[ Sadewa ]
Arlan tak pernah merasakan manisnya jatuh cinta sebelumnya. Rasa ingin melindungi seseorang yang begitu berharga, baru Arlan rasakan selama tujuh belas tahun ia hidup.
Dulu, ia hanya bocah ingusan yang akan bersembunyi di balik punggung Papa saat dalam situasi bahaya. Tapi kini, Arlan sudah menapaki kedewasaan. Ia mencintai seseorang dan berharap gadis itu melakukan apa yang pernah ia lakukan dulu.
Lula bisa bersembunyi di balik punggungnya dan menjadikannya tameng. Biarlah ia terluka sampai berdarah-darah, ia hanya perlu memastikan bahwa Lula baik-baik saja tanpa terluka sedikitpun.
Namun ketika melihat notifikasi pesan yang terlihat dilayar ponsel sang gadis, lagi-lagi Arlan mendesah kecewa. Dilihatnya kelopak mata Lula yang masih terpejam itu lebih lama.
|La, apa lo gak bisa lari sekarang juga? Sofia udah ngasih tau Ayah tentang keberadaan lo.
|Ayah langsung ngirim anak buahnya kesana. Mungkin mereka lagi di perjalanan.
|Lula, gue bener-bener minta maaf atas nama Sofia. Gue belum bisa jadi kakak yang baik supaya ngembimbing dia. Mungkin ini udah terlambat, tapi gue tau betul kalau dia udah salah banget.
|Gue harap lo bisa maafin dia, walaupun gue tau betul rasanya lo pasti pengen bunuh dia.
Arlan tengah dibuat bingung, haruskah ia menghapus pesan-pesan ini agar Lula tak perlu membacanya? Kalau ada bahaya yang terasa, Arlan bisa langsung melindungi Lula tanpa gadis itu perlu bertindak lebih.
Arlan hanya perlu melindunginya,
Iya, kan?
Netranya menerawang ke arah langit-langit kamar. Banyak penyesalan yang baru ia rasakan ketika semuanya sudah terlambat. Tentang kedua orangtuanya yang meninggal hanya karena keinginan sepele darinya.
Kalau saja Neneknya tidak datang pada hari dimana kedua orangtuanya meninggal, mungkin Arlan tak ada lagi di dunia ini karena ia lebih memilih menyusul keduanya. Atau mungkin, Arlan akan menjadi gelandangan di jalanan.
"Ayo ikut saya pulang," ujar sang Nenek. Sebenarnya itu adalah kata-kata mengerikan yang pernah Neneknya katakan. Kata 'pulang' yang Nenek ucapkan tentu saja merujuk pada rumah utama di mana keluarga dari pihak sang Ayah berada.
Seharunya Ayah dan Bundanya juga tinggal di sana, tapi karena pernikahan keduanya tak pernah mendapat restu, keluarga besar sang Ayah memandang rendah pada Bunda dan dirinya yang jelas-jelas anak hasil hubungan diluar nikah.
Arlan kecil tak langsung menjawab. Pandangannya tertuju pada pintu ruang jenazah yang tertutup rapat. Di sana, dua jasad dari orang yang teramat ia sayangi tengah terbaring kaku. Haruskah Arlan meninggalkan keduanya begitu saja?
"Kalau gak mau ikut, saya gak akan maksa. Tapi siap-siap saja jadi gelandangan diluar sana. Kamu pikir orangtuamu bakalan hidup lagi kalo kamu pelototin?" setelah mengatakannya, Nenek pergi meninggalkan Arlan kecil di sana.
Arlan berlari kecil mengejar wanita itu. Tangannya terulur untuk menarik ujung baju yang di kenakan sang Nenek dan berucap pelan, "Arlan mau ikut, Nek."
Wanita tua itu menatap bocah dihadapannya dengan datar. "Pemakaman mereka biar saya yang urus. Setelah ini kamu pulang sama sopir dan ambil barang-barang kamu di rumah. Biar supir yang mengantar mu ke rumah utama," ujarnya.
Setelahnya, Nenek meninggalkannya pergi di lorong sepi itu. Seorang supir datang tak lama setelahnya, membawa Arlan kecil dalam gendongan.
Sebenarnya Arlan takut, ia tak pernah dekat dengan saudaranya yang lain. Arlan juga tak mengerti kenapa kali ini Nenek berbaik hati ingin membawanya ke rumah utama. Padahal, selama ini Nenek selalu memperlihatkan kebenciannya pada Arlan maupun Bunda.
'Anak haram' adalah panggilan kasar yang sering ia dengar dari para saudaranya. Arlan kecil hanya bisa terdiam dan memendam sakitnya seorang diri. Mendapat perlakuan buruk dan tak pantas dari Paman dan Bibinya.
Nenek hanya diam menyaksikan. Baginya, membawa Arlan masuk dalam rumah ini sudah bagian dari pertolongan yang ia berikan.
Arlan kesepian. Di rumah besar ini ia hanya sendirian tanpa seorang pun yang bersedia mendengar keluh kesahnya. Di sekolah pun, semua orang tak berani berteman dengannya karena ia selalu jadi objek pembullyan para saudaranya.
Arlan pernah merasa ingin menghilang dari dunia. Ia pikir segalanya akan terasa lebih baik kalau ia menyusul Ayah dan Bundanya. Tapi ketika ia bertemu Lula, semuanya tampak berbeda.
Dunia Arlan di penuhi dengan hal-hal berbau cinta yang membuatnya semakin jatuh hati ketika Lula menolak kehadirannya. Baginya, Lula adalah tantangan yang seharusnya ia taklukan.
Arlan sudah muak dengan kekalahan dan kebisuan yang selama ini ia lakukan. Makanya, ia ingin mendapatkan Lula meskipun ia harus memasang topeng dan berpura-pura menjadi orang lain.
Menjadi seseorang yang ceria dan banyak tingkah demi mendapat perhatian gadis cuek itu.
Sampai pada akhirnya, Arlan mengetahui kisah masa lalu si gadis. Pandangannya terhadap Lula bukan lagi soal ingin memiliki. Ia ingin melindungi gadisnya, ia tak ingin mendapat penyesalan yang kedua kalinya.
Ia tak ingin menyesal lagi, seperti yang terjadi terakhir kali.
Pada akhirnya, hembusan napas yang terdengar panjang menguar mengisi kesunyian. Ketika kelopak sang gadis terbuka secara perlahan, Arlan langsung menegakkan punggungnya.
Lula mengernyit ketika cahaya lampu yang tergantung di atas langit-langit sana memasuki netranya.
"Kebo banget." ucapan Arlan membuat sang gadis menoleh ke arah remaja itu.
Lula berdecak. "Lo gendong gue dari sekolah sampe apartemen?" tanyanya.
Arlan mengangguk. "Tadinya mau gue buang di jalan. Berat bener lo, keliatannya doang kecil," katanya dengan senyum menyebalkan.
Mendengarnya, Lula lantas melirik dengan tajam. Bisa-bisanya Arlan mengatainya berat. Padahal Lula jarang sekali makan. Yah, kecuali ngemil di tengah malam.
"Ada pesan masuk di ponsel lo tadi," ujar Arlan dengan ekspresi acuh tak acuh. Padahal, ia tengah di serang rasa gundah. Matanya melirik sang gadis dengan cemas.
Tapi Lula tak bergerak sedikitpun dari tempat tidurnya. Netranya menatap langit-langit kamar dan berkedip sesekali.
"La, kalo ada apa-apa lo bisa cerita ke gue. Emangnya gue gak sepenting itu di hidup lo?"
"Lo baca pesen itu?" tanya Lula. Pandangan keduanya kini beradu. Kebisuan Arlan membuat Lula terkekeh sumbang.
"Kenapa? Sekarang lo jadi ngerasa kasihan sama gue, ya?"
"Gak gitu, La. Gue cuman pengen jadi seseorang yang bisa lo andalkan. Lo tau, tiap kali gue liat lo nangis, rasanya gue kecewa sama diri gue sendiri. Gue belum bisa ngelindungin lo, dan itu buat gue makin frustasi," Arlan menjeda kalimatnya dan menarik satu nafas panjang sebelum melanjutkan,
"Apa salahnya bagi rasa sakit lo ke gue? Gapapa, biar gue ngerasain hal yang sama. Lo cuman gadis rapuh yang gak akan kuat nanggung semuanya sendirian."
Lula tertawa pelan. "Sok tau," katanya dengan lirikan.
"Bukannya itu alasan lo lari ke kota ini? Karena lo gak kuat lagi bertahan di kota kelahiran lo, kan?"
Kalimat itu membuat Lula terduduk. Pandangannya lurus menatap sepasang netra cokelat milik sang remaja."Sejauh apa lo tau tentang kehidupan gue?"
___
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro