Dia itu—"

"Aku tahu dia siapa Paris. Tuan Darell majikan kita, lalu kenapa kalau dia baik sama aku? Jangan bilang kamu cemburu!"

"Tentu saja nggak!"

"Ya sudah, kalau gitu jangan terlalu ikut campur urusanku. Yang pasti, aku ngerti apa yang aku lakukan sekarang."

"Nita, semua yang aku bilang untuk kebaikan kamu."

Nita mengangkat tangan. Memalingkan wajah. "Stop! Aku sudah cukup banyak dengar dari kamu. Menurutmu aku nggak lihat kalau kamu dan Tuan Dallas sangat dekat? Memangnya kamu mau merebut perhatian Tuan Darell juga?"

"Nggak, Nita. Sama sekali nggak ada niatan begitu."

"Bagus, dan kita nggak usah bahas ini lagi. Aku ngantuk, mau tidur!"

Nita merebahkan diri dan berbaring menyamping, memungguni Paris. Menghela napas panjang, Paris ikut rebah di kasurnya. Ada banyak hal yang ia kuatirkan, dan kini ditambah dengan Nita. Semoga saja, sahabatnya itu tahu untuk tidak mencari masalah dengan Darell.

Keesokan paginya, saat bangun Paris mendapati Nita sudah tidak ada di kamar. Padahal, biasanya mereka selalu bangun dan sarapan bersamaan. Masuk ke kamar mandi dengan membawa ponsel, ia membalas pesan dari Beck yang dikirim tadi malam.

"Ada undangan dari Alfredo. Dua Minggu lagi di hotel Season Life. Acara penggalangan dana untuk anak-anak korban kekerasan."

Paris berpikira sesaat lalu membalas cepat. "Konfirmasi, aku datang."

Selanjutnya ia membaca jurnal pekerjaan. Sebelum membasuh wajah, gosok gigi, dan memakai pakaian pelayan. Di rumah utama, ia bertemu dengan Nita yang sedang menuruni tangga. Ia menyapa tapi gadis itu melengos. Hati Paris bagai diremas. Tepukan lembut dari Parvati membuatnya terjaga.

"Ayo, ke kamar Nyonya. Tuan Harold sudah pergi."

Paris mengangguk. "Iya, Mam."

Ada dua pelayan lain yang dibawa masuk ke kamar Gelda. Paris yang mendapat bagian membersihkan meja dan kaca, melakukan pekerjaannya dengan serapi mungkin. Gelda berdiskusi dengan Parvati tentang menu makan siang dan makan malam.

"Paris, coba kamu ambil sepatuku. Merek Dior, yang kotak nomor dua dari ujung kiri dekat pintu," perintah Gelda.

Paris menahan rasa gembira, saat membuka pintu. Ia menatap ruangan luas dengan etalase kaca di mana ada banyak sepatu terpajang, di etalase dengan kotak kaca. Ia mencari sepatu yang diminta dan bergegas membawanya ke hadapan Gelda.

Perempuan itu sudah selesai berganti pakaian dan memakai sepatu lalu berputar di depan para pelayan termasuk Paris. "Bagaimana, cocok?"

Dengan gaun kuning dan sepatu hitam beraksen silver, tentu saja cocok. Hanya saja, bagi Paris terlihat biasa saja. Melihat Paris tidak bertepuk tangan, Gelda bertanya padanya.

"Kenapa, Paris? Kamu nggak suka?"

Paris menggeleng. "Suka, Nyonya. Tapi, maaf. Terlalu biasa. Bukankah Nyonya ingin pergi ke pertemuan arisan?"

"Iya, benar."

"Ada sepatu yang saya rasa cocok, memang akan sedikit tabrak warna tapi justru nilainya."

Gelda terdiam, sedangkan Parvati memberikan tatapan memperingatkan. Paris terdiam, berusaha untuk tetap tenang.

"Baiklah, coba aku lihat bagaimana pendapatmu. Mana, sepatu yang kamu bilang bagus."

Paris mengangguk, sekali lagi berlari ke arah ruang sepatu. Mengambil kotak kaca dan membawanya ke hadapan Gelda.

"Nyonya, Anda hebat. Setahu saya sepatu ini limited edition."

"Dari mana kamu tahu kalau ini limited edition?"

Paris mengeluarkan sepasang sepatu dengan tatahan batu permata di atasnya. Meletakkan di depan Gelda. "Karena Nona saya, maksudnya majikan lama saya pernah ingin memesan sepatu seperti ini dan tidak mendapatkannya."

"Wah, ternyata pengetahuanmu cukup luas. Kenapa aku harus memakai sepatu ini?"

"Setahu saya, sepatu ini mulai langka. Dengan memakainya di acara nanti, akan menarik perhatian. Jangan lupa, gaun dan tas Anda memang bukan warna yang sesuai untuk sepatu ini, tapi bukankah begitu cara mendapatkan panggung?"

Gelda tersenyum. "Kenapa kamu pikir aku ingin menarik perhatian orang lain?"

Paris menatap tajam pada Gelda. "Karena saya pun begitu saat ada pertemuan sekolah, Nyonya. Harus jadi paling cantik, atau paling tidak yang dianggap paling menarik."

Gelda tertawa terbahak-bahak, menepuk pundak Paris. "Luar biasa. Kamu seperti Parvati, bisa membaca pikiranku. Baiklah, aku akan menuruti kemauanmu. Kembalikan sepatu yang lama pada tempatnya, aku akan pakai yang ini."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro