[ Misi penyelamatan ]
Lula termenung dengan pandangan kosong. Makanan yang Ayahnya berikan bahkan sama sekali tak ia sentuh. Kedua tangannya diikat pada rantai karena tadi ia sempat memberontak ketika Keano memberitahukannya tentang Om Januar — seseorang yang akan Ayah nikahkan padanya.
"Om Januar itu kenalan deket Ayah, mustahil lo gak pernah ketemu dia. Bahkan walaupun sekali doang, kalian pasti pernah ketemu.
"Dia gak nikah, tapi udah nidurin banyak cewek waktu tinggal di luar negeri. Bukannya ngeri kalau dia tiba-tiba nawarin pernikahan dengan alasan demi nyelamatin bisnis Ayah? Apalagi dia tau betul kalau Ayah punya anak yang masih SMA.
"La, tolong pergi dari sini gimanapun caranya. Gue gak tau kedepannya kita bakalan ketemu lagi atau gak. Karena waktu gue pergi buat ngasih tau alamat rumah ini ke temen-temen lo, Ayah tau rencana gue."
Perkataan Keano beberapa saat yang lalu berputar dalam kepalanya, membuat Lula merasa pusing. Bagaimana caranya ia kabur dari sini?
Kenapa Ayah sangat jahat padanya sampai ingin mengorbankan dirinya hanya demi sebuah perusahaan?
Lula merasa sangat lelah dengan kejadian-kejadian buruk yang menimpanya belakangan ini. Rasanya ia ingin segera mengakhiri segalanya dan beristirahat lebih lama.
Tubuhnya ia sandarkan pada tembok, matanya bersiap untuk terpejam. Namun ketika mendengar suara ribut dari luar, dan teriakan melengking dari Arlan, mata Lula kembali terbuka lebar dengan degup jantung yang berpacu cepat.
Ketukan beruntun di pintu terdengar. "Lula?!" Arlan berteriak dari luar. Lula berdiri hendak menyapa, namun ia lupa bahwa kedua tangannya tengah diikat pada rantai yang menempel ke tembok.
"Arlan! Gue di sini, tolongin gue," ucapnya seiring air mata yang turun. Isakannya terdengar memilukan. Untuk beberapa saat, tak ada suara lagi yang terdengar di luar sana.
Lula menduga-duga banyak hal. Apa terjadi sesuatu yang buruk pada Arlan? Apa remaja itu terluka? Apa Ayah melakukan sesuatu yang buruk?
Lula menggeleng pelan, menghalau perkiraan buruk yang singgah dalam kepalanya.
Tak berselang lama, pintu itu berhasil Arlan buka dengan kunci yang ia dapati dari salah satu penjaga di depan sana. Sagara masih sibuk menghajar seorang pria yang memiliki tenaga lebih kuat.
Begitu masuk, Arlan langsung membawa Lula dalam pelukan. Memberikan gadis itu mantra penenang, karena ketika dirinya masuk ke dalam sana, Lula tengah menangis hingga tubuhnya bergetar.
"Gue di sini," ucap Arlan pelan ketika Lula terus menerus menyerukan namanya.
Lula sendiri tak mengerti, ada perasaan bahagia ketika Arlan berhasil menemukan dirinya. Tapi di saat yang bersamaan, ia khawatir Arlan akan terluka ketika sudah mencampuri kehidupannya.
"Lo salah. Seharusnya lo gak kesini, Lan," ucap Lula dengan suara parau.
Arlan menggeleng, lalu menangkup pipi gadis itu hingga air mata Lula yang meleleh jatuh ke telapak tangannya.
"Gue gak salah. Lo gak ngerti gimana frustasinya gue waktu lo di bawa kabur mereka, sementara gue gak tau harus nyari lo kemana."
Kening keduanya beradu, Arlan menarik napasnya dalam-dalam sebelum berucap, "Gue cinta banget sama lo, La. Gue selalu janji buat lindungin lo. Mungkin sekarang saatnya gue buat ngelakuin itu."
Lula mengangguk percaya. Selama ini, Arlan telah membuktikan kata-katanya tanpa ia sadari. Mungkin tak ada salahnya untuk percaya kembali pada kata cinta yang selama ini ia anggap hanya omong kosong belaka.
Arlan mulai bergerak untuk membuka borgol yang tersambung pada rantai, lantas memegang erat tangan Lula sebelum keluar dari ruangan.
"Lo gak perlu bales cinta gue, La. Cukup baik-baik aja dan selalu bahagia aja. Bisa, kan?"
Gue harap gue bisa jadi salah satu alasan lo tersenyum bahagia.
Suatu saat nanti, La.
.
.
Netra Arlan menatap fokus pada jalanan. Sesekali ia melirik pada spion, melihat keberadaan Sagara yang mengekori keduanya dari belakang.
Lula memeluk erat pinggang sang remaja. Udara malam yang dingin membuatnya sedikit menggigil, meski ia telah mengenakan jaket milik Arlan.
"Motor gue ada di samping rumah ini. Ini bantuan terakhir yang bisa gue kasih. Jadi lo harus janji buat keluar dari sini dengan selamat, oke?"
Lula tersenyum tanpa sadar. Keano benar-benar memegang kata-katanya hingga akhir. Meski ia tak tau apa yang akan terjadi pada Keano setelah ini, ia sangat berterimakasih pada saudara tirinya itu.
Sagara menyalip keduanya, lalu memelankan laju motornya dan membuat Arlan melakukan hal yang serupa.
"Jangan ke apartemen, terlalu bahaya!" ucap Sagara dengan berteriak.
"Lah, terus ini kita mau ke mana?" balas Arlan.
"Ikuti motor gue!"
Dengan begitu, keduanya kembali melaju membelah jalanan. Motor yang Sagara bawa terlalu cepat hingga membuat Arlan harus melakukan hal yang sama agar dirinya tak ketinggalan jejak.
Memasuki area perumahan, kening Lula mengernyit. Ia sempat berpikir bahwa Sagara akan mengajak mereka kerumahnya. Tapi tampaknya, ini bukan area perumahan remaja itu.
Bangunannya terlihat lebih sederhana daripada selera mewahnya Mama Sagara. Benar-benar jauh berbeda — karena saat mereka berpacaran dulu, Lula pernah ke rumah Sagara beberapa kali.
Di depan rumah minimalis dengan banyak tanaman yang menghiasi halaman depan rumah itu, Sagara menghentikan motornya. Rambut panjangnya ia rapikan menggunakan sela jari sebelum turun dari motor.
Lula masih duduk di atas motor, berbeda dengan Arlan yang sudah berkacak pinggang di belakang Sagara dengan raut bingungnya.
Bel dibunyikan. Sang pemilik rumah langsung berteriak dari dalam.
Begitu pintu di buka, netra Lula membulat sempurna. "Sena?" ujarnya dengan ekspresi terkejut.
Melihat penampilan keduanya yang jauh dari kata baik, gadis itu menutup mulutnya tak kalah terkejut. "Kalian abis pada berantem?!"
"Nanti gue jelasin di dalem, orang tua lo masih di luar kota, kan?"
Sena mengangguk untuk menjawab pertanyaan Sagara. Gadis itu membuka pintu rumahnya lebih lebar dan mempersilahkan keduanya masuk.
"Situasinya lagi bahaya, Lula sama Arlan gak bisa pulang ke apartemen mereka. Gak masalah kan kalo mereka nginep di sini buat sementara?"
Sang gadis menutup pintunya, lalu menghampiri teman-temannya yang sudah mengambil posisi duduk di sofa tamu.
"Bahaya apa? Gue kaget banget liat muka kalian pada bonyok gini. Gar, Tante pasti bakalan ngurung lo lagi kalo lo pulang dengan keadaan—"
"Makanya gue bilang, gue bakalan nginep." Sena langsung terdiam ketika Gara memotong ucapannya. Gadis itu menghela napas dan menyandarkan punggungnya.
"Ada syaratnya," Sena menjeda kalimatnya, membuat Sagara langsung menatap ke arahnya dengan raut tak suka. "Jelasin semua kejadiannya sama gue. Karena, sumpah ya, La. Gue bener-bener kesel karena gak tau apa-apa sementara gue tulus pengen nolong lo!"
Sagara menyentuh tulang pipinya yang terasa berdenyut karena sempat mendapat tinjuan. Arlan memajukan tubuhnya, memasang wajah serius dan berdehem sebelum memulai sebuah cerita panjang.
Sementara Lula hanya terdiam sembari menatap kosong ke arah lantai. Cerita Arlan seolah menariknya pada kejadian beberapa saat yang lalu.
___
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro