Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[ Maaf ]

Hawa dingin yang masih saja terasa, membuat Lula merapatkan jaket milik Arlan yang sejak tadi ia gunakan. Wangi sang remaja menguar, membuat Lula tersenyum tipis karenanya.

Pegangannya pada mug berisi teh hangat yang Sena buatkan untuknya tadi, menyalurkan kehangatan meski sedikit. Manik sang gadis menatap lurus pada remangnya lampu di tepi jalanan yang sepi.

Di balkon kamar, ia duduk sendiri sembari menunggu Sena yang tengah mempersiapkan kamar tamunya yang akan di gunakan Arlan dan Sagara malam ini.

Bunyi gesekan terdengar, membuat Lula membalikkan badannya. Ia ingin mengucapkan terimakasih tadinya. Untuk semua kebaikan yang telah Sena berikan padanya selama ini. Padahal, ia selalu bersikap kasar pada gadis itu.

Namun, raut Lula langsung berubah ketika mendapati seseorang yang datang bukanlah Sena.

"Seharusnya lo gak lancang, ini kamar cewek," ucap Lula dengan gurat tak suka dalam ekspresinya.

Sagara tak menjawab, ia semakin melangkahkan kakinya menuju Lula berdiri. "Gue udah izin sama yang punya."

"Mau apa lo ke sini?" Netra Lula menatap manik legam Sagara dengan tajam. Ada sarat kebencian yang ia pancarkan, membuat Sagara menatapnya dengan sedih.

"Gue mau minta maaf," ujarnya dengan suara yang lirih. Pandangannya ia tundukkan.

"Minta maaf buat apa? Seharusnya gue berterima kasih karena lo udah nolongin gue tadi."

Sagara menggeleng, kemudian mendongak dengan senyuman lembut. Dada Lula berdesir ketika melihat senyuman yang tak pernah lagi ia lihat sejak pelariannya ke kota ini. Senyuman yang pernah ia miliki dulu, dari seorang Sagara Laksmana.

"Bisa sambil duduk, kan? Gue capek kalo harus berdiri gini," ucap Sagara dengan lirikan ke arah bangku yang ada di balkon.

Lula mendengus sesaat. Obrolan ini akan mengisi malam panjangnya, pikirnya.

"Oke," jawabnya pasrah. Ia gak mungkin bisa menghindari Sagara terus-terusan. Ada kalanya ia harus mengalah dan membiarkan Sagara mengatakan apa yang ingin remaja itu katakan sejak awal pertemuan mereka.

"Sebelumnya, gue mau  berterima kasih karena kali ini lo gak takut lagi sama gue, juga karena lo mau dengerin kata-kata gue tanpa kabur."

Lula mengalihkan pandangannya ketika netra Sagara beradu dengan miliknya. Teh yang telah mendingin itu ia teguk hingga tersisa setengah mug.

"Gak usah basa-basi, apa yang mau lo omongin?" Pada akhirnya, Lula melirik dengan sinis pada sang remaja. Ia tak suka dengan obrolan ini dan ingin segera mengakhirinya. Tapi sepertinya, Sagara tak bisa membaca situasi yang ada.

"Soal kejadian dulu, itu semua udah di rencanain Sofia, La. Gue sama sekali gak nyentuh lo."

Binar redup yang terlihat di kedua manik Sagara membuat Lula meneguk salivanya. Mengingat dulu Sagara tak sepenuhnya berpihak pada dirinya — dulu Sofia dan Sagara juga sangat dekat seperti teman lama yang terpisah, kemudian di pertemukan kembali — Lula jadi dibuat gundah oleh apa yang Sagara ceritakan.

"Kalo lo mau, gue bisa jelasin cerita semuanya dari awal. Dan tentu aja ini cerita melalui sudut pandang gue."

Lula terdiam cukup lama. Tangannya saling bertaut dengan takut. Menjelaskan cerita itu berarti ia harus kembali mengingat kejadian buruk itu. Lula benci, ia tak ingin mengingatnya.

Namun ketika menatap sepasang netra Sagara,dinding egonya runtuh begitu saja. Binar harap yang Sagara perlihatkan membuat Lula gak tega melihatnya. Selama ini juga Sagara berusaha keras untuk menjelaskan kejadian sebenarnya.

Mungkin, tak ada salahnya untuk mendengarkan kali ini, kan?

Dengan kaku, Lula mengangguk. Sagara tersenyum lembut, lantas membawa tangan sang gadis dalam genggamannya. Seolah mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja, Sagara memulai ceritanya.

Tentang dia yang juga di jebak oleh Sofia dengan obat bius. Sampai tentang dirinya yang bisa ada di tempat yang sama dengan Lula dalam keadaan tak berpakaian.

.
.

Arlan merebahkan dirinya pada kasur empuk yang cukup luas. Matanya terpejam dengan satu lengan yang menutupi mata agar menghalau sinar dari lampu yang tergantung di langit-langit.

Sena berdecak dengan tangan yang terlipat di depan dada. "Itu belum selesai gue beresin, Arlan!" ucapnya dengan sedikit berteriak karena kesal.

Ketika ia hendak menarik sang remaja agar menyingkir dari sana, tubuh Arlan langsung berguling ke sisi lain sehingga Sena tak bisa menyentuh dirinya.

"Arlan!!" pekik Sena kesal.

Sang remaja menutup kedua telinganya yang terasa sakit karena mendengar suara cempreng itu, lantas tubuhnya terduduk di atas sana dengan pandangan yang mengarah pada Sena.

"Gue gak nyangka Lula yang pendiem bin kalem bisa punya temen siluman toa mesjid gini," ucap Arlan dengan gelengan kepala.

Sena melotot tak terima. "Siapa yang lo bilang toa mesjid, hah?!"

Hingga sesaat kemudian, Arlan dibuat oleng karena hantaman bantal yang tiba-tiba saja mengarah padanya. Sena melotot, kemudian melemparkan bantal yang ia pegang hingga Arlan terjatuh dari atas tempat tidur.

"Gila, kasar banget jadi cewek." Arlan mengelus bokongnya yang terasa sakit.

"Bodo, siapa suruh nyari masalah?" Dengan gerakan langkah yang menghentak kasar pada lantai, Sena mulai mengambil bantal-bantal yang berserakan karena ulahnya. Ia sempat melirik tajam pada Arlan sejenak, kemudian memalingkan wajahnya dengan angkuh.

Arlan berdiri, tadinya ia berniat membantu Sena. Tapi gadis itu terang-terangan menolak bantuannya. Bahkan tangannya di tepis secara kasar saat hendak mengambil selimut di atas meja.

Arlan mendengus, lantas berjalan menuju bangku yang menghadap ke arah jendela. "Lula gimana di kelas? Kata Yoga, sih, dia gak punya temen dan menghindar dari yang lain. Tapi ternyata dia punya temen sebangku setelah sekian lama. Makasih banyak ya, Na."

Ucapan Arlan membuat Sena menghentikan gerakannya. Gadis itu membalikkan badan hanya untuk menatap netra cokelat milik Arlan. Senyum tipis terlihat di bibirnya.

"Kenapa harus berterimakasih? Gue duduk sama dia karena emang gak ada bangku kosong lagi. Dia juga gak seburuk yang di omongin orang lain, kok.

"Mereka cuman gak mengenal Lula dan akhirnya berspekulasi macam-macam cuman karena Lula gak suka bersosialisasi."

Arlan mendongakkan pandangannya, menatap pada langit malam melalui jendela yang sengaja di buka. Angin malam menerpa wajahnya, membuat Arlan termenung lebih dalam.

"Iya, dia emang gak suka sama keramaian," monolog Arlan dengan suara pelan.

Tersadar akan satu hal, sang remaja kembali menatap pada Sena yang tengah merapikan selimut. "Jangan bilang sama siapa-siapa soal cerita gue tadi. Cukup kita aja yang tau. Dan gue harap, lo bisa di percaya kayak apa yang Sagara bilang."

Selesai merapikan selimut itu, Sena tersenyum sembari membalikkan badannya. Tangannya ia lipat di depan dada seiring langkahnya yang mendekat pada Arlan.

"Iya, gak usah takut. Gue bisa di percaya kok. Gue sama Sagara udah kenal lamaaa banget."

___


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro