[ Someone in the night ]
Udara malam yang dingin membuat Lula menyembunyikan satu tangannya di saku hoodie. Matanya sesekali terpejam ketika mendengar nada yang mengalun indah dari musik yang ia putar.
Telinganya tersumbat headset, membuat siapapun yang berpapasan dengannya menggelengkan kepala. Karena walaupun ditegur dengan ramah, Lula akan bersikap cuek seolah tak mendengar.
Tipikalnya yang masa bodoh dengan keadaan sekitar.
"Neng Lula! Yuhuu...," Langkah Lula terhenti begitu saja. Bisikan halus yang terdengar tepat di sampingnya membuat gadis itu menolehkan kepalanya sedikit.
Cengiran lebar Arlan yang terlihat menyebalkan membuat gadis itu menghela nafasnya sembari memutar bola mata jengah. Persis sesuai dugaan. Satu-satunya orang yang sering mengganggunya hanya Arlan.
"La! Di panggil, tuh, nyaut, dong!" ucap Arlan dengan kesal. Bibirnya sedikit mengerucut. Namun di mata Lula, itu terlihat sangat menyebalkan.
"Apa?" katanya setelah beberapa saat. Itupun karena ia merasa sebal sebab Arlan terus-menerus memainkan rambutnya yang pendek. Nada cuek yang terdengar membuat Arlan terkikik geli. Ntah bagian mananya yang lucu. Lula pun heran, Arlan itu manusia paling aneh yang pernah ia temui.
"Mau kemana?" tanya Arlan. Padahal dia tengah mengikuti Lula sejak berpapasan di tangga tadi.
Lula tak menjawab, ia hanya melirik pada sekantung plastik berisi barang tak terpakai yang telah resmi menjadi sampah itu. Arlan manggut-manggut saja, meski otaknya yang kata Yoga cuman sedigit, tapi ia cukup mengerti dengan apa yang Lula maksud.
Sampai di lantai dasar, Lula kembali menghentikan langkahnya, membuat Arlan yang mengekorinya otomatis juga berhenti.
"Kenapa?" tanyanya dengan wajah polos. Kalau cewek lain, pasti bakalan jerit histeris karena Arlan keliatan lucu. Tapi semua itu gak berlaku buat Lula.
"Lo yang kenapa ngikutin gue?!" Kening Lula mengkerut marah. Namun yang ia dapat, Arlan justru tertawa receh hingga memegang perutnya yang mungkin terasa geli.
"Pede banget? Gue mau ke minimarket sebrang padahal."
Lula menatap manik coklat gelap itu sesaat. Entah benar atau tidak, pikiran Arlan sangat sulit ditebak.
"Awas Lo ngikutin gue!" Ancam Lula. Matanya menatap tajam sebelum akhirnya melangkahkan kakinya kembali. Arlan masih terdiam di tempatnya, senyumnya masih sama seperti saat Lula menatap kedua netranya tadi.
Makin gila gue, La, monolognya dalam hati.
"Tungguin elah! Kalo bisa berdua ngapain jalan sendiri." Tanpa permisi, lengan tangannya melingkar begitu saja di leher sang gadis. Lula memberontak, bahkan memukuli dada bidang Arlan, tapi gak digubris sama sekali oleh sang remaja.
"Kalem dong sayang," ucapnya tambah mengada-ada.
"Najis," umpat Lula pelan, tapi masih terdengar jelas hingga membuat Arlan terkekeh ketika mendengarnya.
Malam itu udara terasa dingin, Arlan mengumpat dalam hati. Padahal dia gak ada niatan keluar tadi, makanya hanya memakai kaus lengan pendek dan celana selutut. Mau ke minimarket hanya alibinya agar Lula tidak jalan sendirian ke tempat pembuangan sampah. Mana tega dia membiarkan Lula pergi sendirian ke jalanan gelap ini.
"Awas!" sentak Lula. Tangannya menyingkirkan lengan Arlan yang masih tergantung di bahunya.
Ia bersiul pelan ketika menunggu sang gadis menuntaskan misinya untuk jalan jauh-jauh dari lantai dua ke tempat pembuangan sampah.
Hentakan kaki yang terdengar membuat bibir sang remaja berkedut. Saat bersama Lula, entah kenapa Arlan hanya ingin memperlihatkan senyuman yang ia punya. Bahkan tanpa bisa ia kendalikan, bibirnya selalu melengkung begitu saja saat melihat gadis mungil ini.
"Udah?" tanyanya yang mulai terbawa angin tanpa mendapat jawaban.
Lula hanya meliriknya sekilas dengan sorot dingin, kemudian jalan mendahului Arlan tanpa menanggapi ocehan gak jelas dari remaja itu.
"La, laper gak? Pasti laper lo, kan? Ayo makan, gue traktir."
Kata traktir yang Arlan sebut sebenarnya membuat Lula sedikit goyah. Ini sedang akhir bulan, dan ia sedang menghemat pengeluaran.
"Gak," jawaban singkat itu membuat Arlan mendesah kecewa. Lula pun menggerutu tanpa suara, bisa-bisanya jawaban itulah yang keluar dari bibirnya.
Namun, kekecewaan yang Arlan dapat lekas mendapat balasan. Perut Lula berbunyi saat keadaan sedang sunyi. Lula melirik pada sang remaja dengan kikuk, sementara Arlan nyengir lebar ke arahnya.
"Gas hayuk!" katanya, kemudian menarik lengan Lula dan membawanya dalam genggaman. Lula bingung, kenapa rasa laparnya bisa membuat seorang Arlan jadi sebahagia ini?
Di depan minimarket, Arlan dengan sopan menarikkan kursi untuknya dan mempersilahkannya duduk. "Tunggu disini, gue udah tau apa yang bakalan Lo pesen," ucapnya, kemudian meninggalkan Lula sendirian di sana.
Terlampau sering mengamati sang gadis membuat Arlan mengerti makanan apa yang Lula suka dan yang sering Lula makan. Meski itu terasa sangat mengerikan karena Arlan jadi seperti seseorang yang fanatik terhadap idolanya.
"Yang rasa kari Ayam lagi habis, maaf ya?" Tau-tau Arlan keluar dengan satu nampan berisi dua pop mie kuah dan dua botol air mineral. Lula tak menjawab pernyataan itu. Sodoran yang Arlan ulurkan ia terima tanpa mengeluarkan sepatah kata. Meski itu hanya kata 'terimakasih'.
"Dingin-dingin gini enakan makan yang kuah-kuah tau. Ehh, baksonya Mang Fariz malah gak jualan. Tapi biasanya gue liat Lo emang suka maka pop mie, yaudah gue beliin ini aja. Gimana, perhatian kan gue?"
"Terserah," jawab Lula acuh tak acuh.
Arlan mulai sibuk bercerita. Mulutnya mulai berceloteh panjang lebar. Mulai dari panggilan masa kecilnya yang aneh, sampai kenapa Jersey basketnya bertuliskan nama Dewa. Namun itu semua gak masuk dalam telinga Lula.
Ia terlalu masa bodoh dan gak mau tau. Baginya, Arlan hanya kebisingan yang gak dia inginkan. Lula lebih suka sendiri dan tenggelam dalam dunia yang ia buat. Tapi dengan hadirnya Arlan, mana bisa ia membangun imajinasi. Belum apa-apa saja, teriakan melengking Arlan sudah membuyarkan segalanya.
Bunyi hentakan terdengar, Arlan menaikkan pandangannya yang semula menunduk. "Gue selesai, makasih traktirannya. Awal bulan gue ganti."
Setelah meneguk air mineralnya, Lula hendak beranjak dan pergi lebih dulu. Namun Arlan tak membiarkannya, tangannya dengan cepat mencekal lengan sang gadis.
"Apaan sih? Lepasin!" Sayangnya, sentakan Lula kali ini gak berhasil. Justru Arlan kembali menarik tangannya agar Lula kembali duduk.
"Gue blom selesai ini. Kan ke sininya barengan, pulangnya barengan juga dong? Gak solid lo 'ah."
"Ck. Lo, kan, tau jalan. Emangnya harus gue tuntun apa?"
"Iya, aku tersesat dan tak tau arah jalan pulang." Lula berdecak ketika mendengar suara Arlan yang malah menyanyikan lagu lawas zaman ia masih sekolah dasar.
"Gue lepas bentar, kuahnya sayang kalo dibuang." Remaja itu benar-benar melepas cekalannya. Kepalanya mendongak untuk menegak kuah mie itu. Lula memperhatikan dengan seksama bagaimana jakun sang remaja yang naik turun.
"Alhamdulillah," seru Arlan setelah bersendawa.
"Bentar ya, gue minum air dulu." Lula hanya memutar bola matanya malas ketika cengiran Arlan kembali ia dapatkan. Dalam sehari ini, rasanya ia sudah ribuan kali melihat cengiran menyebalkan itu.
Entah itu di sekolah, di rumahnya, bahkan di sekitaran apartemen studionya. Rasanya ia sudah terlalu bosan melihat wajah itu.
Manik cokelat sang gadis menatap lurus kedepan. Kepalanya ia tutupi dengan tudung hoodie dan tangannya bersedekap di depan dada.
Ia pikir, ia sudah berjalan terlalu jauh dan meninggalkan masalah yang seharusnya memang tak ada. Lula masih tak mengerti kenapa tuhan menghadirkan masalah-masalah yang tak bisa ia hadapi. Kenapa di usia remajanya ini, ia justru diharuskan pergi ke kota lain dan pergi jauh dari orangtuanya. Kenapa takdirnya serumit ini. Dan kenapa ... tak ada seorangpun yang bersedia menopang dirinya yang rapuh.
Lamunan tak berkesudahan itu lantas buyar ketika iris matanya menangkap bayangan yang familiar. Motor yang berhenti tepat di depan minimarket tempat ia dan Arlan nongkrong, mana mungkin tak ia kenali.
Sang pemilik motor lantas turun dan membuka helemnya. Rambutnya yang panjang dan sedikit berantakan ia benarkan dengan sela-sela jari.
Ditempatnya, Lula membeku sesaat. Tangannya mulai berkeringat dingin dan degup jantungnya sangat sulit ia kendalikan. Perlahan, tubuh Lula bergetar ketakutan.
Ketika orang itu hendak membalikkan badannya, Lula dengan cepat menelungkupkan kepalanya ke atas meja. Arlan hanya melihatnya dengan sorot penuh tanya. Tepat ketika lonceng berbunyi dan 'orang' itu masuk ke dalam, Lula kembali mengangkat wajahnya dan beranjak.
"Lula, Lo kenapa sih? Tungguin gue, dong!"
Teriakan Arlan ia abaikan. Lula menyesal, kenapa ia harus mendengarkan ocehan tak jelas dari Arlan? Kenapa ia harus bertahan di sana dan menunggu Arlan menghabiskan kuah mie nya?
Kalau saja ia pergi lebih cepat, ia gak akan menjumpai sosok itu lagi.
Lula benci. Dalam diamnya, ia menangis sepanjang jalan pulang dengan kepala menunduk. Tak apa, ia sudah terbiasa meski sakitnya masih terasa baru.
___
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro