Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[ Sofia dan Rasa Bencinya ]

Langkah cepat Sofia membuat Keano segera menyusul adiknya itu dengan terburu-buru. Dadanya naik turun dengan emosi yang telah memuncak.

Dengan cepat, ia menarik lengan sang adik dan membenturkannya ke tembok . Si gadis memekik kesakitan. Meski begitu, Keano tampak tak peduli dan semakin mengunci tubuh Sofia agar tak bisa lari darinya.

"Lepas, Ken!" teriak Sofia tepat di depan wajah Keano. Tangannya terus bergerak agar terlepas dari cekalan sang kakak yang terasa menyakitkan.

"Lo segitu gencar nya ya pengen ngejatuhin Lula? Salah dia sama lo apa?! Kenapa lo bisa benci banget sama dia, hah?!" teriak Keano tak kalah kencang.

Sofia menyunggingkan senyumnya. "Salah? Dia gak ada salah apa-apa, sih. Cuman gue kesel banget tiap liat Ayah mandangin foto dia di ruang kerja. Gue kira perginya dia bikin Ayah ngelirik gue, ternyata gak sama sekali."

"Lo bego? Wajar aja, Lula anak kandung Ayah, sementara tanpa Bunda kita bukan siapa-siapa disini!" nafas Keano memburu seiring dengan emosinya yang makin menjadi. Alasan Sofia tak logis menurutnya, hal itu malah membuat emosinya semakin tersulut.

Senyum Sofia perlahan pudar. Tak ada gerakan yang gadis itu berikan setelah mendengar kalimat yang Keano lontarkan. Pandangannya mendadak kosong. Di lorong itu, Keano mencoba mengatur nafasnya dan mendinginkan kepalanya yang terasa panas.

"Sofia, lo udah dewasa. Coba pikir pake otak lo yang gak berguna itu. Di kasih tumpangan hidup di sini aja seharusnya lo udah bersyukur. Ayah bisa aja ngusir kita waktu Bunda meninggal, tapi dia gak ngelakuin itu, kan?" ucap Keano dengan nada pelan.

Sofia menatap manik sang kakak dengan mata berkaca-kaca. "Apa salah kalo gue berharap lebih? Gue gak pernah tau kemana Ayah kandung kita dimana. Gue ngerasa seneng banget waktu Bunda bilang kalo kita bakalan punya Ayah,

"Tapi waktu gue tau ternyata Ayah baru kita punya seorang anak cewek, gue ngerasa dia adalah saingan yang harus gue singkirkan.

Sofia menarik nafasnya dalam seiring air mata yang jatuh mengaliri pipinya. "Walaupun Ayah keliatan benci dan gak peduli sama Lula, sebenarnya Ayah sayang banget sama dia. Tiap gue berdua bareng Ayah, Ayah selalu nyeritain semua tentang Lula dengan bangganya.

"Gue iri, Ken. Gue juga pengen punya Ayah yang bangga sama gue."

"Tapi cara lo salah." Keano menarik sang adik dalam pelukannya. Surai gadis itu ia usap dengan penuh kelembutan. Isak tangis Sofia membuat Keano merasa gagal menjadi seorang kakak.

Bunda pasti akan memarahinya saat tau Sofia menangis karenanya.

Tapi sayangnya, Bunda tak lagi ada.

"Tapi, setelah kejadian itu gue berhasil bikin Ayah jadi benci sama Lula. Ayah bahkan gak sudi liat cewek kotor kayak dia. Gue berhasil, Ken." Kepala Sofia mendongak, menatap sepasang netra legam milik sang kakak dengan senyum mengembang.

Sementara Keano, lelaki itu memandang miris pada adiknya.

"Cukup sampe situ aja, tolong jangan macem-macem lagi. Gue tau lo gadis baik, Sofia."

"Orang baik itu gak ada, mereka cuman pura-pura baik buat pencitraan," ucap Sofia dengan raut datar. Tubuh Keano ia dorong kasar hingga Keano harus berpegangan pada pembatas tangga agar tak terjatuh.

"Gue bakal bilang ke Ayah, lo gak tau kalo perusahaan Ayah lagi kritis? Setidaknya gue harus bantu dia biar dia mandang g—"

"STOP SOFIA! Lo jadi gila karena ngeharap kasih sayang dari dia?! Mau sekeras apapun usaha lo, lo bukan anak kandungnya dan tetap aja kasih sayang yang lo dapetin bakalan beda!" pekik Keano dengan geram.

"Gue gak peduli, Ken. Lo bahkan gak bisa ngertiin gimana perasaan gue. Lo ada di pihak mana sebenarnya, hm?"

"Sialan," gumam Ken.

Ketika Sofia hendak melangkahkan kakinya, Keano hendak kembali menahannya. Namun semuanya terlambat. Keano mengumpat dalam hati ketika sosok yang tengah berdiri di hadapan sang adik memasang raut penuh tanya.

Sofia tersenyum ketika melirik Keano yang tengah menegang di tempatnya.

"Ada apa ini ribut-ribut?" tanya seorang pria berkacamata dengan beberapa gadis keriput yang telah memenuhi wajahnya.

.
.

Langkah Lula terhenti di depan gerbang sekolahnya. Bersamaan dengan itu, seseorang yang tengah melepas helmnya dan meletakkannya di atas jok motor menatap ke arahnya Lama.

"Lula," panggil remaja itu dengan hati-hati.

Napas Lula yang memburu karena berlari tadi langsung tercekat. Perlahan, ia memundurkan langkahnya sembari menggeleng pelan agar Sagara tak mendekatinya.

Namun, sepertinya Sagara enggan mengerti dirinya. Remaja itu malah semakin mendekat ke arahnya.

Tubuh besar Arlan yang menghalang membuat Lula yang lebih kecil darinya menabrak dada bidang remaja itu. Arlan memegang pundak sang gadis agar Lula tak terjatuh.

"Lula, kita perlu bicara. Ada kesalahpahaman yang perlu di lurusin. Tolong percaya sama gue," ucap Sagara dengan binar mata yang meyakinkan.

Lula menggeleng, lantas memejamkan matanya. Kepalanya terasa pusing untuk kejadian seharian ini yang benar-benar menguras tenaganya. Emosinya juga sedang kacau, dan kedatangan Sagara hanya menambah beban yang tengah ia pikul seorang diri.

"Besok aja, Gar. Tolong ngertiin posisi Lula," sahut Arlan.

Gara mengepalkan tangannya "Dari kemarin gue udah berusaha ngerti. Terus kapan dia berusaha mahamin posisi gue? Tolong dengerin penjelasan gue, La. Emangnya sesusah itu? Mau sampai kapan lo hidup dalam persepsi lo sendiri? Apa yang lo liat waktu itu gak sepenuhnya benar!"

"Sagara!" Arlan berteriak tak terima. Lula sudah sepenuhnya menunduk. Ia sudah tak kuat lagi menopang tubuhnya. Kakinya terasa gemetar seperti  seolah tengah menjelma menjadi jelly.

"Lula udah dapet banyak masalah di sekolah, tolong jangan sekarang. Masih banyak waktu buat ngejelasin—"

"Banyak? Lo mau ngulur waktu sebanyak apa lagi? Justru udah banyak waktu yang kebuang karena Lula lari ke kota ini. Untungnya gue juga lagi di kota yang sama. Gue gak bisa ngulur—"

Satu bogeman mentah mendarat di pipi kiri Sagara. Remaja itu lantas tersungkur dan meringis sakit mendapat pukulan yang tiba-tiba tanpa adanya persiapan.

"Banyak bacot lo jadi cowok!" ucap Arlan.

Sagara tertawa. "Kok jadi lo yang sewot? Gue kan minta waktu Lula, bukan lo bego! Katanya bukan siapa-siapa Lula, ngapain lo ngatur-ngatur?!"

Ketika Arlan hendak kembali melayangkan pukulannya, teriakan Lula membuat perkelahiannya terhenti.

"STOP!!" pekik gadis itu dengan tangisan.

"Tolong berhenti," lanjutnya dengan suara yang parau. Arlan melepaskan cengkramannya pada kerah seragam Sagara.

Langkahnya cepat ketika menghampiri Lula yang tubuhnya sudah melemas. Kelopak gadis itu perlahan menutup seiring tubuhnya yang meluruh.

"Lula!" teriak Arlan. Lula pingsan, dalam pelukannya.

___

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro