Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[ Rahasia Sagara ]

Kening sang remaja mengernyit dalam tidurnya. Badannya bergerak dengan gelisah ketika kejadian hari itu kembali menghantuinya.

"Gara." Bersamaan dengan panggilan itu, earphone yang menyumbat telinganya di lepas begitu saja. Sagara berdecak kesal ketika menatap sepasang iris legam milik Sofia.

"Apa?" tanyanya dengan nada tak bersahabat. Kabel earphone yang berada pada genggaman Sofia ia tarik kembali secara paksa.

"Satu tahun lalu yang bertepatan dengan hari ini, adalah hari spesial karena aku pertama kalinya ketemu kamu."

Sagara berdecak ketika tangan Sofia bermain-main pada leher jenjangnya. Netranya melirik dengan tajam, tapi sama sekali tak Sofia tanggapi.

"Jadi, aku punya hadiah spesial buat kamu. Ayo ikut aku!" Sofia menarik lengan Gara secara paksa, membuat lelaki itu tak memiliki pilihan lain selain mengikuti alur yang Sofia buat — seperti yang biasa ia lakukan selama ini.

Kening Gara mengernyit ketika lorong yang ia lalui semakin sepi dan gelap. Ketika berbelok ke arah kiri, sebuah cahaya yang berada di ujung lorong membuat kening Gara sedikit mengendur. Tapi tetap saja banyak pertanyaan muncul dalam kepalanya. Selama sekolah disini, ia belum pernah ke tempat semacam ini.

Biasanya ia hanya duduk di dalam kelas sembari mengulang pelajaran. Ia tak punya teman karena orang-orang menjauhinya. Tapi bagi Gara, itu bukanlah masalah besar. Sebab, mengizinkannya pergi ke sekolah umum adalah sebuah keajaiban. Mamanya sangat protektif karena kehilangan si sulung yang berjarak dua tahun dari umurnya.

"Oh, ternyata dia udah masuk perangkap!" Sofia bersorak senang, bahkan sampai bertepuk tangan.

Saat Gara meluruskan pandangannya, kedua netranya bertubrukan dengan milik sang gadis yang sangat ia cintai. Gadis rapuh yang selamanya ingin ia lindungi. Gadis pemilik senyum secerah matahari yang membuat Gara selalu jatuh hati dibuatnya.

"Lula!" teriakannya sia-sia. Pintu gudang sudah sepenuhnya tertutup.

Tangan Sofia yang melingkar pada lengannya ia lepaskan secara kasar. "Gue pastiin lo mati setelah ini," bisiknya tepat di telinga sang gadis. Bukannya takut, Sofia malah tersenyum miring.

Gadis itu menyentuh pundaknya dan mengusapnya lembut."Oh, ya? Gue tunggu kalo gitu."

Saat Gara hendak melangkahkan kakinya pergi menyusul Lula, sebuah tusukan di lehernya membuat Gara berteriak sakit. Sofia tertawa keras ketika iris legamnya menatap sepasang manik Gara yang tak berdaya.

Perlahan, tubuh Gara meluruh bersamaan matanya yang terpejam. Sofia mencabut suntikan yang masih tertancap pada leher jenjang sang remaja. "Girls, lanjut rencana dua."

.

.

Kelopak sang remaja terbuka secara perlahan. Bibirnya meringis ketika kepalanya terasa sakit seolah ada batu besar yang tengah menimpanya. Berkali-kali Gara mengerjapkan matanya untuk menetralkan rasa pusing.

Awalnya, ia abai terhadap sekelilingnya. Namun begitu mendengar isakan yang tertahan, ia menolehkan kepalanya seraya mengernyit. "La?" panggilnya dengan suara parau.

Panggilannya membuat sang gadis berteriak ketakutan. Gara mengambil posisi duduk sembari mencerna situasi yang ada. Dirinya sedang berada di gudang, tempat terakhir kali ia sadar. Beberapa orang yang ia lihat tadi sudah terkapar tak berdaya.

Beralih pada Lula, mata Gara langsung berpaling dengan degupan jantung yang berpacu cepat. "L-lo ngapain bego?! Pake baju, lo!" teriaknya pada Lula.

Isakan gadis itu berubah menjadi tangisan pilu yang membuat hati Gara terasa sakit. Sampai sini ia sadar, Sofia – gadis berhati iblis itu telah menjebaknya.

Melihat tak ada pergerakan satupun dari Lula, Gara berinisiatif mengambil kemejanya yang sudah terlempar di ujung. Perlahan, ia berjalan mendekati Lula dengan mata yang sepenuhnya terpejam.

Namun, sebuah tamparan yang menggema membuat Gara tersungkur dengan pipinya yang terasa panas. Matanya masih terpejam ketika ia meringis kesakitan.

"Gue tau lo benci gue, tapi gak gini caranya buat ngelampiasin rasa benci lo. Kenapa gak lo lakuin sama Sofia, hah?! Kenapa harus gue yang lo hancurin kayak gini?!" pekik Lula.

"La, ini salah paham. Sofia –"

"Halah, sampah! Mulai saat ini jangan pernah cari-cari gue. Lula yang lo kenal udah mati."

Derap langkah yang menjauh membuat kelopak Gara perlahan terbuka. Membalikkan badannya, ia dapat melihat Lula berjalan ke arah pintu sembari membetulkan kancing seragamnya dengan bahu bergetar.

Pintu gudang terbuka, orang-orang mulai membuat desas-desus tak berguna. Perlahan, lula berjalan mundur menjauhi mereka. Wajahnya tercoreng dan cap buruk mulai mengikuti namanya. Seorang guru berpakaian jilbab panjang perlahan mendekat dan mendekap erat sang gadis.

Tangisan keduanya tak mungkin terhindar. Dan Gara, hanya bisa menyimpan kebenaran seorang diri. Tak ada yang percaya pada kata-katanya. Semuanya telah dipersiapkan Sofia secara matang. Meskipun mulutnya berbusa, orang-orang tetap akan menuduhnya salah.

.
.

Lantunan nada indah dari tuts piano yang tengah Lula mainkan membuat Delia terpejam menikmati permainan seniornya itu. Memang Demian tak pernah salah menilai, Lula adalah gadis berbakat.

Di tengah permainan itu, ponsel sang gadis bergetar. Lula mengecek notifikasinya dengan cepat hingga membuat Delia menatapnya bingung. Apa Lula memang tengah menunggu pesan dari seseorang?

Lula menatap kecewa pada ponselnya. Notifikasi yang masuk berasal dari operator, bukan dari pesan random yang biasanya Arlan kirimkan.

Bel masuk berbunyi, Delia beranjak dari bangkunya. "Gak masuk kelas, kak?" tanyanya pada Lula.

Gadis itu refleks menolehkan kepalanya. "Iya, bentar lagi. Duluan aja."

Delia mengangguk, kemudian berpamitan pergi.  Sementara Lula, gadis itu menatap lesu pada ponselnya. Seharian ini, Arlan seolah menghindar ketika berpas-pasan dengannya. Padahal hubungan mereka sebelumnya baik-baik saja. Hanya saja, malam ketika Arlan merawatnya ketika ia sakit menjadi pertanyaan besar untuknya.

Kenapa sikap Arlan bisa berubah secepat itu?

Lula juga merasa aneh. Seharusnya ia senang karena orang yang biasa menganggu hari-harinya dengan kebisingan kini tak ada lagi. Tapi entah kenapa, ada kekosongan yang tak bisa Lula definisikan.

Ada rasa kehilangan yang membuatnya linglung seharian ini.

Biasanya, Arlan akan menghampirinya ketika jamistirahat tiba. Tapi semua itu tak berlaku hari ini. Biasanya juga, Arlan akanmengirimkannya foto random di tengah jam pelajaran. Entah itu foto guru yangtengah menungging saat mengambil penutup spidol yang jatuh ke lantai, atau fototemannya yang tertidur di jam pelajaran dengan angel yang buruk.

Tapi kali ini, tak ada satupun pesan yang masuk ke ponselnya selain dari operator.

Apa Arlan sudah lelah dengan kelakuannya dan memilih menyerah? Secepat itu? Ah, apa sekarag Lula sudah jatuh hati pada lelaki itu? 

"Lula?" panggilan dari arah pintu membuat Lula menoleh cepat. Bibirnya tanpa sadar tertarik membentuk lengkungan tipis.

Di sana, Arlan berdiri menatap ke arahnya. Tak ada senyum menyebalkan dari lelaki itu. Wajahnya sedikit tertekuk dan datar.

"Lo hutang penjelasan ke gue," lanjutnya.

Atmosfer tak bersahabat dari Arlan membuat Lula menegang. Benaknya bertanya-tanya, apa ia melakukan kesalahan?

___

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro